Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Catatan dari Ranu Kumbolo

Catatan dari Ranu Kumbolo
Ranu Kumbolo masih berkabut dan sangat dingin pagi itu, saat saya mengeluarkan kepala dari dalam tenda. Mungkin suhunya masih minus derajat Celsius. Matahari mulai Nampak, tapi kehangatannya belum mampu menandingi suhu yang dingin pagi itu. Beberapa pendaki di tenda lainnya mulai bangun, ada yang mulai memanaskan air untuk membuat kopi, sebagian lainnya berjalan menuju danau membawa perabot makan, mungkin mereka ingin membersihkan perabotannya. Saya memilih untuk kembali menutup tenda dan merebahkan tubuh yang masih menyimpan lelah perjalanan kemarin.

Sehari sebelumnya, tepatnya hari minggu, 10 Mei 2015,  kami merasakan pagi di puncak Semeru. Harga yang harus kami bayar untuk mencapai puncak adalah dengan berjalan  sepanjang medan yang menanjak sejauh 2,7 KM dari Kali Mati dan perlu dicatat, hampir setengah dari jarak perjalanan itu, yakni 1,5 KM-nya adalah tanjakan pasir yang begitu menyerap energi. Harga yang sepadan untuk merasakan sengatan Matahari bulan Mei di ketinggian 3676 MDPL.  Kami telah menebus rasa penasaran kami yang selama ini tersandera dalam obsesi akan puncak tertinggi di tanah Jawa dengan harga yang layak. Namun, sebagaimana petuah para pendaki, “puncak bukanlah tujuan, kembali ke rumah dengan selamat adalah tujuan.” Setelah menuntaskan obsesi, yang tertinggal adalah kerinduan. Kerinduan untuk kembali lagi.

Hangatnya Matahari senin pagi mulai menampakkan dominasinya atas kuasa dingin Ranu Kumbolo. Semua penghuni tenda over muatan ini sudah terbangun. Perlu dicatat, tenda yang kami  gunakan adalah tenda dengan ukuran maksimalnya untuk tiga orang, namun kondisi mengharuskan tenda itu harus dibagi untuk lima orang---maafkanlah kami tenda, telah mendzolimimu. Penghuni tenda itu adalah Tomi, dialah leader sekaligus chef kami,  Dhi, Dayat, Angga dan saya. Seperti biasa, kami membagi tugas. Tomi mengemban tugas masak. Saya dan Angga kebagian tugas mencuci perabot makan. Sementara Dayat dan Yudhi mengambil air.

“Air ini kualitas sembilan puluh sembilan persen, karena beta ambil di tempat yang jauh dari tenda dan orang-orang”, kata Dayat menyakinkan air yang dia bawakan dalam botol kemasan air mineral berukuran 1,5 liter.

Bukan hanya keseriusan yang tergambar di wajahnya saat memaparkan kemurnian air yang dibawakannya, namun juga kelelahan. Dayat meragukan kualitas air di Ranu Kumbolo, terutama air yang berada di tepian sisi dimana tenda-tenda para pendaki berada. Itulah sebabnya dia berjalan agak jauh dari pemukiman tenda, mencari tepian sisi danau Ranu Kumbolo yang sunyi dan jauh dari kerumunan pendaki untuk kemudian mengambil air disitu. Tidak hanya itu, menurut ceritanya, dia bahkan harus berjalan di atas dahan pohon yang roboh di atas danau untuk mendapatkan air yang jaraknya lebih jauh ke tengah danau.

Keinginan Dayat beralasan, saya sepakat dengannya. Bagaimana tidak, pagi itu saja kami mendengar suara dari speaker di shelter Ranu Kombolo agar para pendaki tidak masuk ke dalam danau Ranu Kumbolo. Para pendaki yang dimaksudkan itu adalah mereka yang sedang asiknya berpose dengan gaya terbaik sementara kakinya berada dalam danau. Danau yang airnya dipakai bukan saja untuk membersihkan diri dan berbagai perabot mendaki, tapi juga untuk diminum.

Bagi Anda yang terobsesi ke Mahameru dikarenakan sebuah film adaptasi dari novelnya Donny Dhirgantoro, yang berjudul sama dengan novelnya, 5 cm. Kesalahan besar jika anda menirukan kelima pemeran film itu untuk menceburkan diri dalam danau Ranu Kumbolo. Oleh berbagai pihak, termasuk pihak pengelola Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TN-BTS), film tersebut dikritik karena dinilai tidak mendidik.

Nasi dan Mie ala Chef Tomi sudah jadi dan siap disantap di tempat yang istemewa, di Surganya Mahameru. Setelah mengisi perut dan melewatkan beberapa Batang kretek, kamipun berkemas-kemas. Tenda dibongkar, dilipat dan dimasukkan dalam tas. Nesting, trangia dan perabot lainnya disusun sedemikian rupa agar pas dalam kerel. Tak lupa Matras pun digulung untuk kemudian diikat pada kerel.

Sebelum meninggalkan tenda, seperti biasa kami memungut sampah untuk kemudian dibawa kembali ke Ranu Pani, Desa terakhir sebelum memasuki rute pendakian Mahameru. Oleh pihak TN-BTS, tempat dimana kami mengurusi berbagai perizinan untuk mendaki, mewajibkan setiap pendaki untuk membawa kembali sampah dari semua bekal.

Sembari memengut sampah, Tomi bilang, “ini untuk anak cucu kita bang.”

“Benar Tom, setiap orang pasti tidak ingin mewariskan setumpuk sampah untuk anak cucunya”, jawabku dalam hati sembari terus memilih sampah yang berserakan di sekitar tenda.

Pagi menjelang siang, kami siap untuk melanjutkan perjalanan dengan dua tas sampah. Pelajaran sederhana dan sering dilupakan: hutan, danau, gunung, dan sungai bukan tempat sampah. Sampah-sampah itu harus dibawa kembali ke desa untuk kemudian dibuang pada tempatnya. Tentu, yang ingin kita wariskan untuk anak cucu kita adalah danau Ranu Kumbolo yang bersih, jalur pendakian yang tetap hijau dengan udara segar.

Dalam perjalanan dari Ranu Kumbolo ke Ranu Pani kami berpapasan dengan banyak sekali pendaki. Dari sumber yang dapati, melansir bahwa menurut pihak TN-BTS, ada sekitar 200 sampai dengan 500 pendaki per hari yang menyambangi Gunung Semeru. Perhitungan selanjutnya, setiap pengunjung membuang 0,5 Kg sampah. Artinya dalam sehari aka nada 250 Kg sampah (sumber : www.bbc.com). Membayangkan akan adanya gunung sampah, membuat saya teringat kembali kata Tomi sembari memungut sampah disekitar tenda kami:  “ini untuk anak cucu kita bang.”
Postingan ini dikirim oleh:
Photo

Biasa-biasa saja, tak ada yang spesial.

Posting Komentar untuk "Catatan dari Ranu Kumbolo"