Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengertian Puisi dan Unsur-unsur Pembentuk Puisi

Pengertian Puisi dan Unsur-unsur Pembentuk Puisi

Puisi merupakan salah satu karya sastra yang sangat mengagumkan. Kata-kata di dalam puisi mengandung banyak makna yang tidak dapat diterjehkan secara harfiah, tetapi butuh semacam pisau analisa yang perlu untuk memahami setiap kata, frasa, dan bait yang ada di dalam puisi tersebut.

Untuk memahami lebih lanjut tentang puisi, beriktu ini akan dipaparkan pengetian puisi dan unsur-unsur pembentuk puisi berdasarkan pendapat para ahli.

Pengertian Puisi

Secara umum karya sastra terbagi menjadi tiga jenis, yaitu prosa, drama dan puisi. (Waluyo, 2002: 1) mengungkapkan bahwa puisi merupakan karya sastra tertulis yang paling awal ditulis oleh manusia. Selain itu, puisi merupakan salah satu jenis karya sastra yang dalam penyajiannya sangat mengutamakan keindahan bahasa dan kepadatan makna. 

Puisi merupakan salah satu jenis karya sastra yang memiliki pernyataan sastra yang paling dalam. Kata-kata yang dimunculkan mengandung pengertian yang mendalam dan penuh simbol-simbol. Membaca puisi merupakan sebuah kenikmatan seni sastra karena pembaca dibawa serta ke dalam pernyataan-pernyataan yang dicurahkan seorang penyair melalui baris-baris puisinya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait. (Depdikbud, 1991: 749)

Rahmat Djoko Pradopo memberikan definisi puisi sebagai karangan terikat. Keterbatasan puisi tersebut berdasarkan keterikatan atas (1) Banyak baris dalam tiap bait, (2) Banyak kata dalam tiap baris, (3) Banyak suku kata dalam tiap baris, (4) Rima, dan (5) Irama. (Rahmat Djoko Pradopo, 2005: 5)

Apabila dilihat dari pengertian di atas, maka pengertian tersebut sudah tidak cocok lagi dengan wujud puisi zaman sekarang. Keterikatan puisi sudah tidak tervisualisasikan pada bentuk puisi-puisi modern pada saat ini.

Secara etimologi, istilah puisi berasal dari bahasa Yunani "poeima" membuat atau " pembuatan”, dan dalam bahasa Inggris disebut poem atau poetry. Puisi diartikan "membuat" dan "pembuatan", karena lewat puisi pada dasarnya seseorang telah menciptakan sesuatu dunia tersendiri, yang mungkin berisi pesan atau gambaran suasana-suasana tertentu, baik fisik maupun batiniah. (Aminuddin, 2004: 134)

Pengertian tersebut sejalan dengan pendapat Shelley yang mengatakan bahwa puisi merupakan rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup kita. Misalkan saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat, seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak, percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai. (Rachmat Djoko Pradopo : 6-7)

Menurut sejarahnya poeisis, yaitu penciptaan puisi dan seni (tetapi perhatikan bahwa kata poeisis secara etimologi tidak lain artinya daripada hanya “pembuatan” saja, tidak khas untuk seni) dapat pula diberikan sebagai perwujudan gagasan manusia selaku pencipta, yang berkembang secara berangsur-angsur. Baik dalam dunia klasik dengan karya seni sebagai bentuk tekhne yang tertinggi, tetapi masih dalam rangka peneladanan alam. (A. Teeuw, 1984: 158)

Sebagai sebuah genre, puisi berbeda dari novel, drama atau cerita pendek. Perbedaannya terletak pada kepadatan komposisi dengan konvensi yang ketat, sehingga puisi tidak memberi ruang gerak yang longgar pada penyair dalam berkreasai secara bebas. Wajar kalau puisi dikatakan sebagai the most condensed and concentrated from of literature (Parrine, 1974:553) yang maksudnya adalah puisi merupakan bentuk sastra yang paling padat dan terkonsentrasi. Kepadatan komposisi tersebut ditandai dengan pemakaian sedikit kata, namun mengungkap lebih banyak hal. Sebab itu, puisi dapat didefinifikan sebagai berikut:

Puisi dapat didefinisikan sebagai sejenis bahasa yang mengatakan lebih banyak dan lebih intensif daripada apa yang dikatakan oleh bahasa harian. (Parrine, 1979)

Definisi di atas menyatakan secara implisit bahwa puisi sebagai bentuk sastra menggunakan bahasa sebagai media pengungkapnya. Hanya saja bahasa puisi memiliki ciri tersendiri yakni kemampuannya mengungkap lebih intensif dan lebih banyak ketimbang kemampuan yang dimiliki oleh bahasa biasa yang cenderung bersifat informatif praktis. Oleh sebab itu, pesan yang disampaikan bersifat jelas dan tidak mengandung dimensi ambigu. Hari ini Jakarta berawan; harga kebutuhan pokok menjelang puasa naik; kereta Argo Lawu jurusan Solo-Jakarta anjlok di cirebon, adalah sederet contoh bahasa harian. (Siswantoro, 2010: 23-24)

Terlepas dari beberapa pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa sifat yang terpenting dari puisi adalah puitis. Sesuatu disebut puitis bila hal itu membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan yang jelas. Secara umum bila hal itu menimbulkan keharuan disebut puitis. Dalam hal ini puitik bukanlah referensi, acuan di luar ungkapan bahasa itu yang penting, tetapi kata-kata, pemakaian bahasa itu sendiri yang menjadi pusat perhatian itu walaupun fungsi-fungsi lain bukan tak ada dalam puisi. (A. Teeuw: 74)

Kepuitisan itu dapat dicapai dengan bermacam-macam cara, misalnya dengan bentuk visual, tipografi, susunan bait, dengan bunyi: persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, lambang rasa, dan orkestrasi, dengan pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan, sarana retorika, unsur-unsur ketatabahasaan, gaya bahasa dan sebagainya. (Rachmat Djoko Pradopo: 13) Di antara kemungkinan cara yang disediakan oleh sistem bahasa, dalam bahasa puitik dipilih kemungkinan yang dari segi tertentu menonjolkan ekuivalensi;bekuivalensi itu dapat terwujud dalam gejala yang sangat beranekaragam: ekuivalensi bunyi, dalam bentuk rima, aliterasi, asonansi,; tetapi pula dalam skema mantra seperti dalam kidung dan kakawin, yang mempunyai kesejajaran, antara larik dengan larik, antara pupuh dengan pupuh dan di dalam larik ada macam-macam kesejajaran; seluruhnya disebut sistem mantra. (A. Teeuw: 76-77)

Unsur-unsur Pembentuk Puisi

Ada beberapa pendapat tentang unsur-unsur pembentuk puisi. Salah satunya adalah pendapat I.A. Richard. Dia membedakan dua hal penting yang membangun sebuah puisi yaitu hakikat puisi (the nature of poetry), dan metode puisi (the method of poetry). 

Hakikat puisi terdiri dari empat hal pokok, yaitu

1. Sense (tema, arti)

Sense atau tema adalah pokok persoalan (subyek matter) yang dikemukakan oleh pengarang melalui puisinya. Pokok persoalan dikemukakan oleh pengarang baik secara langsung maupun secara tidak langsung (pembaca harus menebak atau mencari-cari, menafsirkan).

2. Feling (rasa)

Feeling adalah sikap penyair terhadap pokok persoalan yang dikemukakan dalam puisinya. Setiap penyair mempunyai pandangan yang berbeda dalam menghadapi suatu persoalan.

3. Tone (nada)

Yang dimaksud tone adalah sikap penyair terhadap pembaca atau penikmat karyanya pada umumnya. Terhadap pembaca, penyair bisa bersikap rendah hati, angkuh, persuatif, sugestif.

4. Intention (tujuan)

Intention adalah tujuan penyair dalam menciptakan puisi tersebut. Walaupun kadang-kadang tujuan tersebut tidak disadari, semua orang pasti mempunyai tujuan dalam karyanya. Tujuan atau amanat ini bergantung pada pekerjaan, cita-cita, pandangan hidup, dan keyakinan yang dianut penyair Untuk mencapai maksud tersebut, penyair menggunakan sarana-sarana. Sarana-sarana tersebutlah yang disebut metode puisi. 

Metode puisi terdiri dari

1. Diction (diksi)

Diksi adalah pilihan atau pemilihan kata yang biasanya diusahakan oleh penyair dengan secermat mungkin. Penyair mencoba menyeleksi kata-kata baik kata yang bermakna denotatif maupun konotatif sehingga kata-kata yanag dipakainya benar-benar mendukung maksud puisinya.

2. Imageri (imaji, daya bayang)

Yang dimaksud imageri adalah kemampuan kata-kata yang dipakai pengarang dalam mengantarkan pembaca untuk terlibat atau mampu merasakan apa yang dirasakan oleh penyair. Maka penyair menggunakan segenap kemampuan imajinasinya, kemampuan melihat dan merasakannya dalam membuat puisi. Imaji disebut juga citraan, atau gambaran angan. Ada beberapa macam citraan, antara lain; 

(a) citra penglihatan, yaitu citraan yang timbul oleh penglihatan atau berhubungan dengan indra penglihatan (b) Citra pendengaran, yaitu citraan yang timbul oleh pendengaran atau berhubungan dengan indra pendengaran. (c) Citra penciuman dan pencecapan, yaitu citraan yang timbul oleh penciuman dan pencecapan. (d) Citra intelektual, yaitu citraan yang timbul oleh asosiasi intelektual/pemikiran.

(e) Citra gerak, yaitu citraan yang menggambarkan sesuatu yanag sebetulnya tidak bergerak tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak.(f) Citra lingkungan, yaitu citraan yang menggunakan gambaran-gambaran selingkungan. (g) Citra kesedihan, yaitu citraan yang menggunakan gambaran-gambaran kesedihan

3. The concrete word (kata-kata kongkret)

Yang dimaksud the concrete word adalah kata-kata yang jika dilihat secara denotatif sama tetapi secara konotatif mempunyai arti yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi pemakaiannya. Slametmulyana menyebutnya sebagai kata berjiwa, yaitu kata-kata yang telah dipergunakan oleh penyair, yang artinya tidak sama dengan kamus.

4. Figurative language (gaya bahasa)

Adalah cara yang dipergunakan oleh penyair untuk membangkitkan dan menciptakan imaji dengan menggunakan gaya bahasa, perbandingan, kiasan, pelambangan dan sebagainya. Jenis-jenis gaya bahasa antara lain;

(a) perbandingan (simile), yaitu bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, umpama, laksana, dll. (b) Metafora, yaitu bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain tanpa mempergunakan kata-kata pembanding. (c) Perumpamaan epos (epic simile), yaitu perbandingan yang dilanjutkan atau diperpanjang dengan cara melanjutkan sifat-sifat perbandingannya dalam kalimat berturut-turut.

(d) Personifikasi, ialah kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia di mana benda mati dapat berbuat dan berpikir seperti manusia. (e) Metonimia, yaitu kiasan pengganti nama. (f) Sinekdoke, yaitu bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting untuk benda itu sendiri. (g) Allegori, ialah cerita kiasan atau lukisan kiasan, merupakan metafora yang dilanjutkan.

5. Rhythm dan rima (irama dan sajak)

Irama ialah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembutnya ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Irama dibedakan menjadi dua yaitu; (a) metrum, yaitu irama yang tetap, menurut pola tertentu. (b) Ritme, yaitu irama yang disebabkan perntentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur.

Irama menyebabkan aliran perasaan atau pikiran tidak terputus dan terkonsentrasi sehingga menimbulkan bayangan angan (imaji) yang jelas dan hidup. Irama diwujudkan dalam bentuk tekanan-tekanan pada kata. Tekanan tersebut dibedakan menjadi tiga yaitu; (a) Dinamik, yaitu tyekanan keras lembutnya ucapan pada kata tertentu. (b) Nada, yaitu tekanan tinggi rendahnya suara. (c) Tempo, yaitu tekanan cepat lambatnya pengucapan kata.

Rima adalah persamaam bunyi dalam puisi. Dalam rima dikenal perulangan bunyi yang cerah, ringan, yang mampu menciptakan suasana kegembiraan serta kesenangan. Bunyi semacam ini disebut euphony. Sebaliknya, ada pula bunyi-bunyi yang berat, menekan, yang membawa suasana kesedihan. Bunyi semacam ini disebut cacophony. Berdasarkan jenisnya, persajakan dibedakan menjadi

(a) rima sempurna, yaitu persama bunyi pada suku-suku kata terakhir. (b) Rima tak sempurna, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada sebagian suku kata terakhir. (c) Rima mutlak, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada dua kata atau lebih secara mutlak (suku kata sebunyi). (d) Rima terbuka, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada suku akhir terbuka atau dengan vokal sama. (e) Rima tertutup, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada suku kata tertutup (konsonan).

(f) Rima aliterasi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bunyi awal kata pada baris yang sama atau baris yang berlainan. (g) Rima asonansi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada asonansi vokal tengah kata. (h) Rima disonansi, yaitu persamaan bunyi yang terdapaat pada huruf-huruf mati/konsonan.

Berdasarkan letaknya, rima dibedakan menjadi; (a) rima awal, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada awal baris pada tiap bait puisi. (b) Rima tengah, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di tengah baris pada bait puisi. (c) Rima akhir, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di akhir baris pada tiap bait puisi. (d) Rima tegak yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bait-bait puisi yang dilihat secara vertikal. (e) Rima datar yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada baris puisi secara horisontal

(f) Rima sejajar, yaitu persamaan bunyi yang berbentuk sebuah kata yang dipakai berulang-ulang pada larik puisi yang mengandung kesejajaran maksud. (g) Rima berpeluk, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama antara akhir larik pertama dan larik keempat, larik kedua dengan lalrik ketiga (ab-ba) (h) Rima bersilang, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama antara akhir larik pertama dengan larik ketiga dan larik kedua dengan larik keempat (ab-ab).

(i) Rima rangkai/rima rata, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir semua larik (aaaa). (j) Rima kembar/berpasangan, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir dua larik puisi (aa-bb). (k) Rima patah, yaitu persamaan bunyi yang tersusun tidak menentu pada akhir larik-larik puisi (a-b-c-d)

Lapisan Norma dalam Karya Sastra (Termasuk Puisi)

Pendapat lain dikemukakan oleh Roman Ingarden dari Polandia yang menyatakan bahwa sebenarnya karya sastra (termasuk puisi) merupakan struktur yang terdiri dari beberapa lapis norma. Lapis norma tersebut adalah.

1. Lapis Bunyi (Sound Stratum)

Lapis bunyi berupa deretan bunyi-bunyi fonem. Bunyi fonem itu berderet dan bergabung menjadi satuan lebih besar sesuai dengan konvensi bahasa (bahasa Indonesia).

Bila orang membaca puisi (karya sastra), yang terdengar adalah rangkaian bunyi yang dibatasi oleh jeda pendek, agak panjang, dan panjang.Akan tetapi, suara itu bukan hanya bunyi tanpa arti, tetapi berdasarkan konvensi bahasa tertentu. Lapis bunyi tersebut bisa berupa satuan-satuan suara: suara suku kata, kata, dan barangkali merupakan seluruh bunyi (suara) sajak itu: suara frase dan suara kalimat. Dalam puisi, pembicaraan lapis bunyi haruslah ditujukan pada bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat “istimewa” atau khusus, yaitu yang dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni. Mengingat bunyi dalam sajak bersifat estetik yang berfungsi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif.Dengan kata lain, bunyi juga memiliki fungsi sebagai alat penyair untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, menimbulkan bayangan angan yang jelas, dan lain sebagainya.

Lapis suara ini terdiri dari asonansi dan aliterasi. Asonansi merupakan pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata atau perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi. Pengulangan ini menimbulkan kesan kehalusan, kelembutan, kemerduan, atau keindahan bunyi, sedangkan aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi, biasanya pada awal kata atau perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi.

2. Lapis Arti (Units of Meaning)

Dalam  menganalisis sajak berdasarkan lapis arti itu menerangkan arti tiap kata, kelompok kata, dan kalimat berdasarkan arti linguistiknya supaya menjadi jelas.

Setiap diksi dalam puisi telah melalui pemilihan kata yang demikian ketat oleh penyair.Hal itu sangat mungkin disebabkan oleh pemadatan yang menjadi salah satu ciri puisi.Pemilihan diksi tersebut akhirnya mengakibatkan impres tertentu pada pembacanya.Lapis arti (units of meaning) ialah arti yang terdapat dalam tiap satuan sajak.Mulai dari fonem, kata, kalimat, dan seterusnya (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:17).Lapis arti terbagi dalam kosa kata, citraan, dan sarana retorika.Dengan menggunakan lapis ini, arti dalam tiap diksi bisa semakin dekat dengan keobjektifan, tentu dengan dihubungkan dengan lapis-lapis lainnya.

3. Lapis Pengarang

Wujud dari lapis ketiga ini ialah objek-objek yang dikemukakan di dalam sajak, latar, pelaku, dan dunia pengarang. Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang.Ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya (alur). (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:18). Lapis ketiga ini membahas tentang pengaruh pengarang dan lingkungannya terhadap karya sastra yang dilahirkannya.

Disebut dunia pengarang karena cerita itu hanya bersifat rekaan, dunia yang dikemukakan itu bukan peristiwa yang dialami oleh Chairil Anwar secara nyata, hanyalah karangannya saja.

Unsur-unsur lapis dunia pengarang berupa: objek-objek yang dikemukakan: cintaku, gadis manis, laut, pulau, perahu, angin, bulan, air laut, dan ajal.

4. Lapis Dunia (Implisit)

Lapis pembentuk makna dalam sajak ialah lapis ‘dunia’ yang tak dinyatakan, namun sudah ‘implisit’ (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:18). Lapis dunia menunjukkan perbedaan makna dari peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari.

Berupa sugesti-sugesti atau kiasan-kiasan. dunia yang dipandang dari sudut pandang tertentu yang tidak usah dinyatakan (implisit). Tidak usah dikatakan malam, tapi dengan adanya bulan memancar itu berarti malam hari. Laut terang berarti juga tidak hujan, tidak berkabut (hakikat puis berupa pemadatan)

5. Lapis Metafisika (Metaphysical Qualities)

Terakhir dari lapisan pembentuk makna dalam puisi ialah lapis kelima.Lapisan ini disebut juga lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:19). Dalam ilmu filsafat, metafisis adalah abstraksi yang menangkap unsur-unsur hakiki dengan menyampingkan unsur-unsur lain. Sementara dalam karya sastra, metafisis merupakan lapis terakhir dalam strata norma yang dapat memberikan kontemplasi di dalam karya sastra yang dikaji.

Menyebabkan pembaca berkontemplasi. Dalam sajak ini lapis itu berupa ketragisan hidup manusia iaitu: meskipun segala usaha telah dilakukan disetai sarana yang cukup, bahkan segalanya telah berjalan dengan lancar, tetapi sering kali manusia tak dapat mencapai apa yang diidam-idamkannya karena maut telah lebih dahulu menghadang. Dengan demikian, cita-cita yang hebat, menggairahkan, akan sia-sia saja.

Posting Komentar untuk "Pengertian Puisi dan Unsur-unsur Pembentuk Puisi"