Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

LAUT BUKAN MILIK KATONG? Elegi: kutukan sumber daya alam (The Resources Curse)

LAUT BUKAN MILIK KATONG? Elegi: kutukan sumber daya alam (The Resources Curse)
Judul di atas tiba-tiba menguak dalam pikiran saya. Judul tersebut pastinya akan sangat kontradiktif dengan keyakinan selama ini dan kondisi kekinian yang dan ini merupakan kumulasi kegalauan saya terkait beberapa bukti dan fakta yang selama ini sangat menggelitik. Sabtu, 23 Mei 2015 di salah satu media Televisi Swasta membahas terkait relawan illegal fishing yang sempat bertugas di Maluku. Yang  menarik buat saya bukan cerita yang digambarkan oleh satgas tersebut karena fakta yang mereka ceritakan adalah adegan film yang bukan hanya saya tonton namun juga kita alami dalam keseharian dan sangat dekat di depan mata kita. Sisi menarik lainnya adalah mereka adalah dua orang wanita yang bertugas sebagai satgas illegal fishing untuk menjaga laut kita dari illegal Fishing. Kenapa mereka? Kenapa bukan saudara-saudaraku sesama orang Maluku? Apakah masalah kesempatan? Kemampuan? Keinginan? Atau ada apa?

LAUT BUKAN MILIK KATONG? Elegi: kutukan sumber daya alam (The Resources Curse) Fakta menarik lainnya bahwa saat ini saya sedang menjalani studi di salah satu perguruan tinggi dan menekuni bidang ekonomi kelautan, tapi bukan itu yang menggelitik tentunya, yang menggelitik justru teman-teman saya adalah orang yang tidak tinggal di pesisir (jarang melihat laut), tapi ketika ditanyai tentang kelautan bahkan konteks Maluku, mereka dapat berbicara dengan gamblang memaparkan potensi dan prospektif laut Maluku kedepan bahkan mereka mampu menyentil terkait budaya sasi secara detail. Proses sasi yang, maaf, jika kita coba ajukan pertanyaan kepada sebagian kita, atau anak-anak kita, saya yakin akan kelabakan dalam menjelaskan proses sasi tersebut. Kita hanya sebatas melontarkan opini, isu dan kegalauan perubahan pardigma dari land oriented to marine oriented. Sehingga terkesan kita hanya berteriak namun pelakunya orang lain. Ada apa ini? kesempatan? Kemampuan? Keinginan? Atau apa?

Mirisnya lagi ketika saya temukan sekelompok rombongan anak SD di Jakarta yang melakukan praktikum terkait mangrove dan ketika mereka ditanyakan, sungguh luar biasa kemampuan mereka dalam menjelaskan fungsi dan jenis mangrove tersebut. Padahal laut bagi mereka adalah tontontan mingguan, bulanan atau bahkan jarang. Karena kesempatan mereka bertemu dengan laut hanya ketika rekreasi ke ancol atau praktikum misalnya, barulah mereka melihat mangrove dan lainnya. Sementara anak-anak kita dalam keseharian bergelut dengan laut namun apakah mereka mampu menjelaskan fungsi mangrove? Apakah ini kesempatan atau keinginan ? 

Di media sosial seperti facebook dan lainnya, atau di koran, radio, TV, di sekolah, di kampus, di pasar, di warung kopi, justru hanya menjadi ajang curahan kegalauan anak muda dengan pemikiran-pemikiran mereka tentang bagaimana daerah kedepan. Isu terkait potensi dan propsek kelautan dan perikanan di Maluku, strategi dan bahkan program-program pun didiskusikan dan kesemuanya itu merupakan ide brilian yang sebenarnya kadang disampaikan oleh para ahli dalam berbagai ajang ilmiah seminar, workshop dan lainnya. Namun pertanyaannya apakah ada ruang partisipasi aktif yang menampung ide dan saran konstruktif tersebut? Kita tentunya ingin semua pemikiran itu dapat diakomodir.

Dalam konteks lebih jauh lagi, kita bisa melihat Singapore dengan aquarium lautnya yang begitu megah SEA Aquarium menjadi bagian dari Resorts World Sentosa yang letaknya tidak dari Universal Studios Singapura. Di sana wisatawan bisa menelusuri dunia bawah laut yang menyajikan beragam jenis ikan, bahkan ada ikan yang tidak pernah ada di Negara mereka. Darimanakah mereka mmeperoleh ikan-ikan itu? Mungkin agak naif ketika kita bandingkan dengan Singapore, tapi masih ada juga beberapa daerah di Indonesia yang juga memiliki aquarium laut. Pertanyaannya, apakah kita tidak bisa memliki aquarium laut? kita hanya bergelut dengan teori dan fakta bahwa kita memiliki laut yang terdapat berbagai potensi dan ratusan jenis ikan, kemudian menyanyikan lagu bahwa kita adalah lumbung ikan. Kita hanya dapat berpergian kemana-mana sembari bercerita tentang daerah kita yang kaya akan ikan dan laut kita luas, but what next? Apakah kita hanya menjadi konsumen dan penonton dari sumberdaya yang begitu besar?

Sebenarnya jika ditelaah semuanya memiliki mimpi dan keinginan yang sama yaitu bagaimana Maluku harus bangkit dari keterpurukan selama ini sebagai daerah yang kaya dengan potensi sumber daya laut. Kita punya laut yang luas, pantai yang indah, ratusan pulau kecil, jumlah dan jenis ikan yang beragam, potensi wisata bahari, ecological wisdom dan kultur budaya yang khas, belum lagi potensi mineral dan lainnya, bahkan pada wilayah tertentu kita masih punya potensi sumberdya daratan yang tinggi. Berdasarkan data kita memiliki 1.412 pulau, dengan luas wilayah 712.480 km2, terdiri dari sekitar 92,4% lautan dan 7,6% daratan dengan garis pantai sepanjang 10.662 km. Namun ketika disandingkan dengan indikator-indikator kesejahteraan seperti laju pertumbuhan yang rata-rata 5,8% (2006-2013) dan ini lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi nasional. Demikian halnya dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di mana Provinsi Maluku berada pada peringkat 22 secara nasional pada tahun 2013, untuk Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) termasuk tinggi, yaitu 9,03% di atas rata-rata TPT Nasional seiring dengan tingkat pendapatan perkapita yang rendah sehingga produktivitas pekerja juga rendah. Untuk tingkat kemsikinan juga cukup tinggi 19,4% sementara nasionjal 11,34% (Bappenas, 2014) dan masih ada beberapa indikator makro yang cenderung menunjukan gambaran yang kurang lebih sama. 

Dari sedikit gambaran data tersebut pertanyaan yang muncul kenapa kita punya sumberdaya yang melimpah namun data yang ada cenderung menunjukan kita tidak punya sumberdaya dan kontradiktif? Apakah kita terkena kutukan sumberdaya alam (the resources curse), seperti yang dikemukakan pertama kali oleh Richard M. Authy pada tahun 1993 melalui disertasi thesisnya yang berjudul “Sustaining Development in Mineral Economies: The Resources Curse Thesis”. Auty (1993), menggunakan kasus di negara-negara dunia ketiga dan negara-negara di Timur Tengah untuk mencari keterkaitan antara pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan instabilisasi politik dan ekonomi di negara-negara tersebut. Disebutkan dalam thesis tersebut apabila adanya ketergantungan terhadap SDA menyebabkan pula terjadinya korupsi masif yang disertai terjadinya kemiskinan dan memasukkan negara mereka ke dalam kelompok negara miskin. Penggunaan istilah resource curse untuk menggambarkan paradoks yang dihadapi negara yang memiliki sumber daya alam (natural resources) melimpah—terutama yang tidak terbarukan atau non-renewable resources. Namun, dari segi tingkat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi negara tersebut cenderung lebih rendah, jika dibandingkan dengan negara lain yang justru tidak memiliki sumber daya alam. 

Dari sisi statistik mungkin saya tidak akan membahas data yang pada gilirannya hanya merupakan kumpulan angka yang peruntukannya hanya untuk kepentingan research atau bidang pemerintahan namun saya tergeltik sekali lagi terkait data Biro Pusat Statistik, yang mungkin menurut saya naif ketika ditelaah rata-rata konsumsi dan pengeluaran per kapita sehari menurut jenis bahan makanan justru sumber kalori masih rendah dari ikan yang rendah jika dibandingkan dengan daging (Lihat: BPS, Maluku Dalam Angka 2014). Hal ini  mungkin bisa diargumentasikan, namun secara awam tentunya akan elok ketika apapun itu sumber utama kalori dan protein harusnya berasal dari ikan bagi kita orang Maluku. Bahkan ketika ditelaah pertumbuhan ekonomi yang dicapai tentunya perlu dikaji lebih jauh karena apakah itu merupakan pertumbuhan alami yang riil merupakan pertumbuhan dari akumulasi sektor-sektor basis ekonomi di Maluku atau jangan-jangan itu hanya merupakan pertumbuhan semu dan tidak berkelanjutan? Apakah pertumbuhan itu juga telah terdistribusi dalam konteks pemerataan? Atau bahkan apakah pertumbuhan yang ada justru menimbulkan dampak negatif bagi sumberdaya alam dan lingkungan? 

Kondisi di atas hanya beberapa contoh dan kasus kecil yang merupakan paradoks bahwa sektor kelautan dan perikanan yang di dalamnya masih banyak sub-sub sektor yang sebenarnya sangat potensial dan masih terdapat banyak hal yang perlu dibenahi. Apalagi dalam dimensi yang lebih luas, dalam konteks kemaritiman maka tentu saja halaman-halaman buku kita masih perlu dibuka lembar demi lembar, karena dalam konteks ekonomi kelautan kita wajib mendayagunakan fungsi laut dan sumberdaya kelautan sebagai basis ekonomi kita yang didukung aktivitas ekonomi berbasis daratan dalam konteks pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan.

Menyikapi dan Mencermati konsep tersebut di atas tentunya masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan karena pemikiran kami pekerjaan rumah ini ada time limit atau batas waktu sehingga potensi yang ada tersebut tidak hilang dalam mimpi dan angan kita, entah karena rusak, dicuri orang atau bahkan dikuasasi orang dalam arti yang lebih luas tentunya.

Dari beberapa data dan fakta tersebut tentunya sudah banyak faktor-faktor pendukung yang menjadi prasyarat untuk bergerak menuju provinsi Maluku yang berbasis kelautan dan perikanan apalagi dengan pencanangan lumbung ikan di Maluku. Namun tiga kisah terkait, satgas pengawas perikanan, siswa SD dan teman kuliah saya tentunya menjadi petir buat kita bahwa salah satu ketertinggalan kita adalah SDM khususnya bidang kelautan dan perikanan. Penyataan ini tidak bermaksud untuk menafikan keberadaan SDM di Maluku, khususnya SDM kelautan dan perikanan saat ini, namun yang saya maksudkan adalah kondisi di mana apakah kita memang telah siap menjadi daerah yang berbasis kelautan dan perikanan? Bahwa pembangunan yang kita butuhkan adalah SDM yang memang lahir bukan hanya melalui pendidikan formal pada tingkat perguruan tinggi namun juga merupakan SDM yang memang dilahirkan dan dibesarkan (born to be) untuk mengguasai laut sebagai tempat tinggal dan sumber penghidupan mereka, yang nantinya akan bersinergis dengan kekuatan akademis yang ada, dukungan pemerintah dan politik serta stakeholder (masyarakat, LSM, tokoh adat, agama, pers) secara terintegrasi melalui terobosan policy dan ini membutuhkan cara pandang pemimpin yang mampu dan memiliki pandangan kedepan (the future leader). 

Hasil studi Denison (1985), menyatakan bahwa investasi di bidang SDM jutsru berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 16%, yang lebih besar jika dibanding dengan investasi bidang capital yang hanya berkontribusi 12% saja. Bahkan jika mencontoh China sebagai salah satu Negara yang saat ini memiliki pertumbuhan ekonomi terbesar justru kontribusi sektor perikanan adalah yang terbesar 48,4% terhadap GDP padahal panjang garis pantainya hanya 32.000 Km, sementara kita dengan panjang garis pantai 81.000 Km kontribusi perikanan terhadap PDB hanya mencapai 20% (DKP, 2003) dan itu tidak diraih dalam waktu singkat dan program yang instan, namun ditempuh misalnya melalui jalur sutra maritime yang dicanangkan sejak tahun 1949 dan sejak tahun 1956 arah kebijakan China diarahkan untuk pengembangan SDM dan teknologi yaitu melalui slogan “march to science” (Suhana, 2015).

Kita sudah memiliki perguruan tinggi, baik universitas, akademi dan politeknik dan sekolah kejuruan yang berbasis laut, namun hemat saya dari beberapa cerita kecil di atas tentunya bisa kita simak bahwa pengembangan Maluku sebagai daerah kelautan dan perikanan serta maritim harusnya yang menjadi prime mover adalah SDM anak-anak Maluku yang kesemuanya itu perlu didobrak melalui pendidikan formal dan non-formal dari tingkat Usia dini yang menanamkan bahwa kita hidup di laut, dan seterusnya pada tingkat SD – SLTA, hingga perguruan tinggi. Dan inovasi dan kreativitas dari pemuda kita untuk berpikir out of the box, keluar dari kukungan formalitas dan pragmatis bahwa berkarya untuk negeri bukan hanya melalui pendidikan formal dan kerja formal, karena yang kita butuh adalah kemauan dan keinginan yang kuat bahwa kita bisa hidup di atas tanah tumpah darah kita yaitu di atas laut dan untuk itu kita harus kenali, pelajari dan kuasai laut kita. Love you, Maluku.
Postingan ini dikirim oleh:
Photo

Penulis adalah Staf Pemda Kota Tual dan Pecinta Maluku

Posting Komentar untuk "LAUT BUKAN MILIK KATONG? Elegi: kutukan sumber daya alam (The Resources Curse) "