Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Gagasan Dasar dan Pemikiran Pendidikan Multikultural

Gagasan Dasar dan Pemikiran Pendidikan Multikultural

Pendidikan adalah salah satu bidang yang sangat menentukan dalan kemajuan suatu negara. Inodnesia adalah negara kesatuan yang terdiri dari berbagai macam suku, adat, agama, bahasa dan lain-lain, kesatuan ini yang akan menjadi bentuk negara ini secara plural melalui pendidikan perbedaaan ini dapat disatukan agar tidak terjadi diskriminasi yang menyudutkan pada satu golongan sehingga pembangunan indonesia terhambat. Sistem pendidikan Indonesia yang setiap tahun berganti mengikuti jalur politik pemenang membuat ketidak konsistenan negara dalam memajukan dunia pendidikan.

Pendidikan multikultural dapat dirumuskan sebagai wujud kesadaran tentang keanekaragaman kultural, hak-hak asasi manusia serta pengurangan atau penghapusan berbagai jenis prasangka untuk membangun kehidupan masyarakat yang adil dan maju. Pendidikan multikultural juga dapat diartikan sebagai strategi untuk mengembangkan kesadaran atas kebanggaan seseorang terhadap bangsanya.

Toleransi adalah nilai dan tradisi yang niscaya dalam sebuah masyarakat yang majemuk dan multikultural. Tanpa toleransi, masyarakat akan selalu berada dalam suasana konfliktual yang destruktif, saling bermusuhan, penuh arogansi, dan tidak stabil. Toleransilah yang bisa membuat perbedaan menjadi kekuatan, mentransformasikan keragaman menjadi suatu keharmonisan. Toleransi memungkinkan masyarakat multiultural bergerak maju secara dinamis dalam situasi sosial yang damai dan stabil.

Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Wacana mengenai multikultural telah memasuki babak baru. Indikasinya, diskusi mengenai multikultural tidak saja terjadi di lingkungan tradisi akademis, melainkan telah menjadi bagian dari wacana dan kebijakan publik. Diskursus mengenai multikultural telah menjadi materi pendidikan, pelatihan, bahkan kursus singkat yang praktis.

Melihat fenomena tersebut, pendidikan di Indonesia haruslah peka menghadapi perputaran globalisasi. Pengalaman pahit masa lalu tidak perlu terulang kembali. Untuk itu, perlulah pendidikan multikultural sebagai jawaban atas beberapa problematika kemajemukan tersebut. Oleh sebab itu, penulis berusaha menjabarkan sedikit wawasan tentang pendidikan multikultural yang nantinya mudah-mudahan bisa bermanfaat.

A. Pengertian Pendidikan Multikultural


Pendidikan multikultural masih diartikan sangat beragam, apakah pendidikan ini berkonotasi tentang pendidikan tentang keragaman budaya, atau pendidikan untuk membentuk sikap menghormati keragaman budaya. Secara etimologis pendidikan multikultural terdiri dari dua term, yaitu pendidikan dan multikultural. Sedangkan dari sisi terminologis, pendidikan multikultural merupakan proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama).

Prudence Crandall seorang pakar pendidikan Amerika Serikat yang dikutip Ainurrofiq Dawam memberikan pandangannya bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh terhadap latar belakang peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis), ras, agama (aliran kepercayaan) dan budaya (kultur).  James A. Banks, salah seorang pioner pendidikan multikultural menyatakan bahwa pendidikan multikultural dapat dipahami sebagai konsep, ide, falsafah atau suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.

Sementara Azyumardi Azra memaknai pendidikan multikultural sebagai pendidikan atau tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografi dan kultur lingkungan masyarakat tertentu bahkan dunia secara keseluruhan. Dengan demikian nantinya diharapkan dapat menumbuhkan sikap toleransi, saling pengertian dan keterbukaan, serta semua sikap dan nilai penting bagi harmoni sosial dan perdamaian.

Dede Rosyada dengan mengutip pendapat para ahli tentang pendidikan multikultural, di antaranya: Sunarto menjelaskan pendidikan multikultural sebagai pendidikan keragaman budaya dalam masyarakat atau pendidikan yang menawarkan ragam model untuk keragaman budaya dalam masyarakat dan diartikan sebagai pendidikan untuk membina sikap siswa agar menghargai keragaman masyarakat. Sementara Conny R. Semiawan memaknai pendidikan multikultural dengan pemberian hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas untuk seluruh kelompok etnik dan budaya masyarakat Indonesia dan memiliki hak yang sama untuk mencapai prestasi terbaik di bangsa ini.

Secara terperinci, M. Ainul Yaqin memaparkan bahwa pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada siswa seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, kelas sosial, ras, kemampuan, dan umur agar proses belajar menjadi efektif dan mudah.  Dalam konteks ini, pendidikan multikultural di pandang sebagai pendidikan progresif dalam melakukan transformasi pendidikan secara komprehensif yang membongkar segala kekurangan dan kegagalan serta terdapatnya praktek-praktek diskriminasi dalam proses pendidikan.

Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru pasca kemerdekaannya pada 4 Juli 1776 baru disadari bahwa, masyarakatnya terdiri dari berbagai ras dan asal Negara yang berbeda. Oleh karena itu, dalam hal ini Amerika mencoba mencari terobosan baru, yaitu dengan menempuh strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan. Atau dalam bahasa lain, sekolah lain, sekolah sebagai medium transformasi budaya.

Melalui pendekatan inilah, dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, Amerika Serikat berhasil membentuk bangsanya yang dalam perkembangannya melampaui masyarakat induknya yaitu Eropa. Kaitannya dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui system pendidikan pasa suatu masyarakat, maka Amerika Serikat memakai system demokrasi dalam pendidikan yang dipelopori oleh John Dewey. Intinya, toleransi tidak hanya diperuntukkan bagi kepentingan bersama, tetapi juga menghargai kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat.

Sehubungan dengan hal di atas, akhir-akhir ini di Indonesia sedang mencuat wacana baru dalam khazanah pemikiran pendidikan, yakni pendidikan multicultural. Tentu, hal tersebut patut diapresiasi secara positif oleh semua kalangan yang peduli terhadap “nasib” pendidikan di negeri ini. Gagasan tersebut muncul dilatarbelakangi oleh beberapa sebab, salah satu di antaranya adalah globalisasi. Globalisasi melahirkan peluang, ancaman, dan tantangan bagi kehiduapan manusia di berbagai belahan bumi, termasuk imbasnya adalah kebudayaan bangsa (culture and tradition).

Dalam konteks itu, pendidikan multicultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap “indifference” dan “non-recognition” tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multicultural mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: social, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhanya kajian-kajian tentang “ethnic studies” untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subjek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadvantaged.

Istilah “pendidikan multicultural” dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif dan normative, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multicultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multicultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang perbedaan etno-kultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, HAM; demokrasi dan pluralitas, multikulturalisme, kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.

Dalam konteks teoretis, belajar dari model-model pendidikan multicultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh Negara-negara maju, dikenal lima pendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme; kedua, pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan; ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan; keempat, pendidikan dwi-budaya; kelima, pendidikan multicultural sebagai pengalaman moral manusia.

Sebetulnya, konsep pendidikan multicultural, utamanya di Negara-negara yang menganut konsep demokratis seperti Amerika Serikat dan Kanada, bukan hal yang baru lagi. Mereka telah melaksanakannya khususnya dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit putih dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional.

B. Paradigma Pendidikan Multikultural


Kemajemukan merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Seperti yang diketahui, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau terbesar di dunia, yang mencapai 17.667 pulau besar dan kecil. Dengan jumlah pulau sebanyak itu, maka ajarlah jika kemajemukan masyarakat di Indonesia merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dielakkan. Dan perlu disadari bahwa perbedaan tersebut merupakan karunia dan anugerah Tuhan. Karena itu, Usman Pelly  menyatakan yang dikutip oleh Chirul Mahfud dalam bukunya Pendidikan Multikultural bahwa, mekipun setiap warga negara Indonesia (WNI) berbicara dalam satu bahasa nasional, namun kenyataannya terdapat 350 kelompok etnis, adat istiadat, dan cara-cara sesuai dengan kondisi lingkungan tertentu.

Pada satu sisi, kemajemukan masyarakat memberikan side effect (dampak) secara positif. Namuhn, pada sisi yang lain, ia juga menimbulkan dampak negatif, karena faktor kemajemukan itulah justru terkadang sering menimbulkan konflik antarkelompok masyarakat. Pada akhirya, konflik-konflik antarkelompok masyarakat tersebut akan menimbulkan distabilitas keamanan, sosial-ekonomi, dan ketidakharmonisan sosial (social disharmony). Pakar pendidikan, Syarif Sairin, memetakan akar-akar konflik dalam masyarakat majemuk,di jelaskan dalam buku Choirul Mahfud Pendidikan Multikultural, yakni: (1)perebutan sumber daya, alat-alat produksi, dan kesempatan ekonomi (acces to economic resource and to means of production); (2) perluasan batas-batas sosial budaya (social and cultural berderline expansion); dan (3) bentuk kepentingan politik, ideologi dan agama (conflict of political, ideology, and religion interest).

Choirul Mahfud berpendapat, dalam menghadapi pluralisme budaya tersebut diperlukan paradigma baru yang lebih toleran, yaitu paradigma pendidikan multikultural.  Pendidikan berparadigma multikulturalisme tersebut penting, sebab akan mengarahkan anak didik untuk bersikap dan berpandangan toleran dan inklusif terhadap relitas masyarakat yang beragam, baik dalam hal budaya, suku, ras, etnis, maupun agama. Paradigma ini dimaksudkan bahwa kita hendaknya apresiatif terhadap budaya orang lain, perbedaan dan keberagaman merupakan kekayaan dan khazanah bangsa kita. Dengan pandangan tersebut, di harapkan sikap eksklusif yang selama ini bersemayam dalam otak kita dan sikap membenarkan pandangan sendiri (truth claim) dengan menyalahkan pandangan orang lain dapat dihilangkan atau di minimalisir.

Banyak bukti di negara kita ini, tentang kerusuhan dan konflik yang berlatarbelakang SARA (suku, adat, ras, dan agama). Fakta tersebut sebetulnya menunjukkan kegagalan pendidika dalam menciptakan kesadaran pluralime dan multikulturalisme. Simbol budaya, agama, ideologi, bendera, baju dan sebagainya, itu sebenarnya boleh berbeda. Tetapi, pada hakikatnya kita satu, yaitu satu bangsa. Kita setuju dalam perbedaan (agree in diagreement). Pada basarnya manusia diciptakan Tuhan dengan berbeda jeni kelamin, bangsa, suku, warna kulit, budaya dan sebagainya, dan agar diketahui bahwa orang yang paling mulia di sisi Tuhan adalah yang paling baik amal perbuatannya (bertaqwa). Hal ini sejalan dengan ajaran Islam, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13:          

“Hai manusia sesungguhnya kami menjadikan kamu dari laki-laki dan perempuan (bapak dan ibu), dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa (bermacam-macam umat) dan bersuku-suku, supaya kamu berkenal-kenalan. Sesungguhnya orang termulia di antara kamu di sisi Allah SWT ia orang yang lebih taqwa. Sungguh Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.” (Al Hujurat: 13)

Pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri:

  1. Tujuannya membentuk “manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat berbudaya (berperadaban)”.
  2. Materinya mengajarkan nilai0nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis kultural.
  3. Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis).
  4. Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.

Pendapat M. Khoirul Muqtafa yang dikutip dalam bukunya Choirul Mahfud Pendidikan Multikultural mengatakan, bahwasannya paradigma multikultural yang marak didengungkan sebagai langkah alternatif dalam rangka mengelolah masyarakat multikultural seperti di Indonesia tampaknya masih menjadi wacana belaka. Gagasan genuine ini belum mampu diejawantahkan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah, dalam tindakan praksis. Apa yang mengemuka sepanjang tahun 2003 lalu hingga sekarang merupakan indikasi nyata hal ikhwal di atas.

Konflik antar-suku maupun agama muncul bak jamur di musim hujan. Kesatuan dan persatuan yang di idam-idamkan selama ini ternyata semu belaka. Yang mengemuka kemudian adalah antarsuku, daerah, ras, ataupun agama dengan mengenyampingkan realitas atau kepentingan yang lain. Bahkan, tak jarang suatu kelompok menghalal segala cara demi mewujudkan kepentingan ini. Ironisnya memang, perbedaan yang seharusnya tidak dijadikn alasan dan halangan untuk bersatu, namun justru dijadikan alasan untuk bermusuh-musuhan atas nama perbedaan.

Faktor lain yang turut menyebabkan mandulnya pendidikan multikultural pada tingkat praksis bisa jadi disebabkan masih dominannya wacana “toleransi” dalam menyikapi ralitas multikultural tersebut. Toleransi hanya mungkin terjadi apabila orang rela merelativisasi klaim-klaimnya sebagaimana diungkapkan oleh Richard Rorty dalam bukunya Choirul Mahfud, seorang filsuf neo-pragmatis. Penghargaan atas yang lain sebagaimana dibayangkan dalam “toleransi” memang dibutuhkan. Namun, toleransi seringkali terjebak pada ego-sentrisme. Ego-sentrisme di sini adalah sikap saya mentileransi yang lain demi saya sendiri. Artinya, setiap perbedaan mengakui perbedaan lain demi menguatkan dan mengawetkan perbedaannya sendiri (I am what I am not). Yang terjadi kemudian adalah ko-eksistensi bukannya pro-eksistensi yang menentukan aktifitas dari tiap individu yang berbeda untuk merenda dan merajut tali-temali kebersamaan. Tak aneh kalau kemudian yang muncul bukannya situasi rukun tetapi situasi acuh tak acuh (indifference).

Sampai di sini, layak kita meneguhkan kembali paradigma multikultural tersebut. Peneguhan ini harus lebih ditekankan pada persoalan kompetensi kebudayaan sehingga tidak hanya berkutat pada aspek kognitif melainkan beranjak ke aspek psikomotorik dan afektif. Peneguhan ini dimaksudkan untuk memunculkan kesadaran bahwa multikulturalisme, sebagaimana diungkapkan Goodenough yang tercantum dalam buku Choirul Mahfud Pendidikan Multikultural, pengalaman normal manusia. Ia ada dan hadir dalam relitas empirik. Untuk itu, pengelolaan masyarakat multikultural Indonesia tidak bisa dilakukan dengan cara taken for granted atau trial and eror. Sebaliknya, harus diupayakan secara sistematis, programatis, integrated, dan kesinambungan (continue). Disinilah fungsi strategis pendidikan multikultural sebagai sebuah prosesdi mana seseorang mengembangkan kompetensi dalam beberapa sistem standar untuk mempersepsi, mengevaluasi, meyakini, dan melakukan tindakan.

Dalam melaksanakan pendidikan multikultural mesti dikembangkan prinsip solidaritas. Yakni, kesiapan untuk berjuang dan bergabung dalam perlaanan demi pengakuan perbedaan yang lain dan bukan demi dirinya sendiri. Solidaritas menuntut agar kita melupakan upaya-upaya penguata identitas; melainkan menuntut kita agar berjuang demi dan bersama yang lain. Dengan berlaku demikian, kehidupan multikultural yang dilandasi kesadaran akan eksistensi diri tanpa merendahkan yang lain diharapkan segera terwujud.

C. Gagasan Dasar Pendidikan Multikultural


Gagasan pendidikan multikultural di Indonesia sendiri, yang digagas oleh H.A.R. Tilaar adalah pendidikan untuk meningkatkan penghargaan terhadap keragaman etnik dan budaya masyarakat. Pendidikan multikultural dipersepsikannya sebagai jembatan untuk mencapai kehidupan bersama dari umat manusia dalam era globalisasi yang penuh dengan tantangan-tantangan baru.  Sebab jiwa dari globalisasi itu merupakan informasi yang tidak berbatas (borderless information), globalisasi yang dikenal dengan global village, muncul disebabkan perkembangan teknologi informasi. Dalam situasi inilah terjadinya proses lintas budaya yang mempertemukan nilai-nilai budaya yang satu dengan yang lainnya. Pertemuan nilai-nilai budaya ini, tentunya dapat menghasilkan nilai-nilai baru yang bermakna ataupun sebaliknya.

Dalam konteks kebudayaan nasional, menurut Tilaar globalisasi tidak diasumsikan sebagai massafikasi umat manusia tetapi sebaliknya menonjolkan individualitas manusia. Individualitas atau identitas suatu bangsa sebagai aset kekayaan manusia itu sendiri. Globalisasi bukan akan mengancurkan budaya bangsa, tetapi justru menyuburkan hidupnya berbagai jenis budaya global sebagai sumbangan bagi lahirnya mozaik budaya internasional yang lebih marak.

Untuk itu dalam konsepsi Tilaar pendidikan multikultural tidak terlepas dari keseluruhan dinamika budaya suatu masyarakat. Oleh sebab itu, tinjauan studi kultural haruslah diadakan melalui lintas batas (border crossing) yang melangkahi batas-batas pemisah yang tradisional dari disiplin-disiplin dunia akademik yang kaku sehingga pendidikan multikultural tidak terikat pada horison sempit yang hanya melihat pendidikan di sekolah (school education) dan proses pendidikan tidak melebihi sebagai proses transmisi atau reproduksi ilmu pengetahuan kepada generasi yang akan datang.

D. Tujuan Pendidikan Multikultural


Tujuan pendidikan multikultural ada dua, yakni tujuan awal dan tujuan akhir. Tujuan awal merupakan tujuan sementara karena tujuan ini hanya berfungsi sebagai perantara agar tujuan akhirnya tercapai dengan baik. Pada dasarnya tujuan awal pendidikan multikultural yaitu membangun wacana pendidikan, pengambil kebijakan dalam dunia pendidikan dan mahasiswa jurusan ilmu pendidikan ataupun mahasiswa umum. Harapannya adalah apabila mereka mempunyai wacana pendidikan multikultural yang baik maka kelak mereka tidak hanya mampu untuk menjadi transformator pendidikan multikultural yang mampu menanamkan nilai-nilai pluralisme, humanisme dan demokrasi secara langsung di sekolah kepada para peserta didiknya.

Sedangkan tujuan akhir pendidikan multikultural adalah peserta didik tidak hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajaran yang dipelajarinya akan tetapi diharapkan juga bahwa para peserta didik akan mempunyai karakter yang kuat untuk selalu bersikap demokratis, pluralis dan humanis. Karena tiga hal tersebut adalah ruh pendidikan multicultural.

Selain itu Tujuan Pendidikan Multikultural adalah transformasi pembelajaran kooperatif di mana di dalam proses pembelajaran setiap individu mempunyai kesempatan yang sama. Sedangkan, transformasi pembelajaran kooperatif itu sendiri mencakup pendidikan belajar mengajar, konseptualisasi dan organisasi belajar. Belajar kooperatif mengandung pengertian sebagai suatu strategi pembelajaran yang menggunakan kelompok kecil, di mana pemelajar bekerja bersama, belajar satu sama lain, berdiskusi dan saling membagi pengetahuan, saling berkomunikasi, saling membantu untuk memahami materi pembelajaran, sehingga dalam pembelajaran kooperatif setiap anggota kelompok bertanggungjawab terhadap keberhasilan setiap anggota kelompoknya.

Berdasar tujuan pendidikan multikultural tersebut, pendidikan multikultural berupaya mengajak warga pendidikan untuk menerima perbedaan yang ada pada sesama manusia sebagai hal-hal yang alamiah (natural sunnatullah). Selain itu, pedidikan multikultural menanamkan kesadaran kepada mahasiswa akan kesetaraan (equality), keadilan (justice), kemajemukan (plurality), kebangsaan, ras, suku, bahsa, tradisi, penghormatan agama, menghendaki terbangunnya tatanan kehidupan yang seimbang, harmoni, fungsional dan sistematik dan tidak menghendaki terjadinya proses diskriminasi, kemanusiaan (humanity), dan nilai-nilai demokrasi (democration values)yang diperlukan dalam beragam aktivitas sosial.

E. Fungsi Pendidikan Multikutural


Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang di lihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Multikultural mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideology ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan usaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan miniritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu prodiktivitas.

Suparlan mengutip Fay 1996, jary dan jary (1991) Watson (2000) dan Reed (ed. 1997) menyebutkan bahwa muktikulturalisme ini akan menjadi acuan utama bagi terwujudnya masyarakat multikultural, karena multikulturalisme sebagai sebuah ideology akan mengakui dan mengagungkan perbedaan dan kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat mempunyai ssebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakattersebut yang coraknya seperti sebuah mozaik.multikulturalisme diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis meskipun terdiri dari beraneka ragam latar belakang kebudayaan.

Melalui pendidikan multikulturalisme ini diharapkan akan dicapai suatu kehidupan masyarakat yang damai, harmonis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang telah diamantkan dalam Undang-Undang Dasar.

Mantan menteri pendidikan nasional, Malik Fajar (2004) menurutnya, pendidikan multikulturalisme perlu di tumbuh kembangkan, karena potensi yang dimiki Indonesia secara cultural, tradisi, dan lingkungan geografi serta demografis sangat luar biasa.

Daftar Pustaka

Azra , Azyumardi. “Prolog Urgensi Pendidikan Multikultural”, Cerita Sukses Pendidikan Multikultural di Indonesia, Jakarta: CSRC UIN Syahid Jakarta, 2010.
Baidhawy, Zakiyuddin, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, Jakarta: Erlangga, 2005.
Budianta, Melani, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural: Sebuah Gambaran Umum, dalam Burhanuddin (ed.), Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia, Jakarta: Indonesian Institute for Civil Society, 2003.
Dawam, Ainurrofiq. Pendidikan Multikultural, Jogjakarta: Inspeal, 2006.
Dawam, Ainurrofiq. Emoh Sekolah, Menolak Komersialisasi Pendidikan dan Kanibalisme Intelektual Menuju Pendidikan Multikultural, Jogjakarta: Inspeal AhimsaKarya Press, 2003.
Mahfud, Choirul, Pendidikan Mulrikultural, Yugyakarta: Pustaka Pelajar,2010.
Rosyada, Dede. Pendidikan Multikultural Melalui Pendidikan Agama Islam, dalam Jurnal Ta'dib, vol. 11, Nomor 1, Tahun 2008.
Suprapto, Penanaman Dan Sikap Guru Pendidikan Agama Islam Terhadap Nilai-Nilai Multikultural. Jurnal penelitain pendidikan agama dan keagamaan. Vol VII, No 1, Januari-Maret, Tahun 2009.
Tilaar, H.A.R., Multikulturalisme, Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, Jakarta, Grasindo, 2004.
Tilaar, H.A.R., Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi Visi, Misi dan Program Aksi Pendidikan dan Pelatihan Menuju 2020, Jakarta: Grasindo. 1997.
Tilaar, H.A.R., Kekuasaan dan Pendidikan,Suatu Tunjauan dari Persfektif Study Kultural, Jakarta, Indonesia Tera, 2003.
Yaqin, Ainul, M., Pendidikan Multikultural; Cross-Cultur Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta: Pilar Media, 2005.

Posting Komentar untuk "Gagasan Dasar dan Pemikiran Pendidikan Multikultural"