Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Teori-teori Motivasi Kerja Menurut Para Ahli Psikologi

Teori-teori Motivasi Kerja Menurut Para Ahli Psikologi

Teori motivasi mulai dikembagkan tahun 1950an. Ada tiga teori spesifik yang dirumuskan pada periode itu, yakni teori hierarki kebutuhan, teori X dan Y dan teori dua faktor. Dalam perkembangan selanjutnya, ketiga teori tersebut dalam perkembangannya dikritik habis-habisan dan dipertanyakan kembali kesahihan (validitasnya). (Patris Rahabav: 2015)

Teori Hierarki Kebutuhan

Teori motivasi yang paling awal dan terkenal adalah teori hierarki kebutuhan. Pencetus teori ini adalah Abraham Maslow. Maslow (1954) menghipotesiskan bahwa di dalam diri semua manusia bersemayam lima jenjang kebutuhan, yaitu, kebutuhan fisiologis, kebutuhan kemanan, kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri.

Maslow memisahkan kelima kebutuhan itu dalam dua bagian besar, yakni kebutuhan tingkat rendah dan kebutuhan tingkat tinggi. Kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan keamanan ditempatkan sebagai kebutuhan tingkat rendah, sementara kebutuhan sosial, kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri ditempatkan ke dalam kebutuhan tingkat tinggi. Alasan di balik pemikiran Maslow adalah kebutuhan tingkat tinggi dipenuhi secara internal (dalam diri orang itu) sedangkan kebutuhan tingkat rendah dipenuhi secara eksternal (misalnya: dengan upah, kontrak, serikat buruh dan masa kerja).

Maslow berpandangan bahwa pemenuhan kebutuhan individu dicapai secara berjenjang dalam arti kebutuhan tingkat di atas tidak didapat bila kebutuhan tingkat di bawahnya belum terpenuhi. Dengan kata lain pemenuhan kebutuhan pada tingkat terendah menjadi dasar bagi pemenuhan kebutuhan tingkat yang lebih tinggi. Dalam artian ini tidak ada kebutuhan yang meloncat.

Hierarki kebutuhan dari Maslow divisualisasikan pada gambar berikut ini.

Diadaptasi dari Sumber: Motivation and Personality 2nd., by A.Maslow, 1970. Repinted by permission of Prentice Hall Inc, Upper Saddle New Jersey.

Maslow (dalam Patris Rahabav 2014:152) menjelaskan bahwa di dalam diri semua manusia terdapat  lima jenjang kebutuhan, yakni:

1. Kebututuhan Fisiologis: antara lain rasa `lapar, haus, perlindungan (pakaian dan perumahan), dan kebutuhan jasmani lain;

2. Kebututuhan Kemanan: antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap keselamatan fisik dan emosional;

3. Kebututuhan Sosial: mencakup kasih sayang, rasa memiliki, diterima baik dan persahabatan;

4. Kebututuhan Penghargaan: mencakup faktor penghormatan diri seperti harga diri, otonomi dan prestasi; serta faktor penghormatan dari luar seperti, misalnya status, pengakuan dan perhatian;

5. Kebututuhan Aktualisasi diri: dorongan untuk menjadi seseorang/sesuatu sesuai ambisinya; yang mencakup pertumbuhan, pencapaian potensi dan pemenuhan kebutuhan diri.

Teori hierarki kebutuhan Maslow telah memperoleh pengakuan luas terutama para manejer aktif; karena teori ini berdasarkan logika yang intuitif dan mudah dipahami.Tetapi sayang secara umum riset tidak mensahihkan teori itu. Maslow tidak memberikan pembenaran empiris sementara beberapa studi yang berusaha mensahihkan teori itu tidak mendapatkan dukungan empirik (Suttle dan Lawler, 1972).

Teori X dan teori Y

Pencetus teori X dan Y adalah Douglas McGregor. McGregor (1960) mengemukakan dua pandangan yang kontradiktif tentang manusia. Pandangan McGregor didasarkan pada hasil pengamatannya secara intensif terhadap perilaku karyawan dan respon yang dilakukan oleh para manejer dalam menanganinya. McGregor dalam penelitian terhadap beberapa karyawan, akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa pada dasarnya perilaku karyawan dikategorikan pada dua kategori yang satu negatif;  dikenal sebagai teori X dan yang lainnya positif; dikenal dengan teori Y.

Asumsi yang mendasari  teori X, sebagai berikut:

1. Karyawan secara inheren tidak menyukai kerja dan bila dimungkinkan, akan mencoba menghindarinya;

2. Karena karyawan tidak menyukai kerja, mereka harus dipaksa, diawasi atau diancam dengan hukuman untuk mencapai sasaran;

3. Karyawan akan menghindari tanggungjawab dan mencari pengarahan formal bila mungkin;

4. Kebanyakan karyawan menempatkan keamanan di atas semua faktor lain yang terkait dengan kerja dan akan menunjukkan ambisi yang rendah.

Sedangkan asumsi yang mendasari teori Y sebagai berikut:

1.  Karyawan dapat memandang kerja sebagai kegiatan alami yang sama dengan istirahat atau bermain;

2. Orang-orang yang melakukan pengarahan diri dan pengawasan diri jika mereka memiliki komitmen pada sasaran;

3. Rata-rata orang dapat belajar untuk menerima bahkan mengusahakan tanggung jawab;

4. Kemampuan untuk mengambil keputusan inovatif menyebar luas ke semua orang dan tidak hanya milik mereka yang berada dalam posisi manajemen.

Teori Dua Faktor

Pencetus teori dua faktor atau yang sering dikenal dengan sebutan teori motivasi higiene adalah psikolog Frederick Herzberg. Herszberg, et.al. (1959), yakin bahwa hubungan individu dengan pekerjaannya merupakan hubungan dasar dan bahwa sikap seseorang terhadap kerja dapat sangat menentukan kesuksesan atau kegagalan individu itu. Herszberg menelaah pertanyaan apa yang diinginkan orang-orang dari pekerjaan mereka? Ia meminta orang-orang untuk menguraikan secara rinci situasi-situasi dimana mereka merasa baik atau buruk menyangkut pekerjaan mereka. Respon mereka ditabulasikan dan dikategorikan.

Dari respon karyawan, Herszberg menyimpulkan bahwa respon karyawan ketika mereka merasa senang dengan pekerjaan sangat berbeda dari jawaban yang mereka berikan ketika mereka tidak senang. Karakteristik-karakteristik tertentu cenderung secara konsisten terkait dengan kepuasan kerja dan yang lain terkait dengan ketidakpuasan kerja. Faktor intrinsik seperti kemajuan, prestasi, pengakuan dan tanggung jawab tampaknya terkait dengan kepuasan kerja.

Responden yang senang dengan pekerjaan, cenderung mengaitkan dengan faktor-faktor yang ada di dalam diri mereka sendiri (faktor intrinsik). Di pihak lain bila mereka tidak puas, mereka mengaitkan dengan faktor-faktor ekstrinsik seperti misalnya pengawasan, gaji, kebijakan perusahan dan kondisi kerja.

Menurut Herszberg, data itu memberi gambaran bahwa lawan dari kepuasan bukan ketidakpuasan seperti yang diyakini orang pada umumnya. Maka, menurut Herszberg, menyingkirkan karakteristik yang tidak memuaskan pada pekerjaan tertentu, tidak secara serta merta menyebabkan pekerjaan itu menjadi memuaskan. Menurut Herszberg faktor yang menyebabkan kepuasan kerja terpisah dan berbeda dari faktor-faktor yang menimbulkan ketidak puasan kerja. Oleh karena itu manejer yang berusaha menghilangkan faktor-faktor yang menyebabkan ketidakpuasan kerja dapat membawa ketenteraman tetapi belum tentu memotivasi.

Para manejer yang menghilangkan faktor-faktor yang menyebabkan ketidakpuasan kerja, cenderung menentramkan tenaga kerja bukannya memotivasi mereka. Kondisi-kondisi yang melingkupi pekerjaan seperti kualitas pengawasan, gaji, kebijakan perusahan, hubungan antar pribadi, kondisi kerja fisik dan keamaman kerja dicirikan oleh  Herszberg sebagai faktor-faktor higiene. Jika mereka ingin memotivasi orang pada pekerjaannya. Herszberg menyarankan para manajer agar penekanan lebih pada hal-hal yang berhubungan dengan kerja itu sendiri atau hasil langsung yang diakibatkannya seperti peluang promosi, peluang pertumbuhan personal, pengakuan, tanggung jawab dan prestasi. Inilah karakteristik yang dianggap sebagai hal yang menguntungkan secara intrinsik.

Tiga teori sebelumnya sangat dikenal umum akan tetapi belum teruji secara empirik.Teori-teori berikut merupakan teori kontemporer yang walaupun memiliki kesamaaan dengan teori sebelumnya, namun telah dilengkapi dengan hasil penelitian empirik.

Teori Motivasi Kerja ERG

Clayton Alderfer dari Universitas Yale adalah orang berjasa mengembangkan pemikiran Maslow mengenai Hierarki kebutuhan manusia. Ia merevisi pemikiran Maslow dengan teorinya yang disebut ERG (Alderfer, 1969). Alderfer merevisi pemikiran Maslow dengan membagi kebutuhan manusia atas tiga kelompok kebutuhan, yakni eksistensi (existence), keterhubungan (relatedness), dan pertumbuhan (growth) sehingga disebut teori ERG.

Kelompok kebutuhan pertama, adalah eksistensi (existence), yakni aksentuasi pada persyaratan keberadaan meteriil dasar; mencakup butir-butir yang oleh Maslow dianggap sebagai kebutuhan fisiologis dan keamanan. Kelompok kebutuhan kedua adalah kelompok keterhubungan, yakni hasrat yang dimiliki individu untuk memelihara hubungan antar pribadi. Keinginan membangun relasi sosial dan status individu menuntut individu berinteraksi dengan orang-orang lain. Hasrat ini sejalan dengan kebutuhan sosial Maslow dan komponen eksternal pada klasifikasi penghargaan Maslow.

Kelompok kebutuhan ketiga adalah pertumbuhan (growth), yakni hasrat intrinsik untuk perkembangan pribadi yang mencakup komponen intrinsik dari kategori penghargaan Maslow dan karakteristik-karakteristik yang tercakup pada aktualisasi diri.

Beberapa perbedaan mendasar teori ERG dengan teori hierarki kebutuhan Maslow adalah 1) lebih dari satu kebutuhan dapat berjalan pada saat yang sama dan 2) jika kepuasan pada tingkat kebutuhan yang lebih tinggi tertahan, maka hasrat untuk memenuhi kebutuhan tingkat yang lebih rendah meningkat.

Hierarki kebutuhan Maslow mengikuti kemajuan yang bertingkat-tingkat dan kaku. ERG tidak sependapat dengan hierarki yang kaku bahwa kebutuhan yang lebih rendah harus lebih dahulu dipuaskan secara substansial sebelum orang dapat maju terus.

Maslow berargumen bahwa individu akan tetap pada tingkat kebutuhan tertentu sampai kebutuhan tersebut terpenuhi. Teori ERG menggugat itu dengan mengatakan bahwa jika kebutuhan tertentu pada urutan lebih tinggi terhalang, maka hasrat individu untuk meningkatkan kebutuhan tingkat lebih rendahnya akan berlangsung. Ketidakmampuan memuaskan kebutuhan akan interaksi sosial, misalnya mungkin meningkatkan hasrat untuk memiliki lebih banyak uang atau kondisi kerja yang lebih baik. Jadi frustrasi (halangan) dapat mendorong mundur ke kebutuhan yang lebih rendah.

Teori kebutuhan McClelland

Pencetus teori ini adalah David McClelland dan para koleganya. Teori ini fokusnya pada tiga kebutuhan, yakni prestasi (need for achievement), kekuasaan (need for power) dan pertemanan (need for affiliation). Kebutuhan ini didefinisikan sebagai berikut:

1.  Kebutuhan prestasi adalah dorongan untuk unggul, untuk berprestasi berdasarkan seperangkat standar, untuk berusaha keras supaya sukses.

2. Kebutuhan akan kekuasaan adalah kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku dalam suatu cara yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan berperilaku sebaliknya.

3. Kebutuhan akan kelompok pertemanan adalah hasrat untuk melakukan hubungan antar pribadi yang ramah dan akrab.(McClelland, 1961).

Kebutuhan  akan prestasi (nAch-achievement need) adalah  dorongan kuat sekali untuk berhasil mencapai standar prestasi yang unggul.Mereka yang memiliki motif berprestasi mempunyai hasrat untuk melakukan sesuatu yang lebih baik atau lebih efisien dari pada sebelumnya.

Berdasarkan pandangan tersebut menurut penulis, seseorang yang memiliki motif berprestasi yang tinggi dicirikan oleh: 1) menghargai waktu (disiplin), 2) tekun, 3) bertahan dalam tekanan, 4) kreatif, 5) inovatif, 6) selalu mencari umpan balik terhadap pekerjaan, 7) cenderung individualis, 8) tidak menunda pekerjaan, 9) memilih pekerjaan yang menantang, 10) memiliki kemandirian dalam bekerja dan 11) mencapai standar kinerja yang tinggi.

Kebutuhan akan kekuasaan (nPow- need for power) adalah hasrat untuk berpengaruh dan mengendalikan orang lain. Individu-individu yang nPowernya  tinggi menikmati kekuasaan, bertarung untuk dapat mempengaruhi orang lain, lebih menyukai ditempatkan dalam situasi kompetitif dan berorientasi status dan cenderung lebih peduli akan prestise serta memperoleh pengaruh atas orang lain dari pada kinerja yang efektif.

Berdasarkan pandangan tersebut menurut penulis, seseorang yang memiliki motif berkuasa dicirikan oleh: 1) suka organisasi, 2) suka mengatur, 3) memperhatikan penampilan, 4) suka akan kompetisi, 5) lebih mengejar prestise dari pada prestasi, 6) tertarik pada politik, 7) selalu ingin mendapatkan dukungan, 8) memanfaatkan/memperalat teman untuk kariernya, 9) ambisi kekuasaan.

Kebutuhan pertemanan atau afiliasi (nAff-need for affiliation) adalah individu yang berjuang keras untuk mendapatkan persahabatan, lebih menyukai situasi kooperatif dari pada situasi kompetitif dan sangat menginginkan hubungan yang melibatkan derajat pemahaman timbal balik yang tinggi.

Berdasarkan pandangan tersebut menurut penulis, seseorang yang memiliki motif afiliasi dicirikan oleh: 1) komunikatif, 2) memiliki banyak teman, 3) selalu menjaga hubungan baik, 4) sangat kompromistis, 5) kesediaan mendengarkan, 6) cenderung menunda pekerjaan, 7) menjadi negosiator ulung, 8) solider terhadap permasalahan orang lain, dan 9) pro sosial.

Teori Evaluasi Kognitif

Pada akhir tahun 1960-an seorang peneliti mengemukakan bahwa pengenalan imbalan ekstrinsik seperti gaji atau upah kerja yang sebelumnya secara intrinsik dapat memberi keuntungan karena adanya kesenangan yang dikaitkan dengan isi kerja itu sendiri, cenderung mengurangi keseluruhan tingkat motivasi (Charms, 1968). Pendapat ini yang disebut sebagai teori evaluasi kognitif. Teori ini telah diteliti secara ekstensif dan banyak studi mendukungnya (Deci, 1975).

Teori Sasaran dalam Motivasi Kerja

Secara historis, ahli teori motivasi umumnya mengasumsikan bahwa motivasi intrinsik seperti misalnya, prestasi, tanggungjawab, dan kompetensi tidak bergantung pada motivator ekstrinsik seperti upah tinggi, promosi, hubungan penyelia yang baik, dan kondisi kerja yang menyenangkan. Tetapi, teori evaluasi kognitif mengemukakan sebaliknya. Teori ini berargumen bahwa bila imbalan ekstrinsik digunakan oleh organisasi sebagai hadiah atas kinerja yang unggul, imbalan intrinsik yang berasal dari individu-individu yang melakukan apa yang mereka sukai, akan berkurang. Dengan kata lain, bila imbalan ekstrinsik diberikan kepada seseorang untuk menjalankan tugas yang menarik, imbalan itu menyebabkan minat intrinsik terhadap tugas itu sendiri merosot.

Pada akhir tahun 1960-an Edwin Locke mengemukakan bahwa niat-niat untuk bekerja menuju sasaran merupakan sumber utama dari motivasi kerja (Locke, 1968). Artinya, sasaran memberi tahu karyawan apa yang perlu dikerjakan dan berapa banyak upaya yang harus dilakukan (Prest, et.al.1987).Banyak bukti sangat mendukung nilai dari sasaran. Sasaran khusus meningkatkan kinerja; sasaran yang sulit bila diterima baik, menghasilkan kinerja yang lebih tinggi dari pada sasaran yang mudah; dan  umpan balik menghasilkan kinerja yang lebih tinggi ketimbang tidak ada umpan balik (Yukl dan Latham, 1975).

Sasaran secara spesifik menghasilkan tingkat keluaran (output) yang lebih tinggi dari pada sasaran umum. Kekhususan sasaran itu sendiri berfungsi sebagai rangkaian internal. Jika faktor seperti kemampuan dan penerimaan sasaran itu dikonstankan, dapat dikatakan bahwa makin sulit tingkat kinerjanya.Akan tetapi adalah logis untuk mengasumsikan bahwa sasaran yang lebih mudah akan lebih besar kemungkinan untuk diterima. Tetapi begitu karyawan menerima dengan baik tugas yang sulit, ia akan berusaha keras sampai tugas itu dicapai, diturunkan atau diabaikan.

Menurut McMahon dan Ivancevich, (1982) bahwa orang akan melakukan tugas dengan baik, bila mereka menerima umpan balik. Umpan balik, membantu mengidentifikasi penyimpangan antara apa yang telah dan apa yang akan mereka kerjakan.Umpan balik dengan demikian, bertindak memandu perilaku. Namun, tidak semua umpan balik sama kuatnya. Umpan balik yang ditimbulkan oleh  diri sendiri dimana karyawan itu mampu memantau kemajuan sendiri, telah terbukti sebagai motivator yang lebih ampuh dari pada umpan balik yang ditimbulkan secara eksternal.

Dalam beberapa kasus, sasaran yang disusun secara partisipatif, menghasilkan kinerja yang unggul. Dalam kasus lain, individu akan memiliki kinerja yang tinggi bila ditugasi sasaran oleh atasan mereka. Tetapi keuntungan utama dari partisipasi mungkin ada dalam peningkatan penerimaan terhadap sasaran itu sendiri sebagai sasaran yang diinginkan (Hulin, et.al;1985).

Di samping umpan balik, tiga faktor lain telah ditemukan mempengaruhi  hubungan sasaran-kinerja yaitu, komitmen sasaran, keefektifan diri (self efficacy) yang memadai dan budaya nasional. Teori penentuan sasaran sebelumnya mengasumsikan bahwa individu berkomitmen terhadap sasaran artinya bertekad untuk tidak menurunkan atau meninggalkan sasaran.Ini paling besar kemungkinan untuk terjadi bila sasaran itu diumumkan; bila individu mempunyai locus of control internal dan bila sasaran itu ditentukan sendiri bukannya ditugaskan (Klein, et.al.;1989). Keefektifan diri merujuk pada keyakinan individu bahwa ia mampu menyelesaikan tugas tertentu (Bandura, 1997). Makin tinggi keefektifan diri seseorang, makin besarlah kepercayaan diri seseorang terhadap kemampuan untuk berhasil dalam tugas tertentu. Jadi dalam situasi sulit, orang dengan keefektifan diri rendah lebih besar kemungkinan untuk mengurangi upaya mereka atau sama sekali menyerah sedangkan mereka dengan keefektifan diri tinggi, akan berusaha lebih keras untuk enguasai tantangan itu (Bobko, et.al., 1984).Di samping itu individu dengan keefektifan diri yang tinggi tampaknya menanggapi umpan balik yang negatif dengan meningkatkan upaya dan motivasi sementara mereka yang rendah keefektifan dirinya kemungkinan besar akan mengurangi upayanya bila diberi umpan balik yang negatif (Cervone dan Bandura, 1986). Riset menunjukkan bahwa sasaran memiliki dampak yang lebih substansial terhadap kinerja bila tugas-tugas itu sederhana dan bukannya rumit, dapat dikenali dan bukannya baru serta independen dan bukannya interdependen (Locke, et.al 1987).

Teori Penguatan dalam Motivasi Kerja

Lawan dari teori penentuan sasaran adalah teori penguatan (reinforcement theory). Teori penguatan sasaran merupakan pendekatan kognitif. Pendekatan kognitif berpandangan bahwa sasaran menjadi fokus individu mengarahkan tindakannya. Berbeda dengan itu teori penguatan, merupakan pendekatan perilaku (behavioristik). Pendekatan behavioristik berpandangan bahwa penguatanlah yang memperkuat perilaku. Jelas secara filosofis kedua teori tersebut berlawanan.Para ahli teori penguatan memandang perilaku dibentuk oleh lingkungan. Hal yang mengendalikan perilaku adalah pemperkuat (reinforcers) setiap konsekwensi. Konsekwensi tersebut bila diikuti dengan respon tertentu, meningkatkan kemungkinan bahwa perilaku itu akan berulang.

Teori penguatan mengabaikan keadaan internal dari individu dan memusatkan hanya pada apa yang terjadi pada seseorang bila ia mengambil sesuatu tindakan. Karena teori itu tidak memperdulikan apa yang mengawali perilaku, maka jelas teori ini bukanlah teori motivasi. Tetapi teori ini memberi cara analisis yang ampuh terhadap apa yang mengendalikan perilaku. Dan untuk alasan inilah lazim dipertimbangkan dalam pembahasan motivasi (Schepman, et.al.1996).

Teori Pengharapan dalam Motivasi Kerja

Penemu teori pengharapan (ekspektasi) adalah Victor Vroom (1964). Meskipun ada yang mengkritiknya, namun kebanyakan bukti riset mendukung teori itu (Lawler dan Porter, 1968). Teori pengharapan berargumen bahwa kekuatan dan kecenderungan untuk bertindak dengan cara tertentu bergantung pada kekuatan pengharapan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh output tertentu dan bergantung pada daya tarik output itu bagi individu tersebut. Dalam istilah yang lebih praktis, teori pengharapan mengatakan bahwa karyawan dimotivasi untuk melakukan upaya yang lebih keras bila ia meyakini upaya itu menghasilkan penilaian kinerja yang baik. Penilaian yang baik akan mendorong imbalan organisasi seperti bonus, kenaikan gaji atau promosi. Dan imbalan itu akan memenuhi sasaran pribadi karyawan itu.

Teori pengharapan berfokus pada tiga hubungan:

1. Hubungan upaya – kinerja. Probabilitas yang dipersepsikan oleh individu yang mengeluarkan sejumlah upaya tertentu itu akan mendorong kinerja.

2. Hubungan kinerja – imbalan. Sampai sejauhmana individu itu meyakini bahwa berkinerja pada tingkat tertentu, akan mendorong tercapainya output yang diinginkan.

3. Hubungan imbalan – sasaran pribadi. Sampai sejauhmana imbalan-imbalan organisasi memenuhi sasaran atau kebutuhan pribadi individu serta potensi daya tarik imbalan tersebut bagi indivu yang bersangkutan (Vroom, 1964).

Posting Komentar untuk "Teori-teori Motivasi Kerja Menurut Para Ahli Psikologi"