Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lupa dalam Belajar Menurut Ilmu Psikologi

Lupa dalam Belajar Menurut Ilmu Psikologi

Lupa menjadi gejala umum yang menimpa setiap individu. Sering terdengar ungkapan: lupa bilang, lupa bawa, lupa baca, lupa makan, lupa nama, lupa alamat dan seterusnya. Bagi pelajar dan mahasiswa, lupa menjadi hal yang amat serius karena berpengaruh terhadap daya serap mereka. Lupa dengan demikian, seringkali dipandang sebagai momok yang menakutkan. Hal ini nyata saat pelaksanaan ujian. Umumnya, guru sebagian besar masih dominan menggunakan tes obyektif. Tes demikian, sangat menekankan hafalan terutama untuk materi konsep, kaidah dan prinsip. Maka, saat ujian adalah saat yang amat menegangkan bagi peserta didik.

Pertanyaan yang patut dikedepankan adalah apakah suatu pengetahuan atau pengalaman belajar yang diperoleh di sekolah dengan gampang dilupakan atau hilang dari ingatan? Terhadap pertanyaan ini berdasarkan hasil penelitian psikologi dan pendidikan, apa yang telah dicamkan dan dimasukan dalam ingatan jangka panjang (long term memory) tetap akan tersimpan dan tidak secara serta merta hilang tanpa bekas.Seseorang yang menguasai Bahasa Inggeris dan tidak atau jarang menggunakan mungkin akan banyak kosakata yang ia lupa. Itu tidak berarti hilang sama sekali dari ingatannya. Ketika ia mempelajari kembali, maka dengan mudah kata-kata tersebut akan diingat. Ia akan menggunakan waktu yang relatif singkat untuk memahami kosakata Bahasa Inggeris, bila dibandingkan dengan waktu sebelumnya ketika ia baru mulai mempelajari Bahasa Inggeris.

Dalam konteks itu dibutuhkan penggalian kembali dari ingatan. Proses ini dikenal dengan istilah "evokasi", yaitu aktualisasi dari apa yang disimpan dalam ingatan yang diketahui pernah dicamkan atau diserap (fiksasi) di masa lampau. Sedangkan apa yang diserap saat fiksasi dan evokasi dikenal dengan fase penyimpanan (retensi), yakni apa yang telah diserap disimpan dalam ingatan sampai saat digali kembali (Winkel, 2005:503).

Berbagai literatur ilmiah yang mengungkapkan sebab-sebab lupa dapat diketegahkan disini. Pertama, Woodworth berpendapat bahwa gejala lupa disebabkan bekas-bekas ingatan yang tidak digunakan sehingga lama kelamaan terhapus seiring berjalannya waktu. Bekas ingatan menjadi kabur dan lama kelamaan hilang dengan sendirinya. Pandangan ini dikaitkan dengan proses fisiologis yang berlangsung dalam sel otak. Digambarkan bahwa ketika saat fiksasi, kesan-kesan yang dicamkan diterima dan ditanamkan dalam struktur fisik sel-sel otak. Dalam sel otak terus terjadi pertukaran zat. Maka, apabila suatu kesan ingatan tidak digunakan, dan tidak diperbaharui, sisa/bekas ingatan itu lambat laun akan terhapus.

Kedua, Pandangan yang mencari sebab lupa dari "Interferensi", yakni gangguan dari informasi yang baru masuk terhadap informasi yang telah tersimpan di situ, seolah-olah informasi lama digeser dan kemudian lebih sukar diingat. Ketiga, Pandangan yang lain merujuk pada suatu motif tertentu sehingga orang akhirnya melupakan sesuatu misalnya, kejadian atau peristiwa yang tidak menyenangkan lebih mudah dilupakan daripada yang menyenangkan. Inilah kasus lupa yang bermotif.

Lupa dapat diatasi dengan beberapa cara: Pertama, membangkitkan motivasi belajar yang kuat pada peserta didik terutama motif intrinsiknya, menyadarkan mereka akan tujuan yang ingin dicapai dan manfaat materi untuk kehidupan mereka di masa depan dan mendorong mereka untuk penuh.Kedua, menyajikan materi dengan memperhatikan skop dan sequensinya sesuai hirarki prasyarat belajar sehingga mempermudah peserta didik mengkonstruksi dalam ingatannya sehingga terekam dalam memori jangka panjang (long term memory). Penggunaan peta konsep juga akan membantu.Ketiga, penggunaan strategi pembelajaran eksperiensial membantu peserta didik mengingat lebih baik karena mengalami langsung. Hal ini tentu berbeda dengan pendekatan dimana guru lebih dominan. Keempat, Menggunakan kunci-kunci yang tepat dalam penggalian kembali misalnya dengan menggunakan pertanyaan yang terarah, menggunakan akronim, simbol-simbol dan kode-kode khusus untuk mengingat konsep - konsep, prinsip-prinsip tertentu. Kelima, memperbanyak frekuensi dan intensitas ujian atau kompetisi. Hal ini akan memotivasi peserta didik untuk mengulang atau belajar sehingga ingatannya selalu disegarkan.

Posting Komentar untuk "Lupa dalam Belajar Menurut Ilmu Psikologi"