Perjalanan Panjang Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Papua

Perjalanan Panjang Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Papua
Islam adalah agama yang di turunkan untuk semua umat manusia. Oleh karena itu atas kehendak serta takdir Allah swt. menyebar ke seluruh pelosok dunia, tidak kecuali bumi Nusantara satu diantaranya wilayah Papua. Kedatangan Islam di bumi Papua mulai sejak lima ratus tahun yang lalu . Semangat syiar Islam sudah membawa muslim jaman itu menerjang derasanya ombak serta kuatnya gelombang hingga datang di bumi cendrawasih.

Berdasarkan catatan sejarah Papua telah diketahui begitu lama pada saat Kerajaan Sriwijaya, Papua disebut dengan sebutan Janggi. Pelaut Portugis yang sempat berkunjung di Papua tahun 1526-1527 M menyebut wilayah itu dengan sebutan ‘Papua. ’ Akan tetapi ada juga yang menyebut wilayah papua dengan sebutan "Isla de Oro" (Island of Gold). Kesamaan fisik orang Papua dengan orang Afrika membuat pelaut Spanyol mengatakan ‘Nieuw Guinea’, mengacu pada lokasi Guinea di Afrika Barat. Papua, mungkin saja datang dari bahasa Melayu, pua-pua, yang bermakna keriting. Arti ini digunakan oleh William Mardsen tahun 1812, serta ada dalam salah satunya kamus bahasa Melayu -Belanda karya Von der Wall tahun 1880, lewat kata ‘papoewah’ yang bermakna orang yang memiliki rambut keriting.

Syiar Islam di Bumi Papua terkonsentrasi di bagian Papua Barat, dari mulai Raja Ampat sampai Fakfak. Dalam perkembangannya terdapat banyak versi tentang perkiraan jalur masuk Islam di tanah Papua. Pertama, Menurut Versi Papua, berdasar pada legenda penduduk setempat, terutama di Fakfak. Islam bukan dibawa dari luar seperti Tidore atau pedagang Muslim, tapi Papua telah Islam semenjak Pulau Papua diciptakan oleh Allah. Kedua, Menurut versi Aceh. Versi ini berdasar pada sejarah lisan dari daerah Kokas (Fakfak) yang mengatakan Syekh Abdurrauf dari Kesultanan Samudera Pasai telah mengirim Tuan Syekh Iskandar Syah untuk berdakwah di Nuu War (Papua) pada tahun 1224 M. Syekh Iskandar saat itu membawa beberapa kitab yaitu mushaf Al Qur’an, kitab hadits, kitab tauhid serta kitab himpunan doa. Ada juga manuskrip yang ditulis diatas pelepah kayu, serupa daun lontara. Beberapa manuskrip itu dipercaya selamat dan masih ada sampai sekarang ini.

Menurut tradisi lisan lainnya di Fakfak, Islam disebarkan oleh mubaligh bernama Abdul Ghafar asal Aceh pada tahun 1360-1374 di Rumbati. Makam serta Masjid Rumbati menjadi bukti peninggalan sejarah. Akan tetapi informasi lainnya menyebutkan kalau Abdul Ghafar ada di Rumbati tahun 1502 M. Kemungkinan ini harus dilihat kembali, terlebih dalam soal waktu masuknya Islam. Kemungkinan Abdul Ghafar ada pada abad ke 16, berbarengan dengan waktu keemasan Kesultanan Ternate serta Tidore yang menjadi bandar jalur sutera serta meluaskan kekuasaannya dari Sulawesi sampai Papua.

Ketiga, Menurut versi Arab. Versi ini mengatakan jika Islam di Papua disebarkan oleh seorang sufi bernama Syarif Muaz al Qathan (Syekh Jubah Biru) dari Yaman, yang berlangsung pada abad ke 16. Perihal ini sesuai dengan bukti sejarah Masjid Tunasgain yang dibangun kurang lebih pada tahun 1587 M. Informasi lainnya menyebutkan bahwa Syekh Jubah Biru datang di papua pada tahun 1420 M.

Pandangan yang nampaknya lebih kuat tentang masuknya Islam di Papua ialah masuknya Islam di Papua lewat Kesultanan Bacan (Maluku Utara). Di Maluku ada empat Kesultanan, yakni, Bacan, Jailolo, Ternate serta Tidore (Moloku Kie Raha atau Mamlakatul Mulukiyah). J. T. Collins, mengatakan, berdasar pada analisis linguistik, Kesultanan Bacan merupakan Kesultanan paling tua di Maluku. Syiar Islam oleh Kesultanan Bacan disebarkan di wilayah Raja Ampat.

Ada banyak nama tempat yang disebut sebagai pemberian dari Sultan Bacan. Seperti Pulau Saunek Mounde (buang sauh di depan), Teminanbuan (tebing serta air terbuang), War Samdin (air sembahyang). War Zum-zum (penguasa atas sumur) dan sebagainya. Beberapa nama itu adalah sebagai bukti-bukti peninggalan nama-nama tempat serta keturunan Raja Bacan sebagai Raja-raja Islam di Kepulauan Raja Ampat. Kemungkinan Kesultanan Bacan sebarkan Islam di Papua kurang lebih pada pertengahan abad ke 15 dan abad ke 16, terbentuklah kerajaan-kerajaan kecil di Kepulauan Raja Ampat, sesudah beberapa pemimpin-pemimpin Papua di Kepulauan itu berkunjung ke Kesultanan Bacan pada tahun 1596.

Perjalanan Panjang Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Papua

Pandangan ini di dukung juga oleh catatan sejarah Kesultanan Tidore ‘Museum Memorial Kesultanan Tidore Sinyine Malige’, yang mengatakan Sultan Ibnu Mansur (Sultan Tidore X) lakukan ekspedisi ke Papua dengan satu armada kora-kora. Ekspedisi ini menyusuri Pulau Waieo, Batanta, Salawati, Misool di Kepulauan Raja Ampat. Di Misool, Sultan Ibnu Mansur yang kerap disebut sebagai Sultan Papua I, mengangkat Kaicil Patra War, putra Sultan Bacan dengan gelar Komalo Gurabesi. Kacili Patra War lalu dinikahkan dengan putri Sultan Ibnu Mansur, yakni Boki Thayyibah. Dari penikahan inilah Kesultanan Tidore memperluas pengaruhnya sampai ke wilayah Raja Ampat bahkan juga sampai di Biak.

Penyebaran Islam selanjutnya disebarluaskan ke beberapa wilayah pesisir Papua Barat, seperti Kokas, Kaimana, Namatota, Kayu Merah, Aiduma serta Lakahia oleh beberapa pedagang muslim seperti dari Bugis, Buton, Ternate serta Tidore. Kedatangan orang Buton didukung dengan kesaksian Luis Vaes de Torres di tahun 1606. Ia mengatakan di daerah pesisir Onin (Fakfak) sudah tinggal orang Pouton (Buton) yang berdagang serta sebarkan agama Islam.

Syi’ar Islam di Papua jadi lebih gampang karena persamaan budaya serta bahasa. Bahasa yang digunakan termasuk bahasa-bahasa dari rumpun Austronesia, seperti bahasa di Bacan serta Sula (bahasa Biak di Raja Ampat ; Tobelo dan bahasa Onin di Fakfak serta Seram, ataupun bhs non Austronesia seperti di Ternate ; Tidore dan Jailolo karena masuk kelompok Bhs Halmahera Utara, yakni bhs Galela). Kemudahan komunikasi dengan beberapa pemimpin penduduk Papua, yang lalu memeluk Islam, menggerakkan berdirinya kerajaan-kerajaan (Petuanan) otonom dibawah Kesultanan Tidore. Kerajaan-kerajaan (Petuanan) ini ada di Raja Ampat (Kolano Fat), yang masih terpatri sampai sekarang menjadi jati diri Pulau Papua. Kerajaan di Raja Ampat terbagi dalam Kerajaan Waigeo (yang berpusat di Weweyai), Kerajaan Salawati (berpusat di Sailolof), Kerajaan Misool (berpusat di Lilinta) serta Kerajaan Batanta.

Pengaruh Islam pada penduduk papua bisa diprediksikan dengan menyaksikan penerapan ajaran Islam yang ada di penduduk Papua waktu itu. Penerapan hukum Islam, contohnya, sudah diterapkan pada penduduk Pulau Misool, hinggak akhir masa kolonial Belanda. Disana ada Hakim Syara’ yang bekerja mengurus tentang perkawinan, kematian serta sholat berjamaa’ah. Hadirnya Masjid-masjid tua, misalnya Masjid Tunasgain, yang diprediksikan dibangun semenjak tahun 1587 M. Atau di Patimburak, yang diprediksikan semenjak abad ke 19 M.

Hadirnya Masjid ini selain peninggalan fisiknya, bisa juga kita prediksi kedudukannnya dalam penduduk. Adanya Masjid semenjak abad ke 16, mengisyaratkan lama sudah dilaksanakannya pendidikan Islam lewat khotbah Jum’at. Adanya Masjid dapat juga kita prediksikan berperan menjadi tempat pendidikan, walau berbentuk yang simpel di penduduk. Alur pendidikan sederhana ini bisa ditelusuri dengan ditemukannya kitab Barzanji, bertanggal 1622 M dalam bahasa Jawa Kuno serta teks khutbah Jum’at yang bertarikh 1319 M. Kedatangan kitab Barzanji, bisa kita prediksikan menjadi usaha untuk menumbuhkan kebiasaan Islam dalam masyarakat.

Pengaruh Islam yang lain dalam penduduk, bisa disaksikan dari beberapa nama yang ada dalam penduduk Papua pribumi. Di desa Lapintol serta Beo, biasanya, golongan pria menggunakan beberapa nama Arab seperti Idris, Hamid, Abdul Shomad, atau Saodah untuk wanita. Islam juga merubah tampilan penduduk. Bila di pedalaman Papua, penduduk aslinya belumlah kenakan pakaian, serta cuma tutup sisi vitalnya saja, tetapi di pesisir masyarakat Papua situasi begitu berlainan. Tidak bisa disangkal, Syiar Islam di Papua mengalami proses yang gradual. Masih tetap bisa diketemukan muslim Papua waktu itu yang meyakini keyakinan Animisme atau keyakinan lokal yang lain. Proses penyebaran Islam lewat kepala suku atau pemimpin masyarakat, membuat syi’ar Islam begitu tergantung pada kepedulian kepala suku itu. Demikianlah Islam berkembang di Papua dengan pasang surut persebarannya sampai saat ini.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama