HUJAN deras turun tiba-tiba dan semua orang di trotoar berlarian mencari tempat berteduh. Para pengendara motor pun berhenti. Sebagian pengendara dengan cepat memasang mantel hujan dan melanjutkan perjalanan. Sementara yang tidak memiliki mantel memilih berteduh.
Halte berwarna biru kehitam-hitaman akibat corat-coret di sana-sini menjadi sasaran orang-orang yang tidak ingin dibasahi hujan. Mereka yang tidak saling kenal, yang mungkin pernah saling tikung, saling lambung, bersebrangan, berhasil dipaksa oleh hujan untuk berkumpul pada halte tua itu.
“Indonesia ini negara dua musim tapi tidak banyak penduduknya yang punya kesadaran untuk membeli mantel atau payung. Aneh.” Keluh seorang teman suatu waktu. Salah besar saya tidak menggubris dengan serius yang dikeluhkannya. Saya cuek. Dan untuk itu saya menyesal. Saya terperangkap di halte bersama manusia-manusia yang tidak saya kenali. Seandainya saya membeli sebuah mantel hujan.
Tidak ada yang saling bicara di halte ini. Ada yang sibuk atau pura-pura sibuk dengan handphonenya. Ada yang tampak gelisah, harap-harap cemas, menatap langit, seolah bertanya: kapan hujan reda? Sementara awan hitam masih bertahta di langit. Tapi kebanyakan yang dilakukan manusia-manusia di bawah atap halte ini adalah melamun. Termasuk saya. Hujan memang adalah saat yang tepat untuk melamun.
Mata saya terjaga pada aliran kecil air yang masuk menuju selokan tapi pikiran saya kemana-mana. Sampai sebuah pergerakan kecil di samping saya menyadarkan saya bahwa sedari tadi ada seorang anak kecil tepat di sebelah saya. Dia mengubah posisinya, dan karena itu kakinya menyentuh kaki saya. Saya melihatnya dan tersenyum. Ia pun demikian. Senyumannya lebih bermakna “maaf Om, saya tidak sengaja....”
Saya yang sadar mulai kembali memperhatikan kondisi sekeliling. Sementara itu hujan masih deras. Tidak tahu mau ngapain. Kebosanan merambat diri saya hingga sebuah objek berhasil ditangkap oleh saya dengan cermat: sebuah bangunan tua rusak tak terpakai tepat di seberang jalan. Saya fokus pada bangunan tua tak terpakai itu. “Sering melewati jalan ini, tapi baru kali ini saya benar-benar dengan secara saksama begitu memperhatikannya,” pikir saya.
Bangunannya sudah miring. Atapnya hanya tersisa beberapa lembar seng yang berkarat. Dindingnya sudah tidak lagi berwarna, kusam, dengan bolong di sana-sini.
“Dulu ada pemerkosaan di rumah itu.”
Saya kaget mendengar suara itu. Ternyata dari si bocah kecil tadi. Sedari tadi dia mengamati saya.
“Oh, ya?”
Saya masih berusaha bertahan untuk tidak terlalu kelihatan serius menanggapinya. Padahal si bocah itu sudah menang: ia berhasil tahu apa yang saya pikirkan.
“Iya. Delapan tahun lalu..”
Saya mulai menyimak. Si bocah ini bukan bocah sembarangan. Ia punya informasi memadai.
“Terus?”
“Yang merkosa melarikan diri, tapi tidak lama mati ditembak polisi karena mencuri.”
“Cewek yang diperkosa?”
“Ceweknya hamil terus melahirkan, tapi gila dan gantung diri, di rumah itu..”
Bocah itu menunjukkan rumah tua di seberang halte itu. Rumah tua yang menjadi objek pengamatan saya.
“Dia bunuh diri di tempat di mana dia diperkosa?”
Tanya seorang ibu paruh baya mengagetkan saya. Ternyata, pendengar ceritanya bukan cuman saya. Dan terbukti, beberapa orang di sini, di halte sialan ini, hanya pura-pura sibuk. Dan juga mungkin pura-pura melamun. Telinga mereka tetap terpasang.
Si bocah hanya mengangguk untuk meyakinkan ibu paruh baya itu.
“Terus anaknya?”
Ibu itu kembali bertanya. Dan saya kali ini justru menjadi penonton.
“Saya anaknya,” kata si bocah.
Kami yang dewasa di halte itu hanya saling pandang. Ada rasa takjub tak percaya. Seorang bocah menjelaskan cerita dirinya sendiri, bahkan dari latar belakang kenapa sehingga dia ada. Dia bercerita tanpa beban. Realitas hidup yang keras mungkin sudah cukup melatihnya untuk menceritakan sebuah tragedi. Targedi sejarahnya sendiri.
Hujan reda tapi langit masih mendung. Jalanan pun masih basah. Genangan di sana-sini. Dan orang-orang kembali berhamburan keluar dari halte. Termasuk saya dan ibu tadi. Si bocah masih duduk di halte itu. Baju kaus kumal, celana pendek, sendal jepit lengkap dengan setumpuk koran yang dipegangnya erat-erat. Hidupnya ada pada lembaran-lembaran kertas itu.
Penulis
Qhadafi Leisubun
Seorang aktivis sosial dan aktif dalam berbagai kegiatan kemanusiaan (fb.com/qhadafi.leisubun)