Islam merupakan agama yang paling sempurna, karena merupakan Agama yang berasal dari Allah dan masih terjaga keasliannya. Kesempurnaan ini dapat dilihat dari segala sesuatu yang ada dalam kehidupan manusia telah diatur secara rinci dan baik, salah satunya adalah hukum menikahi wanita yang pernah berzina, sebagaimana dalam Al-Quran Allah swt. berfirman.
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu`min. (QS. An-Nur : 3)
Jumhurul Fuqaha menyampaikan jika yang dimaksud dari ayat itu bukan mengharamkan untuk menikah dengan wanita yang sempat berzina. Bahkan juga mereka membolehkan menikah dengan wanita yang pezina. Lantas bagaimanakah dengan lafaz ayat yang zahirnya mengharamkan itu?
Beberapa fuqaha mempunyai tiga argumen dalam perihal ini.
Dalam perihal ini mereka menyampaikan jika lafaz `hurrima` atau diharamkan didalam ayat itu bukan pengharaman tetapi tanzih (dibenci).
Diluar itu mereka beralasan jika memang diharamkan, maka lebih pada masalah yang spesial waktu ayat itu di turunkan. Yakni seseorang yang bernama Mirtsad Al-ghanawi yang menikah dengan wanita pezina.
Mereka menyampaikan jika ayat itu sudah dibatalkan ketetapan hukumnya (dinasakh) dengan ayat yang lain yakni
Terjemahannya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur : 32)
Pendapat ini juga adalah pendapat dari Sahabat Abu Bakar As-Shiddiq ra serta Umar bin Al-Khattab ra serta fuqaha kebanyakan. Mereka membolehkan seorang untuk menikah dengan wanita pezina. Serta kalau seorang sempat berzina tidak mengharamkan dianya dari menikah dengan cara syah.
Pandangan mereka ini dikuatkan dengan hadits sebagai berikut:
Dari Aisyah ra berkata,`Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda,`Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal`. (HR. Tabarany dan Daruquthuny).
Juga dengan hadits berikut ini:
Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW,`Istriku ini seorang yang suka berzina`. Beliau menjawab,`Ceraikan dia`. `Tapi aku takut memberatkan diriku`. `Kalau begitu mut`ahilah dia`. (HR. Abu Daud dan An-Nasa`i)
Terjemahannya: Nabi SAW bersabda,"Janganlah disetubuhi (dikawini) seorang wanita hamil (karena zina) hingga melahirkan. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Hakim).
Terjemahannya: Nabi SAW bersabda,"Tidak halal bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan airnya pada tanaman orang lain. (HR. Abu Daud dan Tirmizy).
Lebih detil mengenai halalnya menikah dengan wanita yang sempat lakukan zina sebelumnya, simaklah pandangan beberapa ulama di bawah ini :
a. Pandangan Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah mengatakan, apabila yang menikah dengan wanita hamil itu merupakan lelaki yang menghamilinya, hukumnya bisa. Sedang jika yang menikahinya itu bukan lelaki yang menghamilinya, maka lelaki itu tidak bisa menggaulinya sampai melahirkan.
b. Pandangan Imam Malik serta Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Malik serta Imam Ahmad bin Hanbal menyampaikan lelaki yang tidak menghamili tidak bisa mengawini wanita yang hamil. Terkecuali sesudah wanita hamil itu melahirkan serta sudah habis waktu 'iddahnya. Imam Ahmad memberikan satu prasyarat lagi, yakni wanita itu mesti telah tobat dari dosa zinanya. Bila belumlah bertobat dari dosa zina, dia masih tetap bisa menikah dengan siapa juga. Demikian dijelaskan didalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhazzab karya Al-Imam An-Nawawi, jus XVI halaman 253.
c. Pandangan Imam Asy-Syafi'i
Mengenai Al-Imam Asy-syafi'i, pandangan beliau ialah, baik lelaki yang menghamili maupun yang tidak menghamili, dibolehkan menikahinya. Seperti tertera didalam kitab Al-Muhazzab karya Abu Ishaq Asy-Syairazi juz II halaman 43.
Walau demkikian, memang ada pula pendapat yang mengharamkan keseluruhan untuk menikah dengan wanita yang sempat berzina. Minimal tertulis ada Aisyah ra, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra` serta Ibnu Mas`ud. Mereka menyampaikan jika seseorang lelaki yang menzinai wanita maka dia diharamkan untuk menikahinya. Begitupun seseorang wanita yang sempat berzina dengan lelaki lainnya, jadi dia diharamkan untuk dinikahi oleh lelaki yang baik (bukan pezina).
Bahkan juga Ali bin abi Thalib menyampaikan jika jika seseorang istri berzina, maka wajiblah pasangan itu diceraikan. Begitupun jika yang berzina merupakan pihak suami. Tentunya dalil mereka merupakan zahir ayat yang kami katakan diatas (aN-Nur : 3).
Tidak hanya itu mereka juga berdalil dengan hadits dayyuts, yakni orang yang tidak mempunyai perasaan cemburu jika istrinya serong serta masih membuatnya menjadi istri.
Dari Ammar bin Yasir bahwa Rasulullah SAW bersbda,`Tidak akan masuk surga suami yang dayyuts`. (HR. Abu Daud)
Sedang pandanga yang pertengahan merupakan pandangan Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau mengharamkan seorang menikah dengan wanita yang masih tetap senang berzina serta belumlah bertaubat. Jikalau mereka menikah, maka nikahnya tidak syah.
Tetapi jika wanita itu telah berhenti dari dosanya serta bertaubat, maka tidak ada larangan untuk menikahinya. Apabila mereka menikah, maka nikahnya syah dengan cara syar`i.
Kelihatannya pandangan ini agak menengah serta sama dengan azas prikemanusiaan. Karena seseroang yang telah bertaubat memiliki hak untuk dapat hidup normal serta mendapat pasangan yang baik.
Dari berbagai pendapat di atas tentang hukum menikahi wanita yang pernah berzina, maka kita sebagai umat Islam, sudah sepatutnya untuk berpikir jernih agar terhindar dari perbuatan zina yang merupakan salah satu dosa besar, sehingga nantinya pernikahan akan menjadi pernikahan yang baik dan diridhoi oleh Allah.
الزَّانِي لَا يَنكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu`min. (QS. An-Nur : 3)
1. Pandangan Jumhur (sebagian besar) Ulama
Jumhurul Fuqaha menyampaikan jika yang dimaksud dari ayat itu bukan mengharamkan untuk menikah dengan wanita yang sempat berzina. Bahkan juga mereka membolehkan menikah dengan wanita yang pezina. Lantas bagaimanakah dengan lafaz ayat yang zahirnya mengharamkan itu?
Beberapa fuqaha mempunyai tiga argumen dalam perihal ini.
Dalam perihal ini mereka menyampaikan jika lafaz `hurrima` atau diharamkan didalam ayat itu bukan pengharaman tetapi tanzih (dibenci).
Diluar itu mereka beralasan jika memang diharamkan, maka lebih pada masalah yang spesial waktu ayat itu di turunkan. Yakni seseorang yang bernama Mirtsad Al-ghanawi yang menikah dengan wanita pezina.
Mereka menyampaikan jika ayat itu sudah dibatalkan ketetapan hukumnya (dinasakh) dengan ayat yang lain yakni
وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Terjemahannya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur : 32)
Pendapat ini juga adalah pendapat dari Sahabat Abu Bakar As-Shiddiq ra serta Umar bin Al-Khattab ra serta fuqaha kebanyakan. Mereka membolehkan seorang untuk menikah dengan wanita pezina. Serta kalau seorang sempat berzina tidak mengharamkan dianya dari menikah dengan cara syah.
Pandangan mereka ini dikuatkan dengan hadits sebagai berikut:
Dari Aisyah ra berkata,`Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda,`Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal`. (HR. Tabarany dan Daruquthuny).
Juga dengan hadits berikut ini:
Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW,`Istriku ini seorang yang suka berzina`. Beliau menjawab,`Ceraikan dia`. `Tapi aku takut memberatkan diriku`. `Kalau begitu mut`ahilah dia`. (HR. Abu Daud dan An-Nasa`i)
أن النبي صلى الله عليه و سلم قال : لا توطأ امرأة حتى تضع
Terjemahannya: Nabi SAW bersabda,"Janganlah disetubuhi (dikawini) seorang wanita hamil (karena zina) hingga melahirkan. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Hakim).
لا يحل لامرئ مسلم يؤمن بالله واليوم الآخر أن يسقى ماءه زرع غيره
Terjemahannya: Nabi SAW bersabda,"Tidak halal bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan airnya pada tanaman orang lain. (HR. Abu Daud dan Tirmizy).
Lebih detil mengenai halalnya menikah dengan wanita yang sempat lakukan zina sebelumnya, simaklah pandangan beberapa ulama di bawah ini :
a. Pandangan Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah mengatakan, apabila yang menikah dengan wanita hamil itu merupakan lelaki yang menghamilinya, hukumnya bisa. Sedang jika yang menikahinya itu bukan lelaki yang menghamilinya, maka lelaki itu tidak bisa menggaulinya sampai melahirkan.
b. Pandangan Imam Malik serta Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Malik serta Imam Ahmad bin Hanbal menyampaikan lelaki yang tidak menghamili tidak bisa mengawini wanita yang hamil. Terkecuali sesudah wanita hamil itu melahirkan serta sudah habis waktu 'iddahnya. Imam Ahmad memberikan satu prasyarat lagi, yakni wanita itu mesti telah tobat dari dosa zinanya. Bila belumlah bertobat dari dosa zina, dia masih tetap bisa menikah dengan siapa juga. Demikian dijelaskan didalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhazzab karya Al-Imam An-Nawawi, jus XVI halaman 253.
c. Pandangan Imam Asy-Syafi'i
Mengenai Al-Imam Asy-syafi'i, pandangan beliau ialah, baik lelaki yang menghamili maupun yang tidak menghamili, dibolehkan menikahinya. Seperti tertera didalam kitab Al-Muhazzab karya Abu Ishaq Asy-Syairazi juz II halaman 43.
2. Pandangan Yang Mengharamkan
Walau demkikian, memang ada pula pendapat yang mengharamkan keseluruhan untuk menikah dengan wanita yang sempat berzina. Minimal tertulis ada Aisyah ra, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra` serta Ibnu Mas`ud. Mereka menyampaikan jika seseorang lelaki yang menzinai wanita maka dia diharamkan untuk menikahinya. Begitupun seseorang wanita yang sempat berzina dengan lelaki lainnya, jadi dia diharamkan untuk dinikahi oleh lelaki yang baik (bukan pezina).
Bahkan juga Ali bin abi Thalib menyampaikan jika jika seseorang istri berzina, maka wajiblah pasangan itu diceraikan. Begitupun jika yang berzina merupakan pihak suami. Tentunya dalil mereka merupakan zahir ayat yang kami katakan diatas (aN-Nur : 3).
Tidak hanya itu mereka juga berdalil dengan hadits dayyuts, yakni orang yang tidak mempunyai perasaan cemburu jika istrinya serong serta masih membuatnya menjadi istri.
Dari Ammar bin Yasir bahwa Rasulullah SAW bersbda,`Tidak akan masuk surga suami yang dayyuts`. (HR. Abu Daud)
3. Pandangan Pertengahan
Sedang pandanga yang pertengahan merupakan pandangan Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau mengharamkan seorang menikah dengan wanita yang masih tetap senang berzina serta belumlah bertaubat. Jikalau mereka menikah, maka nikahnya tidak syah.
Tetapi jika wanita itu telah berhenti dari dosanya serta bertaubat, maka tidak ada larangan untuk menikahinya. Apabila mereka menikah, maka nikahnya syah dengan cara syar`i.
Kelihatannya pandangan ini agak menengah serta sama dengan azas prikemanusiaan. Karena seseroang yang telah bertaubat memiliki hak untuk dapat hidup normal serta mendapat pasangan yang baik.
Dari berbagai pendapat di atas tentang hukum menikahi wanita yang pernah berzina, maka kita sebagai umat Islam, sudah sepatutnya untuk berpikir jernih agar terhindar dari perbuatan zina yang merupakan salah satu dosa besar, sehingga nantinya pernikahan akan menjadi pernikahan yang baik dan diridhoi oleh Allah.