Memang benar adanya bahwa kebutuhan seorang suami tatkala dipenuhi oleh sang istri dengan penuh keridhaan maka bisa menjadi ladang pahala. Namun, tentunya kebutuhan tersebut tidak boleh bertentangan dengan aturan Allah SWT. Walau pasangan suami dan istri yang dinyatakan sah secara agama telah halal melakukan hubungan badan, namun ada ketentuan-ketentuan yang harus dipahami secara mendalam. Salah satunya pandangan hukum islam bersetubuh saat haid.
Dalam Alqur’an surah Al-Baqarah: 222
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (Q.S. Al-Baqarah: 222)
Dijelaskan bahwa bersetubuh saat haid adalah haram hukumnya. Dalam tafsir As-Sa’di jilid 1, menggali lebih dalam lagi mengenai permasalahan ini. Dikatakan di dalamnya bahwa istri yang sedang dalam kondisi haid tidak boleh melayani suami. Butuh pemahaman yang didasari ilmu agar pasangan suami istri tidak terjerumus ke dalam kesalahan yang fatal.
Tidak tanggung-tanggung, Imam Nawawi dalam kitab Syarhu Muslim III:204 menyebutkan bahwa seorang muslim yang bersetubuh saat haid sedangkan dia telah mengetahui perkara haramnya tergolong kedalam murtad. Karena jika bersetubuh saat haid dengan sengaja dan mengetahui ilmunya dengan penuh kesadarn hukumnya haram dan telah melakukan maksiat besar sehingga diwajibkan untuk segera bertaubat.
Sedangkan jika bersetubuh saat haid dilakukan tanpa mengetahui perkara haramnya perbuatan tersebut, maka tidak berdosa dan tidak pula wajib membayar kafarat. Hal ini juga berlaku bagi pasangan yang bersetubuh sedangkan tidak mengetahui keluarnya darah haid.
Bagi pasangan yang telah bercampur dalam keadaan haid, terdapat dua pendapat.
1. Pendapat yang pertama diambil oleh Imam Ahmad dan Imam Nawawi, yang menyatakan bahwa diwajibkan atasnya membayar kafarah (Tebusan). Hal ini di dasari pada sabda Rasulullah yang mengatakan “Hendaklah Ia Bershadaqah 1 dinar atau separuh dinar”.
2. Pendapat lainnya menyatakan bahwa tidak diwajibkan atasnya membayar kafarah. Sebagaimana yang diambil oleh madzab hanafiyyah dan dikuatkan oleh Syaikh Mustofa Al-Adawi bahwa pembayaran kafarah berhukum sunnah.
Perbedaan ini muncul karena perbedaan pendapat atas keshahihan dalil-dalil yang dipakai dalam merumuskan masalah ini. Melanjutkan pendapat pertama, ada beberapa pendapat pula mengenai jumlah kafarah yang harus dibayarkan, yaitu:
1. Adanya perbedaan jumlah kafarah jika bersetubuh dilakukan di awal masa haid dan di akhir masa haid. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu secara mauquf berkata, ”Jika ia bercampur dengan istrinya diawal keluarnya darah maka hendaklah bershadaqah 1 dinar dan jika di akhir keluarnya darah maka setengah dinar.’ Pendapat inilah yang kemudian diambil oleh madzab Imam Syafii.
2. Menurut Imam Ahmad, jika darah haid berwarna merah maka kafarah yang dibayarkan adalah 1 dinar dan jika berwarna kuning maka setengah dinar.
3. Menurut syaikh Albani Rahimahullah, kafarah yang wajib dibayarkan sesuai dengan kemampuan orangnya agar tidak sampai memberatkan.
Ketiga hal di atas berlaku dengan catatan tambahan yaitu 1 dinar = 4,25gr emas. Jika dibayarkan dengan uang, maka disesuaikan dengan harga emas saat itu. Kafarah wajibnya dibayarkan oleh suami. Namun, jika istri mengetahui dirinya dalam kondisi haid dan dengan sukarela tanpa paksaan melayani suami, maka istri juga diwajibkan atasnya membayar kafarah. Hal tersebut diputuskan berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang berbunyi “Umatku dimaafkan karena salah, lupa, dan apa-apa yang dipaksakan atasnya”.
Begitulah sedikit penjelasan mengenai hukum islam bersetubuh saat haid. Ternyata tidak hanya secara agama dari segi medis bersetubuh saat haid juga berbahaya. Percayalah atas apa-apa yang dilarang oleh islam sebagai ajaran yang sempurna adalah demi kebaikan. Wallahu ‘alam bishawab.
Dalam Alqur’an surah Al-Baqarah: 222
وَيَسَۡٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡمَحِيضِۖ قُلۡ هُوَ أَذٗى فَٱعۡتَزِلُواْ ٱلنِّسَآءَ فِي ٱلۡمَحِيضِ وَلَا تَقۡرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطۡهُرۡنَۖ فَإِذَا تَطَهَّرۡنَ فَأۡتُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلۡمُتَطَهِّرِينَ
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (Q.S. Al-Baqarah: 222)
Dijelaskan bahwa bersetubuh saat haid adalah haram hukumnya. Dalam tafsir As-Sa’di jilid 1, menggali lebih dalam lagi mengenai permasalahan ini. Dikatakan di dalamnya bahwa istri yang sedang dalam kondisi haid tidak boleh melayani suami. Butuh pemahaman yang didasari ilmu agar pasangan suami istri tidak terjerumus ke dalam kesalahan yang fatal.
Tidak tanggung-tanggung, Imam Nawawi dalam kitab Syarhu Muslim III:204 menyebutkan bahwa seorang muslim yang bersetubuh saat haid sedangkan dia telah mengetahui perkara haramnya tergolong kedalam murtad. Karena jika bersetubuh saat haid dengan sengaja dan mengetahui ilmunya dengan penuh kesadarn hukumnya haram dan telah melakukan maksiat besar sehingga diwajibkan untuk segera bertaubat.
Sedangkan jika bersetubuh saat haid dilakukan tanpa mengetahui perkara haramnya perbuatan tersebut, maka tidak berdosa dan tidak pula wajib membayar kafarat. Hal ini juga berlaku bagi pasangan yang bersetubuh sedangkan tidak mengetahui keluarnya darah haid.
Bagi pasangan yang telah bercampur dalam keadaan haid, terdapat dua pendapat.
1. Pendapat yang pertama diambil oleh Imam Ahmad dan Imam Nawawi, yang menyatakan bahwa diwajibkan atasnya membayar kafarah (Tebusan). Hal ini di dasari pada sabda Rasulullah yang mengatakan “Hendaklah Ia Bershadaqah 1 dinar atau separuh dinar”.
2. Pendapat lainnya menyatakan bahwa tidak diwajibkan atasnya membayar kafarah. Sebagaimana yang diambil oleh madzab hanafiyyah dan dikuatkan oleh Syaikh Mustofa Al-Adawi bahwa pembayaran kafarah berhukum sunnah.
Perbedaan ini muncul karena perbedaan pendapat atas keshahihan dalil-dalil yang dipakai dalam merumuskan masalah ini. Melanjutkan pendapat pertama, ada beberapa pendapat pula mengenai jumlah kafarah yang harus dibayarkan, yaitu:
1. Adanya perbedaan jumlah kafarah jika bersetubuh dilakukan di awal masa haid dan di akhir masa haid. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu secara mauquf berkata, ”Jika ia bercampur dengan istrinya diawal keluarnya darah maka hendaklah bershadaqah 1 dinar dan jika di akhir keluarnya darah maka setengah dinar.’ Pendapat inilah yang kemudian diambil oleh madzab Imam Syafii.
2. Menurut Imam Ahmad, jika darah haid berwarna merah maka kafarah yang dibayarkan adalah 1 dinar dan jika berwarna kuning maka setengah dinar.
3. Menurut syaikh Albani Rahimahullah, kafarah yang wajib dibayarkan sesuai dengan kemampuan orangnya agar tidak sampai memberatkan.
Ketiga hal di atas berlaku dengan catatan tambahan yaitu 1 dinar = 4,25gr emas. Jika dibayarkan dengan uang, maka disesuaikan dengan harga emas saat itu. Kafarah wajibnya dibayarkan oleh suami. Namun, jika istri mengetahui dirinya dalam kondisi haid dan dengan sukarela tanpa paksaan melayani suami, maka istri juga diwajibkan atasnya membayar kafarah. Hal tersebut diputuskan berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang berbunyi “Umatku dimaafkan karena salah, lupa, dan apa-apa yang dipaksakan atasnya”.
Begitulah sedikit penjelasan mengenai hukum islam bersetubuh saat haid. Ternyata tidak hanya secara agama dari segi medis bersetubuh saat haid juga berbahaya. Percayalah atas apa-apa yang dilarang oleh islam sebagai ajaran yang sempurna adalah demi kebaikan. Wallahu ‘alam bishawab.