Teori-teori Belajar Menurut Pandangan Hehaviorisme

Teori-teori Belajar Menurut Pandangan Hehaviorisme

Teori-teori belajar menurut pandangan behaviorisme merupakan teori belajar yang melihat peribuhan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Untuk mengetahui teori tersebut, berikut ulasannya.

Teori Keterhubungan (Contiguity)

Tokoh sentral teori keterhubungan (contiguity) adalah Guthrie. Teorinya lebih menekankan  hubungan antara stimulus dan respons. Guthrie beranggapan bahwa setiap respons yang didahului atau dibarengi suatu stimulus atau gabungan dari beberapa stimulus akan timbul lagi bila stimulus tersebut diulang. Guthrie mengemukakan bahwa setiap stimulus akan menimbulkan respons tertentu. Maka, pengulangan tidak memperkuat hubungan stimulus respons. Kendati demikian, Guthrie pun menekankan pentingnya pengulangan atau drill. Pengulangan tersebut bukan dimaksudkan untuk memperkuat hubungan, tetapi untuk membina atau memasangkan stimulus yang cocok dengan respons yang diharapkan.

Guthrie menganggap latihan amat penting apabila menyebabkan lebih banyak terjadinya rangsangan yang menghasilkan perilaku yang diinginkan. Hal ini dikarenakan pengalaman peserta didik sifatnya unik sehingga mereka perlu mempelajarinya berulang-ulang. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap pengetahuan, guru diharapkan mengaitkan apa yang dipelajari dengan kenyataan yang terjadi di sekitar peserta didik. Banyak contoh dan ilustrasi harus diberikan guru agar peserta didik paham. Contoh: dalam mengajarkan Matematika tentang hitungan atau penjumlahan, 2 + 3 misalnya guru dapat saja meminta peserta didik menyelesaikan di papan, atau di buku atau lembaran kerjanya, tetapi juga harus dibarengi dengan penggunaan media lain seperti boneka, biji-bijian, balok, kotak, kelereng dan sebagainya.

Guthrie memperbolehkan penggunakan hukuman untuk menangani perilaku peserta didik yang menyimpang. Agar hukuman efektif, Guthrie menyarankan agar hukuman digunakan pada waktu dan situasi yang tepat, yakni ketika perilaku menyimpang tadi terjadi. Hukuman harus memberi efek jerah, yakni menyebabkan timbulnya perilaku yang bertentangan dengan perilaku menyimpang tadi. Contoh: ketika seorang peserta didik yang suka naik pagar sekolah dan ditegur keras oleh gurunya, seharusnya ia berhenti melakukan hal tersebut. Namun, jika ia memperlihatkan peningkatan perilaku menyimpang dengan meningkatkan frekuensi pelanggarannya bahkan ditambah lagi dengan menegak minuman keras misalnya, maka hukuman tadi malah menguatkan perilaku yang sedang dilakukannya.

Teori Koneksionisme

Edward L. Thorndike (1874-1949) adalah psikolog Amerika terkemuka yang menemukan teori belajar-koneksionisme-dominan di AS selama paruh waktu pertama di abad 20-an (Mayer, 2003). Thorndike lebih tertarik melakukan eksperimen dalam pendidikan  terutama pada belajar, transfer, perbedaan individu, dan kecerdasan. Thorndike menerapkan pendekatan eksperimental dengan mengukur prestasi siswa di sekolah. Atas jasanya itu Thorndike beberapa kali menerima penghargaan karena dampak eksperimen yang dia lakukan untuk kemajuan pendidikan.

Penghargaan tertinggi diberikan oleh Divisi Pendidikan Psikologis dari American Psychological Association sebagai apresiasi atas kontribusinya di dunia psikologi pendidikan. Dari sekian banyak eksperimen yang dilakukannya, Thorndike kemudian menyimpulkan tentang pengaruh proses belajar tertentu terhadap proses belajar berikutnya, yang dikenal dengan istilah “transfer of learning”.Thorndike mengemukakan bahwa pelatihan yang dilakukan dan proses belajar yang terjadi dalam mempelajari suatu konsep akan membantu penguasaan atau proses belajar seseorang terhadap konsep lain yang sejenis atau mirip (associative shifting ).

Eksperimen Thorndike pada umumnya menggunakan binatang seperti: anjing, kera, kucing, anak ayam, dan ikan. Eksperimennya dirancang untuk mengetahui apakah binatang mampu memecahkan masalah menggunakan reasoning (akal) atau dengan mengkombinasi beberapa proses berpikir dasar. Eksperimen Thorndike mengharuskan binatang tersebut keluar dari kerang keng untuk memperoleh makanan. Untuk bisa keluar dari kandang, binatang-binatang tersebut harus membuka pintu, menumpahkan beban dan memecahkan berbagai halangannya lainya yang sengaja dirancang. Pada saat dikerangkeng, binatang-binatang tersebut berusaha keluar dengan mencakar, menggigit, menggapai dan bahkan memegang atau mengais dinding kerangkeng. Cepat atau lambat, setiap binatang akan membuka pintu atau menumpahkan beban untuk dapat keluar dari kerangkeng dan memperoleh makanan. Pengurangan waktu yang dilakukan oleh eksperimenter berbanding lurus dengan frekuensi melakukan pencakaran, penggigitan, penggapaian, atau pengaisan dinding kerangkeng, oleh binatang tersebut. Kondisi ini membawa konsekuensi, waktu yang dibutuhkan binatang untuk keluar dari kerangkeng cenderung  lebih singkat.

Ketika binatang dihadapkan eksperimenter pada situasi baru yang belum dikenal dan membiarkannya melakukan berbagai  aktivitas untuk merespon situasi itu, binatang akan mencoba berbagai cara bereaksi sampai menemukan keberhasilan dalam membuat koneksi sesuatu reaksi dengan stimulasinya.Eksperimen konektionisme dapat divisualisasikan pada gambar di bawah ini.

Teori-teori Belajar Menurut Pandangan Hehaviorisme
Eksperimen koneksionisme

Thorndike lewat eksperimen yang dilakukan, menemukan dua kategori hukum belajar. Pertama, hukum primer terdiri atas tiga, yakni:

1. The law of readiness, artinya bahwa kesiapan untuk bertindak muncul ketika terjadi penyesuaian diri individu dengan alam sekitarnya, yang akan memberi kepuasan. Sebaliknya, apabila tidak memenuhi kesiapan bertindak, maka tidak akan memberi kepuasan.

2. The law of exercise, artinya ada pengaruh dari latihan. Maksudnya, bahwa suatu hubungan menjadi kuat apabila sering berlatih dan hubungan menjadi lemah atau hilang, apabila kurang atau tidak ada latihan.

3. The law of effect, artinya bahwa kelakuan yang dilakukan dengan pengalaman yang memuaskan, cenderung ingin diulangi lagi, sedangkan yang tidak mendatangkan kepuasan cenderung dilupakan.

Kedua, hukum-hukum sekunder, terdiri atas:

1. The law of multiple response, artinya ketika bermacam-macam usaha coba-coba dalam menghadapi situasi yang kompleks (problematis) dilakukan, pasti salah satu dari percobaan itu akan berhasil. Maka, hukum ini disebut pula trial and eror.

2. The law of assimilation, artinya individu dapat menyesuaikan diri pada situasi baru, asal situasi tersebut memiliki unsur-unsur yang cenderung sama.

3. The law of partial activity, artinya individu dapat bereaksi secara selektif terhadap kemungkinan yang ada dalam situasi tertentu.

Teori belajar Operant Conditioning

Operant Conditioning adalah nama yang digunakan Skiner untuk suatu prosedur di mana seorang dapat mengontrol perilaku organisme melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan yang relatif bebas (Walker, 1973:127).

Teori belajar  Operant Conditioning Skiner berdasarkan eksperimennya dengan tikus seperti nampak pada gambar di bawah ini.

Teori-teori Belajar Menurut Pandangan Hehaviorisme
Ekperimen Skiner via psycholocious.blogspot.com

Dalam eksperimen Skiner, tikus dilatih melalui proses kondisioning klasik dengan menekan sebuah tuas jika ia mau makan. Ketika tuas ditekan, makanan akan keluar dari sebuah lubang. Setelah tikus mampu menekan tuas setiap kali ia menginginkan makanan, Skinner mengkondisikannya lagi dengan lampu. Ketika lampu menyala dan tuas ditekan,  makanan akan keluar. Kalau tidak ada lampu, tuas tidak mendatangkan apa pun, walaupun ditekan-tekan. Lama-kelamaan tikus belajar untuk menekan tuas hanya jika lampu menyala. Nyala lampu tersebut dinamakan rangsang diskriminan (pembeda), yaitu rangsang yang membedakan keadaan di mana ada ganjaran dan tidak ada ganjaran.

Menurut Skiner (dalam Fontana, 1981) bahwa proses belajar Operant Conditioning melibatkan tiga tahapan yakni:Pertama, adanya rangsangan atau stimulus (S) yang dihadapkan kepada peserta didik; Kedua, lahirnya perilaku atau behavior (B); dan Ketiga, Penguatan atau reinforcement (R) yang mengikuti perilaku yang lahir. Terdapat empat prinsip belajar menurut Skiner, yakni reinforcement, punishment, shaping, discrimination dan generalization. Keempat prinsip belajar tersebut dijelaskan sebagai berikut.

Reinforcement (penguatan) adalah proses memperkuat suatu perilaku organisme dengan memperbesar peluang perilaku tersebut terulang lagi. Terdapat dua kategori reinforcement, yakni reinforcement positif dan reinforcement negatif. Reinforcement positif adalah setiap penguat yang memperbesar peluang suatu respon atau perilaku organisme.Reinforcement negatif adalah kondisi sebaliknya yakni penguat yang memperlemah perilaku atau respon organisme.

Punishment (hukuman) dimaksudkan untuk memperlemah perilaku organisme. Punishment terdiri atas dua, yakni Punishment negatif dan negatif. Punishment positif adalah pengurangan perilaku organisme dengan pemberian stimulus yang tidak menyenangkan. Contoh: guru memandang peserta didik dengan mata melotot, mengacungkan tinju, memarahi dengan suara keras karena perilaku mereka yang kurang baik.

Punishment negatif atau melenyapkan (extinction) adalah pengurangan perilaku organisme dengan menghilangkan stimulus yang menyenangkan jika perilaku terjadi. Contoh: aksi diam, tidak mau bicara yang dilakukan seorang ibu sebagai aksi protes terhadap puteranya yang mengulangi kebiasaan buruk mengeluarkan kata-kata kotor setelah berulang kali dihukum dan mengulangi. Orangtua sengaja tidak membeli baju saat lebaran atau natal karena kesal dengan pelangaran tatatertib yang dilakukan anak.

Shaping (pembentukan) adalah teknik penguatan yang digunakan untuk melatih hewan atau manusia dengan cara meningkatkan frekuensi dan intensitas serta tingkat kesulitannya secara berangsur-angsur diikuti dengan hadiah. Dalam contoh percobaan Skiner, tikus diajar menekan tuas yang terletak di atas kepalanya. Setiap gerakan apa pun yang dilakukan tikus, diapresiasi eksperimenter dengan hadiah. Dilanjutkan dengan gerakan ke arah atas 2,5 m dan seterusnya hingga tikus mampu menekan tuas. Dalam eksperimen para ahli psikologi, shaping telah digunakan untuk mengajar kemampuan anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental. Hadiah diberikan kepada mereka untuk suara apa pun yang dikeluarkan anak-anak ini. Lambat laun anak-anak didorong untuk mengeluarkan suara persis seperti gurunya.

Genelalization adalah suatu proses dimana perilaku yang dipelajari dan diperkuat cenderung dapat diulangi pada situasi lain yang sama kondisinya. Contoh: siswa yang memiliki bakat melawak akan sering mendapatkan apreasiasi (penguatan positif) dengan tetawa disertai tepuk tangan guru dan rekan-rekan sekelasnya; akan mendapatkan dukungan penonton ketika melawak pada acara show di sekolah.

Discrimination  adalah suatu proses belajar dimana perilaku yang dipelajari dan diperkuat pada suatu situasi tidak dapat diterapkan pada situasi yang lain. Contoh: Bakat melucu siswa ketika terjadi pada situasi dimana sedang berlangsung acara ibadat, justru akan mendapat penguatan negatif.

Dalam konteks itu Skiner menafikan adanya faktor perantara yang mempengaruhi perilaku. Ia berpandangan bahwa perilaku individu sepenuhnya ditentukan oleh stimulus. Belajar oleh Skiner didefinisikan sebagai perubahan perilaku individu yang dapat diamati dalam kondisi yang terkontrol dengan baik.

Asumsi dasar Teori Skiner: (1).Perilaku terjadi menurut hukum tertentu (behavior is lawful).Walaupun Skiner mengakui bahwa perilaku manusia adalah organisme yang berperasaan dan berpikir, namun Skinner tidak mencari penyebab perilaku di dalam jiwa manusia dan menolak alasan-alasan ... mengendalikan keadaan pikiran (mind) atau motif-motif internal. (2).Perilaku dapat diprediksi (behavior can be predicted). Perilaku manusia ditentukan oleh kejadian-kejadian di masa lalu dan sekarang dalam dunia objektif dimana individu tersebut mengambil bagian.(3). Perilaku manusia dapat dikontrol (behavior can be controlled). Perilaku dapat dijelaskan hanya berkenaan dengan kejadian atau situas-situasi antaseden yang dapat diamati. Dalam konteks itu kondisi sosial dan fisik yang ada di lingkungan sangat penting dalam menentukan perilaku.

Teori Classical Conditioning

Classical Conditioning juga dikenal dengan sebutan teory contiguity (keterkaitan dua obyek atau lebih tanpa diselingi hal yang lain).Penemu teori Classical Conditioning adalah fisiolog Rusia Ivan Petrovich Pavlov (1894-1936).

Obyek eksperimen Pavlov adalah seekor anjing yang diberikan makan. Makanan dalam percobaan Pavlov disebut unconditional stimulus (UCS). Ketika makanan didekatkan pada anjing, terjadi respon (R) berupa keluar air liur. Pada percobaan berikutnya, bel dibunyikan sebelum makanan didekatkan pada anjing. Setelah hal yang sama dilakukan berulamg kali, maka anjing akan mengeluarkan air liur pada setiap kali bel dibunyikan walau pun tanpa makanan. Dalam konteks itu anjing tersebut telah terkondisi (terbiasa) untuk memindahkan responnya berupa keluarnya air liur sebagai hal yang biasa, yakni makanan ke stimulus yang terkondisi (conditioned stimulus)  berupa bel.

Stimulus makanan disebut unconditioned stimulus karena dapat menghasilkan respon tanpa pelatihan atau pembelajaran. Stimulus bunyi bel disebut  unconditioned stimulus atau stimulus terkondisi karena rangsangannya dapat menimbulkan respon (R), yakni keluarnya air liur setelah latihan berulang kali dilakukan ketika dipasangkan bersamaan dengan stimulus makanan. Respon yang ditimbulkan oleh conditioned stimulus tersebut disebut respon terkondisi atau unconditioned stimulus. Kaitan antara unconditioned stimulus, conditioned stimulus dan keluarnya air liur nampak pada gambar di bawah ini.

Teori-teori Belajar Menurut Pandangan Hehaviorisme
Eksperimen Pavlov

Demikialah postingan kali ini tentang Teori-teori Belajar Menurut Pandangan Hehaviorisme, semoga bermanfaat.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama