Hari semakin sore kira-kira pukul 16.00, di sepanjang jalan sultan alauddin sangat ramai dengan lalu lalang kendaraan baik itu kendaraan roda dua maupun kendaraan roda empat, di sana sini orang berjalan mengikuti langkah kaki mereka dalam beraktifitas. Saya yang sedari tadi duduk termangu di depan kampus I UIN Alauddin memandangi penyelesaian konstruksi bangunan rumah sakit dan gedung kuliah pasca sarjana, tak tau apa yang mau ku kerjakan karena baru tiba dari kampus II UIN alauddin Makassar di samata gowa sekitar satu jam yang lalu.
Seperti biasanya kalau pulang kampus perut mulai terasa perih karena dari tadi pagi perutku ini hanya diisi dengan sepotong roti dan segelas teh, begitulah kondisi mahasiswa yang bermodal tipis, yang ada di kepala hanyalah kapan bisa menyelesaikan studi dan pulang ke kampung halaman dengan membawa ilmu pengetahuan dan titel keserjanahan yang menurutku tidak terlalu penting, yang terpenting seberapa besar otak ini diisi dengan ilmu yang bermanfaat.
Aku terus memandangi pembangunan gedung bertingkat yang mewah itu, hingga dikagetkan oleh mahasiswi tingkat bawah yang berjalan menghampiriku.
“Lagi apaq ka?” begitulah percakapan awal yang dimulai dengan pertanyaan basa-basi.
“Lagi dudukji saja, sambil ku lihat pembangunan kampusta yang maumi rampung”, ku balas dengan jawaban sekenanya saja.
“Bagaimana dengan skripsita ka?” dia melanjutkan percakapannya dengan bertanya tentang skripsiku.
“Sudahmi ditanda tangi sama pembimbingku de, tinggal ujian akhir ji ini” begitulah jawabku kepadanya, kebetulan saya merupakan salah satu mahasiswa yang terlambat wisuda sudah tiga semester bertahan di kampus.
“Bagusmi itu ka”, dia hanya mengatakan itu tanpa ada ucapan selamat atau apapun yang terdengar enak di telinga, tapi bagiku tidak menjadi masalah karena sudah terbiasa.
“Kalau kita iya, bagaimana dengan kuliahta? Jangan sampai terlambat selesai sepeti saya ini, kuliah yang rajin selesaikan nilaimu yang bermasalah sejak dini, biar cepatq selesai”. Begitulah sedikit nasehat dari seorang kaka senior yang telat selesai.
“iya ka, pulangka duluna, jangqi lama-lama melamun di sini ka”.
“Oke ani, hati-hatiq di jalan de”. Diapun berjalan menyusuri lorong kecil yang kami sebut sebagai lorong tikus (lotus), sedangkan diriku masih terdiam dan pikiranku kacau balau memikirkan ujian akhir yang sudah dekat.
Tak jauh dari tempat duduku ada sebuah terminal kecil untuk mobil kampus yang khusus untuk mengantar mahasiswa dari kampus I ke kampus II, kalaupun ada masyarakat umum yang naik mobil kampus maka itu adalah mereka yang tinggal di antara kampus I dan kampus II. Mobil itu saling bergantian, ada yang baru masuk dengan banyak penumpang dan ada yang keluar menuju kampus II dengan berlari kosong, karena kalau sudah sore begini penumpang di kampus I mulai sepi, hanya mahasiswa yang baru pulang kuliah dari kampus II saja yang memenuhi kendaraan roda empat itu.
Matahari mulai menyongsong ke sebelah barat, langit mulai berwarna kemerahan gelap, perutkupun berontak meminta untuk diisi dengan makanan. Aku membuka dompetku dan menghitung lembaran-lembaran rupiah, apakah bisa untuk membeli makanan atau tidak, setalah ku hitung lembaran-lembaran pecahan dua ribu dan lima ribuku, ternyata masih tersisa Rp. 32.000, bisa untuk membeli semangkok coto Makassar dan beberapa buah ketipat.
Aku berdiri dari tempat dudukku, berjalan melalui trotoar menuju ke warung yang jaraknya lumayan jauh. Di depan gedung Syekh Yusuf Jl. Sultan Alauddin ada warung yang bertuliskan coto bagadang, di sinilah tempat faforitku untuk menyantap coto Makassar. Aku masuk dan memesan satu mangkok coto. Di sini para pembeli disediakan empat pilihan yaitu coto dengan isi mangkuk campuran, daging saja atau hati saja dan daging dan hati. Saya memilih pilihan keempat, sedangkan untuk ketupat sudah disediakan di atas meja makan.
Aroma bau daging di dalam ruangan itu menyengat hidung dengan keharuman yang begitu menggiurkan mulut. Aku hanya terdiam dan menikmati bau harum itu, kemudian dalam diamku itu yang tidak terlalu lama makanan kesukaanku di kota daeng itupun tiba dihadapanku. Pelayan di sini begitu cepat dalam menyajikannya, jadi tidak perlu tunggu lama lagi perut sudah bisa diisi dengan daging kambing atau daging sapi yang dibalut dengan bumbu khas masyarakat Sulawesi Selatan.
“Silahkan dimakanq”, begitulah saya dipersialahkan makan oleh seorang pelayan yang tak asing lagi di mataku.
“iye, terima kasih”. Ku jawab begitu saja, diapun berlalu menuju tempatnya dan melayani lagi pembeli lainnya. Tak perlu tunggu lama lagi, akupun mulai menyelami lautan kenikmatan bersama coto makassar dan beberapa buah ketupat yang ada di depanku, tak lupa teh es yang manis turut serta melepaskan dahagaku.
Setelah makan lalu menuju ke kasir untuk membayar makanan yang ku makan tadi, kemudian langkah kakiku membimbingku menuju ke kamar kos-kosan yang jaraknya lumayan jauh. Berselang 15 menit aku sampai di kamar kos-kosanku kemudian menyiapkan segala hal untuk akhir studiku.
Begitulah kisahku di kota daeng, bagaimana dengan kisahmu?
Seperti biasanya kalau pulang kampus perut mulai terasa perih karena dari tadi pagi perutku ini hanya diisi dengan sepotong roti dan segelas teh, begitulah kondisi mahasiswa yang bermodal tipis, yang ada di kepala hanyalah kapan bisa menyelesaikan studi dan pulang ke kampung halaman dengan membawa ilmu pengetahuan dan titel keserjanahan yang menurutku tidak terlalu penting, yang terpenting seberapa besar otak ini diisi dengan ilmu yang bermanfaat.
Aku terus memandangi pembangunan gedung bertingkat yang mewah itu, hingga dikagetkan oleh mahasiswi tingkat bawah yang berjalan menghampiriku.
“Lagi apaq ka?” begitulah percakapan awal yang dimulai dengan pertanyaan basa-basi.
“Lagi dudukji saja, sambil ku lihat pembangunan kampusta yang maumi rampung”, ku balas dengan jawaban sekenanya saja.
“Bagaimana dengan skripsita ka?” dia melanjutkan percakapannya dengan bertanya tentang skripsiku.
“Sudahmi ditanda tangi sama pembimbingku de, tinggal ujian akhir ji ini” begitulah jawabku kepadanya, kebetulan saya merupakan salah satu mahasiswa yang terlambat wisuda sudah tiga semester bertahan di kampus.
“Bagusmi itu ka”, dia hanya mengatakan itu tanpa ada ucapan selamat atau apapun yang terdengar enak di telinga, tapi bagiku tidak menjadi masalah karena sudah terbiasa.
“Kalau kita iya, bagaimana dengan kuliahta? Jangan sampai terlambat selesai sepeti saya ini, kuliah yang rajin selesaikan nilaimu yang bermasalah sejak dini, biar cepatq selesai”. Begitulah sedikit nasehat dari seorang kaka senior yang telat selesai.
“iya ka, pulangka duluna, jangqi lama-lama melamun di sini ka”.
“Oke ani, hati-hatiq di jalan de”. Diapun berjalan menyusuri lorong kecil yang kami sebut sebagai lorong tikus (lotus), sedangkan diriku masih terdiam dan pikiranku kacau balau memikirkan ujian akhir yang sudah dekat.
Tak jauh dari tempat duduku ada sebuah terminal kecil untuk mobil kampus yang khusus untuk mengantar mahasiswa dari kampus I ke kampus II, kalaupun ada masyarakat umum yang naik mobil kampus maka itu adalah mereka yang tinggal di antara kampus I dan kampus II. Mobil itu saling bergantian, ada yang baru masuk dengan banyak penumpang dan ada yang keluar menuju kampus II dengan berlari kosong, karena kalau sudah sore begini penumpang di kampus I mulai sepi, hanya mahasiswa yang baru pulang kuliah dari kampus II saja yang memenuhi kendaraan roda empat itu.
Matahari mulai menyongsong ke sebelah barat, langit mulai berwarna kemerahan gelap, perutkupun berontak meminta untuk diisi dengan makanan. Aku membuka dompetku dan menghitung lembaran-lembaran rupiah, apakah bisa untuk membeli makanan atau tidak, setalah ku hitung lembaran-lembaran pecahan dua ribu dan lima ribuku, ternyata masih tersisa Rp. 32.000, bisa untuk membeli semangkok coto Makassar dan beberapa buah ketipat.
Aku berdiri dari tempat dudukku, berjalan melalui trotoar menuju ke warung yang jaraknya lumayan jauh. Di depan gedung Syekh Yusuf Jl. Sultan Alauddin ada warung yang bertuliskan coto bagadang, di sinilah tempat faforitku untuk menyantap coto Makassar. Aku masuk dan memesan satu mangkok coto. Di sini para pembeli disediakan empat pilihan yaitu coto dengan isi mangkuk campuran, daging saja atau hati saja dan daging dan hati. Saya memilih pilihan keempat, sedangkan untuk ketupat sudah disediakan di atas meja makan.
Aroma bau daging di dalam ruangan itu menyengat hidung dengan keharuman yang begitu menggiurkan mulut. Aku hanya terdiam dan menikmati bau harum itu, kemudian dalam diamku itu yang tidak terlalu lama makanan kesukaanku di kota daeng itupun tiba dihadapanku. Pelayan di sini begitu cepat dalam menyajikannya, jadi tidak perlu tunggu lama lagi perut sudah bisa diisi dengan daging kambing atau daging sapi yang dibalut dengan bumbu khas masyarakat Sulawesi Selatan.
“Silahkan dimakanq”, begitulah saya dipersialahkan makan oleh seorang pelayan yang tak asing lagi di mataku.
“iye, terima kasih”. Ku jawab begitu saja, diapun berlalu menuju tempatnya dan melayani lagi pembeli lainnya. Tak perlu tunggu lama lagi, akupun mulai menyelami lautan kenikmatan bersama coto makassar dan beberapa buah ketupat yang ada di depanku, tak lupa teh es yang manis turut serta melepaskan dahagaku.
Setelah makan lalu menuju ke kasir untuk membayar makanan yang ku makan tadi, kemudian langkah kakiku membimbingku menuju ke kamar kos-kosan yang jaraknya lumayan jauh. Berselang 15 menit aku sampai di kamar kos-kosanku kemudian menyiapkan segala hal untuk akhir studiku.
Begitulah kisahku di kota daeng, bagaimana dengan kisahmu?