Multikulturalisme pertama kali digunakan secara luas pada tahun 1970-an, pertama-tama oleh negara Kanada (1971), kemudian disusul oleh Australia (1973) sebagai bagian dari kebijakan warga negara mendampingi dan mengelola keanekaragaman etnis yang berada di wilayah pemerintahannya. Dilihat dari konteks ini, munculnya terminologi multikulturalisme adalah sebentuk kesadaran kolektif yang kemudian dituangkan dalam bentuk kebijakan negara atas lahirnya sejumlah konsekuensi baik sosial maupun kultural, terutama konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan sebagai akibat dari gelombang migrasi berskala besar yang terjadi pada dekade 1960-an dan akhir tahun 1970-an.
Sejak pertama kali dicetuskan oleh Komisi Kerajaan Kanada (Canadian Royal Commission) pada 1995, penggunaan ‘multikuturalisme’ secara formal oleh negara mendapatkan dukungan dari para politikus dan akademisi yang menggagas dan mempromosikannya. Mereka menyebut kebijakan ini sebagai sebuah ’keharusan’ (imperatif) politik yang bersifat progresif dan ekspresi resmi dari keyakinan akan keunggulan nilai-nilai liberal seperti kesamaan, toleransi dan sikap inklusif (inclusiveness) terhadap para pendatang (migrants) yang berasal dari latar belakang etnis yang berbeda-beda. Berikut kutipan dari salah seorang pejabat pemerintah Kanada berkaitan dengan kebijakan “Multikulturalisme yang diberlakukan di Kanada adalah sesuatu yang fundamental bagi kepercayaan kita bahwa setiap warga negara adalah ‘sama’ (equal). Multikulturalisme menjamin setiap warga negara untuk tetap mempertahankan indentitas mereka, berbangga atas leluhur mereka, dan mempunyai ‘rasa’ kepemilikan yang mendalam’ (a sense of belonging)”.
Sementara itu, Australia mendeklarasikan diri multikultural dan memeluk paham multikulturalisme di awal 1970-an sebagai tanggapan terhadap ‘meningkatnya jumlah orang-orang Asia yang datang dan bermukim di situ’ dan ‘kehadiran para pendatang dari wilayah di luar Australia yang tidak bisa digolongkan ke dalam tipe atau kategori tertentu’ . Hal yang kurang lebih sama juga terjadi di Kanada, USA, Israel, Inggris, dan Jerman, meskipun unsur-unsur penyusun multikultural di masing-masing negara ini berbeda-beda.
Di awal abad ke-21, sudah lazim bagi negara-negara Barat yang menganut paham demokrasi liberal untuk menyebut diri mereka sebagai masyarakat multikultural (multikultural societies), meskipun tidak semuanya menetapkan ‘kebijakan multikultural yang resmi’ (official policies of mulculturalism). Bahkan sejumlah negara-bangsa yang secara tradisional dikenal sebagai masyarakat yang homogen secara budaya, seperti Jerman dan Jepang, tidak lagi bisa menyangkal fakta bahwa populasi mereka diwarnai dan dipengaruhi oleh kemajemukan rasial dan etnis yang relatif tinggi dalam dua-tiga dekade terakhir ini. Sebagai salah satu dampak akut dari migrasi global yang semakin intensif , “dunia menjadi tempat bagi negara-negara yang multi etnis , dengan komposisi lebih dari 30% populasi berasal dari masyarakat di luar negara tersebut.”
Indonesia memiliki sejarah multikulturalisme selama puluhan abad. Di Indonesia, multikulturalisme telah ada di negeri ini jauh sebelum merdeka. Diterimanya kehadiran para pendatang eropa yang akhirnya menjadi penjajah, dan kehadiran pedagang dari Timur Tengah yang kemudian ikut membangun dan mengukir sejarah megeri ini, merupakan bukti bahwa telah ada unsur multikultural dalam hati bangsa ini.
Sejarah kontemporer telah mencatat adanya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1908, lima sila Pancasila, pasal 32 UUD 1945, simbol Bhineka Tunggal Ika pada lambang burung Garuda Pancasila, dan semangat gotong royong, merupakan bukti tak terbantahkan tentang jiwa dan semangat multikultural pada bangsa ini.
Secara historis, sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya yang kemudian diikuti dengan masa yang disebut sebagai “era reformasi”, kebudayaan Indonesia cenderung mengalami disintegrasi. Dalam pandangan Azyumardi Azra, bahwa krisis moneter, ekonomi dan politik yang bermula sejak akhir 1997, pada gilirannya juga telah mengakibatkan terjadinya krisis sosio-kultural di dalam kehidupan bangsa dan negara. Jalinan tenun masyarakat (fabric of socirty) tercabik-cabik akibat berbagai krisis yang melanda masyarakat.
Krisis sosio budaya yang meluas itu dapat disaksikan dalam berbagai bentuk disorientasi dan dislokasi banyak kalangan masyarakat kita, misalnya: disintegrasi sosio-politik yang bersumber dari euphoria kebebasan yang nyaris kebablasan, lenyapnya kesabaran sosial (social temper) dalam menghadapi realitas kehidupan yang semakin sulit sehingga mudah melakukan tindakan kekerasan dan anarki, merosotnya penghargaan kepatuhan terhadap hukum, etika, moral, dan kesantunan sosial, semakin meluasnya penyebaran narkotika dan penyakit-penyakit sosial lainnya, berlanjutnya konflik dan kekerasan yang bersumber atau sedikitnya bernuansa politis, etnis dan agama seperti terjadi di Aceh, Kalimantan Barat dan Tengah, Maluku Sulawesi Tengah, dan lain-lain.
Dari perspektif politik Indonesia, berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru memaksakan “mono-kulturalisme”, monokulturalitas, keseragaman, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak tidak mengandung sejumlah implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang pada hakikatnya multi-kultural. Bersamaan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi pula peningkatan gejala “provinsialisme dan etnisitas”.
Pemahaman terhadap kultur subjektif masyarakat menjadi sangat penting mengingat selama 32 tahun perbedaan dianggap memiliki potensi destruktif yang berbahaya dan mengancam kesatuan bangsa. Sehingga, realitas sosiologis dari keberagamaan masyarakat direpresi dan didekonstruksi sesuai dengan arah kebijakan negara Orde Baru. Rekonstruksi wacana etnisitas gaya Orde Baru memandang bahwa perbedaan dan keanekaragaman etnis merupakan penghambat utama pembangunan nasional.
Derivasi dari kebijakan yang unfairness tersebut menyumbat terciptanya ruang publik (free public sphere) bagi masyarakat dalam membangun dialog lintas kultural, bersosialisasi, berinteraksi, dan saling komunikasi antar kelompok masyarakat multi-etnik. Padahal, penyeragaman dan penihilan entitas lokal justru menjadi “bara dalam sekam” yang setiap saat siap meledak, menjelma menjadi konflik sosialkamanusiaan yang menelan korban jiwa anak bangsa.
Cultural engineering yang dilakukan negara lewat meretraadisionalisasi budaya etnis selama masa pembangunan Orde Baru, diredusir untuk mengikuti laju perkembangan proyek modernisasi politik negara. Salah satunya, mencampuradukkan komposisi penduduk Indonesia agar bisa menjaga pertahanan nasional (lewat program wawasan nusantara) yang berdampak langsung pada proses inkulturasi antar etnis di Indonesia menjadi kurang alamiah. Sehingga, solidaritas bangsa sebagai unit budaya dan politik yang berangkat dari pengakuan cultural distinctiveness unsur-unsur pembentukan bangsa tidak berkembang dengan baik.
Pemerintahan Orde Baru secara sistematik telah mengkooptasi potensi kelompok etnis untuk berkembang secara optimal. Tidak hanya itu, distribusi kekuasaan dan marginalisasi pembangunan melalui eksploitasi sumber daya alam dan ekonomi, membangun struktur penindasan baru yang sangat hegemonik. Kekerasan politik yang dibangun negara menjadi precipitating event terbentuknya herarki kekerasan dilapisan masyarakat bawah. Benih disintegrasi sosial yang tumbuh dan berkembang dalam tubuh masyarakat ikut dibentuk oleh kekuatan negara melalui pranata sosial dan instrument politiknya yang tidak berfungsi secara maksimal.
Berangkat dari asumsi historis di atas, dibutuhkan rekonstruksi paragdimatik dalam memaknai perbedaan dan pergeseran yang berlaku dalam komunitas kultur. Membangun pemahaman kultur subjektif antar kelompok etnik adalah salah satu pondasi dalam upaya membangun jalan resolusi konflik dan perdamaian dalam masyarakat.
Menurut analisis Muhaemin el-Ma’hady, akar sejarah multikulturalisme bisa dilacak secara historis, bahwa sedikitnya selama tiga dasa warsa kebijakan yang sentralistis dan pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan masyarakat untuk memikirkan, membicarakan dan memecahkan persoalan yang muncul karena adanya perbedaan secara terbuka, rasional dan damai.
Kenyataan yang sulit diingkari, bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari sejumlah besar kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain, sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat multicultural.
Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh para pendiri bangsa ini untuk mendesain kebudayaan Indonesia, bagi pada umumnya orang Indonesia kini multikulturalisme adalah sebuah konsep yang masih asing.
Sejak pertama kali dicetuskan oleh Komisi Kerajaan Kanada (Canadian Royal Commission) pada 1995, penggunaan ‘multikuturalisme’ secara formal oleh negara mendapatkan dukungan dari para politikus dan akademisi yang menggagas dan mempromosikannya. Mereka menyebut kebijakan ini sebagai sebuah ’keharusan’ (imperatif) politik yang bersifat progresif dan ekspresi resmi dari keyakinan akan keunggulan nilai-nilai liberal seperti kesamaan, toleransi dan sikap inklusif (inclusiveness) terhadap para pendatang (migrants) yang berasal dari latar belakang etnis yang berbeda-beda. Berikut kutipan dari salah seorang pejabat pemerintah Kanada berkaitan dengan kebijakan “Multikulturalisme yang diberlakukan di Kanada adalah sesuatu yang fundamental bagi kepercayaan kita bahwa setiap warga negara adalah ‘sama’ (equal). Multikulturalisme menjamin setiap warga negara untuk tetap mempertahankan indentitas mereka, berbangga atas leluhur mereka, dan mempunyai ‘rasa’ kepemilikan yang mendalam’ (a sense of belonging)”.
Sementara itu, Australia mendeklarasikan diri multikultural dan memeluk paham multikulturalisme di awal 1970-an sebagai tanggapan terhadap ‘meningkatnya jumlah orang-orang Asia yang datang dan bermukim di situ’ dan ‘kehadiran para pendatang dari wilayah di luar Australia yang tidak bisa digolongkan ke dalam tipe atau kategori tertentu’ . Hal yang kurang lebih sama juga terjadi di Kanada, USA, Israel, Inggris, dan Jerman, meskipun unsur-unsur penyusun multikultural di masing-masing negara ini berbeda-beda.
Di awal abad ke-21, sudah lazim bagi negara-negara Barat yang menganut paham demokrasi liberal untuk menyebut diri mereka sebagai masyarakat multikultural (multikultural societies), meskipun tidak semuanya menetapkan ‘kebijakan multikultural yang resmi’ (official policies of mulculturalism). Bahkan sejumlah negara-bangsa yang secara tradisional dikenal sebagai masyarakat yang homogen secara budaya, seperti Jerman dan Jepang, tidak lagi bisa menyangkal fakta bahwa populasi mereka diwarnai dan dipengaruhi oleh kemajemukan rasial dan etnis yang relatif tinggi dalam dua-tiga dekade terakhir ini. Sebagai salah satu dampak akut dari migrasi global yang semakin intensif , “dunia menjadi tempat bagi negara-negara yang multi etnis , dengan komposisi lebih dari 30% populasi berasal dari masyarakat di luar negara tersebut.”
Indonesia memiliki sejarah multikulturalisme selama puluhan abad. Di Indonesia, multikulturalisme telah ada di negeri ini jauh sebelum merdeka. Diterimanya kehadiran para pendatang eropa yang akhirnya menjadi penjajah, dan kehadiran pedagang dari Timur Tengah yang kemudian ikut membangun dan mengukir sejarah megeri ini, merupakan bukti bahwa telah ada unsur multikultural dalam hati bangsa ini.
Sejarah kontemporer telah mencatat adanya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1908, lima sila Pancasila, pasal 32 UUD 1945, simbol Bhineka Tunggal Ika pada lambang burung Garuda Pancasila, dan semangat gotong royong, merupakan bukti tak terbantahkan tentang jiwa dan semangat multikultural pada bangsa ini.
Secara historis, sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya yang kemudian diikuti dengan masa yang disebut sebagai “era reformasi”, kebudayaan Indonesia cenderung mengalami disintegrasi. Dalam pandangan Azyumardi Azra, bahwa krisis moneter, ekonomi dan politik yang bermula sejak akhir 1997, pada gilirannya juga telah mengakibatkan terjadinya krisis sosio-kultural di dalam kehidupan bangsa dan negara. Jalinan tenun masyarakat (fabric of socirty) tercabik-cabik akibat berbagai krisis yang melanda masyarakat.
Krisis sosio budaya yang meluas itu dapat disaksikan dalam berbagai bentuk disorientasi dan dislokasi banyak kalangan masyarakat kita, misalnya: disintegrasi sosio-politik yang bersumber dari euphoria kebebasan yang nyaris kebablasan, lenyapnya kesabaran sosial (social temper) dalam menghadapi realitas kehidupan yang semakin sulit sehingga mudah melakukan tindakan kekerasan dan anarki, merosotnya penghargaan kepatuhan terhadap hukum, etika, moral, dan kesantunan sosial, semakin meluasnya penyebaran narkotika dan penyakit-penyakit sosial lainnya, berlanjutnya konflik dan kekerasan yang bersumber atau sedikitnya bernuansa politis, etnis dan agama seperti terjadi di Aceh, Kalimantan Barat dan Tengah, Maluku Sulawesi Tengah, dan lain-lain.
Dari perspektif politik Indonesia, berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru memaksakan “mono-kulturalisme”, monokulturalitas, keseragaman, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak tidak mengandung sejumlah implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang pada hakikatnya multi-kultural. Bersamaan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi pula peningkatan gejala “provinsialisme dan etnisitas”.
Pemahaman terhadap kultur subjektif masyarakat menjadi sangat penting mengingat selama 32 tahun perbedaan dianggap memiliki potensi destruktif yang berbahaya dan mengancam kesatuan bangsa. Sehingga, realitas sosiologis dari keberagamaan masyarakat direpresi dan didekonstruksi sesuai dengan arah kebijakan negara Orde Baru. Rekonstruksi wacana etnisitas gaya Orde Baru memandang bahwa perbedaan dan keanekaragaman etnis merupakan penghambat utama pembangunan nasional.
Derivasi dari kebijakan yang unfairness tersebut menyumbat terciptanya ruang publik (free public sphere) bagi masyarakat dalam membangun dialog lintas kultural, bersosialisasi, berinteraksi, dan saling komunikasi antar kelompok masyarakat multi-etnik. Padahal, penyeragaman dan penihilan entitas lokal justru menjadi “bara dalam sekam” yang setiap saat siap meledak, menjelma menjadi konflik sosialkamanusiaan yang menelan korban jiwa anak bangsa.
Cultural engineering yang dilakukan negara lewat meretraadisionalisasi budaya etnis selama masa pembangunan Orde Baru, diredusir untuk mengikuti laju perkembangan proyek modernisasi politik negara. Salah satunya, mencampuradukkan komposisi penduduk Indonesia agar bisa menjaga pertahanan nasional (lewat program wawasan nusantara) yang berdampak langsung pada proses inkulturasi antar etnis di Indonesia menjadi kurang alamiah. Sehingga, solidaritas bangsa sebagai unit budaya dan politik yang berangkat dari pengakuan cultural distinctiveness unsur-unsur pembentukan bangsa tidak berkembang dengan baik.
Pemerintahan Orde Baru secara sistematik telah mengkooptasi potensi kelompok etnis untuk berkembang secara optimal. Tidak hanya itu, distribusi kekuasaan dan marginalisasi pembangunan melalui eksploitasi sumber daya alam dan ekonomi, membangun struktur penindasan baru yang sangat hegemonik. Kekerasan politik yang dibangun negara menjadi precipitating event terbentuknya herarki kekerasan dilapisan masyarakat bawah. Benih disintegrasi sosial yang tumbuh dan berkembang dalam tubuh masyarakat ikut dibentuk oleh kekuatan negara melalui pranata sosial dan instrument politiknya yang tidak berfungsi secara maksimal.
Berangkat dari asumsi historis di atas, dibutuhkan rekonstruksi paragdimatik dalam memaknai perbedaan dan pergeseran yang berlaku dalam komunitas kultur. Membangun pemahaman kultur subjektif antar kelompok etnik adalah salah satu pondasi dalam upaya membangun jalan resolusi konflik dan perdamaian dalam masyarakat.
Menurut analisis Muhaemin el-Ma’hady, akar sejarah multikulturalisme bisa dilacak secara historis, bahwa sedikitnya selama tiga dasa warsa kebijakan yang sentralistis dan pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan masyarakat untuk memikirkan, membicarakan dan memecahkan persoalan yang muncul karena adanya perbedaan secara terbuka, rasional dan damai.
Kenyataan yang sulit diingkari, bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari sejumlah besar kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain, sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat multicultural.
Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh para pendiri bangsa ini untuk mendesain kebudayaan Indonesia, bagi pada umumnya orang Indonesia kini multikulturalisme adalah sebuah konsep yang masih asing.
Terbaik
BalasHapus