Teori Belajar Menurut Pandangan Kognitisme

Teori Belajar Menurut Pandangan Kognitisme

Teori belajar menurut pandangan kognitisme sangat penting untuk diketahui oleh pendidik. Untuk itu berikut penjelasan teori-teori belajar tersebut.

Teori belajar Gestalt

Para psikolog Gestalt umumnya berkebangsaan Jerman. Tokoh Gestalt terkemuka adalah Meinong, Ehrenfels, Kohler, wertheimer dan Koffka. Menurut pandangan Gestalt, manusia tidak memberikan respon kepada stimuli secara otomatis. Manusia adalah organisme aktif yang menafsirkan bahkan mendistorsi lingkungan. Sebelum memberi respon, manusia menangkap dulu pola stimuli secara keseluruhan dalam satuan-satuan yang bermakna.

Pada awalnya, psikologi Gestalt hanya menaruh perhatian pada persepsi obyek. Beberapa peneliti menerapkan prinsip Gestalt dalam menjelaskan perilaku sosial. Mereka adalah Kurt Lewin, Salomon Asch dan Fritz Heider. Menurut Lewin, perilaku manusia harus dilihat dalam konteksnya. Bereferensi pada teori Fisika, Lewin meminjam konsep medan (field) untuk menunjukkan totalitas gaya yang mempengaruhi seseorang pada saat tertentu.

Menurut Lewin, perilaku seseorang bukan sekedar respon pada stimuli, tetapi produk berbagai gaya yang  mempengaruhinya secara spontan. Lewin menyebut seluruh gaya psikologis yang mempengaruhi manusia sebagai ruang hayat (life space). Ruang hayat terdiri atas tujuan dan kebutuhan individu berikut semua faktor yang mendasarinya dan kesadaran diri. Lewin kemudian menyusun sebuah formula terkenal yakni B = f (P, E). B artinya Behavior (perilaku) adalah hasil interaksi antara P artinya Person (diri orang itu) dengan E artinya Environment (lingkungan psikologisnya).

Jasa Lewin dalam psikologi Gestalt tidak sebatas itu. Ia pun berhasil menganalisis kelompok. Sumbangan nyata pemikiran Lewin adalah konsep dinamika kelompok. Menurut Lewin bahwa dalam kelompok, individu menjadi bagian yang saling berkaitan dengan anggota kelompok yang lain. Kelompok memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki individu. Solomon Asch memperluas penelitian kelompok dengan melihat pengaruh penilaian kelompok pada pembentukan kesan. Melalui beberapa eksperimen, Asch menunjukkan kecenderungan orang untuk mengikuti pendapat kelompoknya.

Lewin juga berpandangan tentang tension (tegangan) yakni suasana kejiwaan yang terjadi ketika kebutuhan psikologis belum terpenuhi. Konsep tension melahirkan banyak teori yang mengelompok dalam teori konsistensi kognitif. Teori ini pada pokoknya menyatakan bahwa individu berusaha mengoptimalkan makna dalam persepsi, perasaan, kognisi dan pengalamannya. Apabila makna tidak optimal, timbul tension yang memotivasi orang untuk menguranginya. Demikian hasil penelitian Fritz Heider, Leon Festinger dan Abelson.

Teori belajar Instrumental Conceptualisme

Teori belajar menurut pandangan Instrumental Conceptualism dipelopori oleh Jarome, Bruner (dalam Fontana, 1981). Bruner mendasarkan teorinya pada proses belajar dan teori psikologi kognitif. Menurut Bruner, proses belajar bukanlah semata-mata disebabkan oleh adanya rangsangan yang diperkuat atau diperlemah oleh penguatan akan tetapi merupakan proses aktif dimana seseorang menyimpulkan prinsip-prinsip dan hukum kemudian mengetesnya. Dengan kata lain, belajar bukan hanya merupakan aktivitas yang terjadi pada diri individu akan tetapi merupakan sesuatu yang terjadi atas usaha individu sendiri dengan cara mengolah informasi yang ada dan menerapkannya.

Pada tataran itu, Skiner menekankan pada potensi individu, dan rangsangan dari luar, sedangkan Bruner justru memberi tekanan pada potensi individu. Menurut Intrumental Conceptualism, proses belajar mencakup tiga tahap berikut:

Pertama, perolehan informasi;

Kedua, pengolahan informasi dalam bentuk yang layak untuk diterapkan;

Ketiga, pengetesan dan pengecekan memadai tidaknya perubahan bentuk informasi itu.

Perubahan bentuk atau transformasi informasi menurut Bruner, berlangsung dalam tiga bentuk, yakni the enactive, the iconic dan the symbolic.

1. The enactive, merupakan proses yang sangat operasional. The enactive,  tidak menggunakan citra (bayangan) maupun kata-kata akan tetapi berlangsung dalam bentuk tindakan (action). Karena itu dapat diamati. Misalnya, keterampilan motorik. Keterampilan motorik (seperti: menulis, menari dsb) dipelajari sambil berbuat. Maka, sangat sukar digambartkan hanya dengan kata-kata apalagi dengan bayangan,

2. The iconic; bentuk ini tampak sudah lebih maju dalam arti menggunakan citra (bayangan) atau imaginasi meskipun belum menggunakan bahasa. Proses tersebut banyak tergantung pada pemanfaatan visual atau alat indera yang lain dan melukiskan konsep tanpa   mendefinisikannya.

3. The symbolic; merupakan proses yang lebih dari tindakan dan imaginasi, yakni dengan menggunakan bahasa. Perwujudannya mengarah pada proses berpikir dan merupakan proses belajar yang lebih abstrak dan luwes.Proses seperti itu memungkinkan seseorang  terlibat dalam proses berpikir mendalam (reflective thinking) dengan cara menyusun pernyataan, mencari contoh dan menyusun konsep-konsep dalam suatu susunan yang hierarkis.

Hasil belajar menurut Gagne & Briggs (1974) terdiri atas 5 kategori, yakni:

1. Keterampilan intelektual (intelectual skills);
2. Strategi berpikir (Cognitive strategy);
3. Informasi verbal (Information);
4. Keterampilan motorik (motos skills)
5. Sikap (sttitudes).

1. Belajar Keterampilan intelektual (intelectual skills)

Keterampilan intelektual menurut Gagne (1970) dimulai dari keterampilan intelektual yang paling sederhana. Gagne (1970) menggambarkan seluruh potensi belajar pada individu. Taraf paling rendah (Tipe 1), yaitu belajar signal/isyarat (signal learning). Menurut Gagne bahwa Tipe 1 tidak memiliki peranan mendasar dalam proses pembelajaran. Demikian pula tipe 2. Hubungan stimulus - respon diakui  sebagai keterampilan intelektual yang telah dikuasai sebelumnya. Tipe di bawahnya sebagai pasyarat artinya tipe yang lebih tinggi baru bisa berkembang apabila tipe di bawahnya telah dikembangkan lebih dahulu. Karena itu makin tinggi tipe belajar, keterampilan intelektual peserta didik akan makin kompleks.

Rangkaian Tipe 3 hingga Tipe 8 dapat dijelaskan sebagai berikut.

Rangkaian Respon Tipe 3 dan Tipe 4)

Keterampilan rangkaian respon pada dasarnya merupakan urutan dan hubungan stimulus - respon (Tipe 2) yang ditangkap sebagai suatu kesatuan. Tentang hal tersebut Gagne dan Briggs (1972: 38-39) memberi contoh rangkaian motorik dan verbal sebagai berikut:

Rangkaian motorik (Tipe 3); misalnya dalam menggambartkan persegi panjang terdiri atas rangkaian kegiatan sebagai berikut:

1. Menggambarkan garis horizontal (mendatar);
2. Membuat sudut
3. Menggambar garis vertikal (tegak);
4. Membuat suatu sudut
5. Membuat garis horizontal sejajar dengan yang pertama;
6. Membuat sudut lainnya;
7. Membuat garis vertikal sejajar dengan yang pertama;
8. Menghubungkan sudut.

Rangkaian verbal (Tipe 4); misalnya dalam mengucapkan dua kata yang saling berhubungan dan membentuk suatu pengertian seperti kata-kata: siang dan malam, pagi dan sore, dingin dan panas, tinggi dan pendek, kurus dan gemuk, merah -putih dan sebagainya.

Diskriminasi (Tipe 5); diskriminasi adalah kemampuan membuat respon (tanggapan) yang berbeda terhadap suatu rangsangan. Belajar diskriminasi banyak terjadi ketika di Taman kanak-kanak dan SD kelas 1. Misalnya, anak-anak diminta membedakan dua buah gambar  yang satu memilih garis mendatar dan yang kedua memilih garis tegak atau yang satu memilih bentuk lingkaran dan yang lain memilih bentuk segi empat (gelas dan kotak). Keterampilan diskriminasi dianggap sebagai keterampilan yang telah dipelajari sebelumnya.

Konsep (tipe 6); konsep adalah kemampuan yang memungkinkan seseorang untuk nenemukan sesuatu stimulus atau obyek yang memberi rangsangan sebagai bagian dari sesuatu kelompok obyek yang memiliki ciri-ciri khusus Gagne & Briggs, (1974). Tentang konsep,  ada yang konkrit dan ada pula yang abstrak. Konsep yang konkrit adalah yang ciri-cirinya dapat diamati seperti: bentuk, warna misalnya, konsep bundar, persegi panjang, merah, halus, lengkung dan sebagainya. Konsep yang abstrak oleh Gagne & Briggs diartikan sebagai konsep yang dipahami dengan cara menjelaskan ciri-cirinya misalnya: sopan, ramping, cantik, demokratis, sabar, miskin, kaya dan sebagainya.

Aturan hukum (Tipe 7); suatu hukum atau aturan dikatakan telah dipelajari bila di dalam diri individu terdapat penampilan atau kinerja yang mengandung keteraturan (regularity) dalam situasi tertentu. Contohnya kemampuan dalam mengucapkan kata-kata dengan benar dan menggunakan informasi yang baik dalam bertanya.

Pemecahan masalah (Tipe 8); Biasanya peserta didik mempelajari aturan sederhana atau kombinasi yang kompleks. Kombinasi aturan yang kompleks biasanya ditemukan dalam memecahkan masalah atau kelompok masalah. Misalnya, dalam belajar bagaimana menghitung luas segitiga, menganalisis terjadinya banjir, menganalisis terjadinya  erosi, menganalisis terjadinya air pasang,  dan sebagainya.

Teori Belajar Sosial Albert Bandura

Penemu teori belajar sosial (social learning theory) adalah Albert Bandura (1977) dengan menggunakan sudut pandang psikologi kognitif untuk menjelaskan tentang belajar dan perilaku. Teori belajar sosial, menguraikan mengenai cara bagamana suatu perilaku dipelajari dan diubah. Penerapan teori ini hampir pada seluruh perilaku, dengan perhatian khusus pada cara perilaku baru diperoleh melalui belajar mengamati (observational learning).

Bandura percaya bahwa anak belajar terjadi melalui proses peniruan (imitasion).Kemampuan meniru respon orang lain seperti meniru bunyi yang sering didengar, adalah penyebab utama belajar. Bagi Bandura, ganjaran dan hukuman bukanlah faktor yang penting dalam belajar akan tetapi, faktor yang penting dalam melakukan suatu tindakan (performance). Bila anak selalu diganjar (dihargai) karena mengungkapkan perasaannya, ia akan sering melakukannya. Tetapi jika ia dihukum (dicela), ia akan menahan diri untuk bicara; walaupun ia memiliki kemampuan untuk melakukannya. Melakukan suatu perilaku ditentukan oleh peneguhan, sedangkan kemampuan potensial untuk melakukan ditentukan oleh peniruan.Dalam konteks itu orang dewasa atau mereka yang memiliki kompetensi, status sosial yang tinggi, menjadi sumber atau model untuk diidentifikasi.

Dalam implementasi di sekolah, guru dapat mengajarkan para siswanya tidak hanya informasi rutin dan keterampilan, tetapi juga strategi-strategi pemecahan masalah, kode moral, standar penampilan, aturan dan prinsip-prinsip umum, dan juga kreativitas. Guru bisa memberi contoh tentang tindak-tanduk atau tingkah laku yang baik,  kemudian diinternalisasi oleh siswa untuk dijadikan standar penilaian dirinya sendiri. Dengan kata lain, standar-standar yang diserap tadi akan menjadi dasar untuk menilai dan menghargai dirinya sendiri.

Ketika siswa bertindak sesuai dengan standar dirinya, maka pengalaman tersebut akan memberinya reinforcement. Tetapi jika sebaliknya, pengalaman itu akan memberinya semacam hukuman. Bandura, seperti halnya para teorisi Gestalt dan Tolman, lebih mengandalkan reinforcement intrinsik dari pada reinforcement ekstrinsik. (Patris Rahabav: 2015)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama