Kepulauan kei atau dalam bahasa lokal disebut sebagai Nuhu Evav, merupakan daerah atau wilayah yang teletak di timur Indonesia. Masyarakatnya tidak banyak memiliki catatan sejarah, mereka hanya memiliki Tom yang artinya hikayat, dan tad yang artinya tanda. Tom atau hikayat-hikayat akan diceritakan secara turun temurun yang dikuatkan dengan tad atau tanda berupa lagu, benda-benda pusaka, benda-benda adat, tempat kejadian, dan sebagainya.
Masyarakat kei memiliki tempat-tempat wisata yang sungguh mempesona, seperi goa hawang, pantai pasir panjang (ngur bloat), pulau bair, pasir timbul atau pulau (ngurtavur), air terjun hako, pantai madwaer, dan masih banyak lagi tempat-tempat wisata yang tidak dapat saya sebutkan di sini. Masyarakat kei juga masih memelihara tradisi lokal yang dapat kamu temukan di sana, salah satu diantaranya yaitu tradisi tangkap ikan tradisional wer warat.
Kepulauan kei merupakan wilayah yang sebagian besar adalah laut, sehingga menyimpan keindahan alam laut yang begitu mempesona. Setiap tahun di bulan-bulan tertentu yang dimulai dari bulan september sampai dengan bulan november (puncaknya pada bulan oktober) terjadi fenomena alam yang sangat langka, yang oleh masyarakat maluku secara umum menyebutnya sebagai meti kei. Meti artinya air surut sedangkan kei merupakan suatu wilayah kepulauan yang berada di tenggara provinsi Maluku. Penyebutan ini berlangsung sudah sejak lama, dan pertama kali dipopulerkan oleh masyarakat kei.
Fenomen alam meti kei, merupakan air surut laut terendah hingga mencapai 500-700 meter, bahkan di beberapa desa bisa mencapai satu kilometer. Fenomen alam ini biasanya terjadi saat musim kemarau sehingga dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk mencari bia (kerang laut), dan seafood lainnya, baik itu untuk dijual atau untuk konsumsi sendiri di rumah. Biasanya pada saat musim meti kei, sebagian besar masyarakat di kepulauan kei melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan cara tradisional bahkan terbilang unik. Karena hanya menggunakan janur kuning yang diertakan pada tali nilon besar yang panjangnya disesuiakan dengan panjang pantai.
Mula-mula alat penangkap ikan (janur kuning yang dieratkan ke tali nilon) ditarik berbentuk setengah melingkar hingga mencapai kei bibir pantai dan dibiarkan selama sehari-semalam berada di laut, keesokan harinya ketika air laut mulai surut laki-laki yang sudah memenuhi syarat tertentu turun untuk menarik tali tersebut ke darat sambil memukul-mukul air laut agar ikan terperangkap. Kemudian masyarakat secara beramai-ramai turun ke laut untuk menangkap ikan dengan cara menombak, memotong, atau menggunakan jaring. Ikan hasil tangkapan akan dimakan secara beramai-ramai oleh penduduk desa di pantai, dan juga dibagikan kepada seluruh penduduk desa yang tidak hadir. Dalam kegiatan tangkap ikan tradisional yang oleh masyarakat kei disebut sebagai tradisi "wer warat" atau dalam bahasa Indonesia artinya tradisi tarik tali, terdapat juga beberapa ritual-ritual khusus yang dilakukan sebelum turun ke laut.
Menurut adat istiadat, tidak semua pria yang boleh ikut memasang dan menarik tali, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh pria dewasa untuk ikut dalam tradisi tersebut. Persyaratan utamanya adalah tidak melakukan perbuatan dosa yang dilarang oleh agama yang diyakininya, bagi yang sudah menikah istrinya tidak boleh hamil dan juga tidak boleh melakukan perbuatan dosa. Pria dewasa yang ikut tradisi tersebut harus benar-benar bersih dari dosa. Setelah melewati persayaratan tersebut, mereka dimandikan dengan air khusus agar memiliki keberanian dan kekuatan dalam menangkap ikan, yaitu menggiring ikan sampai ke bagian darat hingga air mencapai lutut, barulah masyarakat lain yang berada di lokasi tersebut secara beramai-ramai turun menangkap ikan yang sudah terjebak di dalam tali yang dieratkan janur kuning. Menurut kepercayaan masyarakat ikan takut dengan janur kuning sehingga digunakan untuk menggiring ikan ke darat.
Tradisi tangkap ikan tradisional wer warat tidak saja diikuti oleh masyarakat desa setempat tetepi biasanya dimeriahkan oleh masyarakat yang berasal dari desa lain, seperti desa tetangga atau desa-desa yang mendengar adanya kegitan tersebut. Semua laki-laki yang hadir boleh ikut turun menarik tali asal sudah memenuhi persyaratan dan ritual yang saya sebutkan di atas.
Tradisi seperti ini merupakan tradisi yang baik dan merupakan suatu kewajiban bagi penduduk lokal yaitu masyarakat kei agar terus melestarikannya karena, memiliki manfaat yang baik bagi kelangsungan hidup masyarakat kei. Pertama, bahwa dengan kegiatan seperti ini akan menumbukan rasa persaudaraan antar sesama. Kedua, menjadi ajang silaturahmi bagi masyarakat dan juga dapat menigkatkan kerukunan hidup masyarakat. Ketiga, menjadi salah satu percontohan pemeliharaan lingkungan hidup, karena menangkap ikan hanya menggunakan alat tradisional yang ramah lingkungan dan tidak merusak alam.
Masyarakat kei merupakan masyarakat yang tinggal di pesisir pantai sehingga mereka dengan mudah menerima budaya baru yang datang dari luar, tetapi tetap memelihara kearifan lokal. Sehingga penulis melihat bahwa masyarakat kei sudah sejak lama melampaui teori post-modernisme, yaitu sebuah teori yang menggabungkan kearifan lokal ke dalam kehidupan masyarakat modern.
Event-event modern yang biasanya kita temui dan bahkan kita terlibat di dalamnya kalau mau dilihat sebenarnya hanya merupakan pengembangan dari tradisi-tradisi lokal yang sudah dilakukan sejak lama. Misalnya saja kegiatan "Denpasar Festival" yang dilakukan di denpasar bali (baca: jurnal penelitian oleh Ni Putu Eka Juliawati), yang mengangkat tradisi-tradisi lokal bali yang sudah dipertunjukan kepada masyarakat umum sejak lama dalam kegiatan-kegiatan lokal, hanya saja agar terlihat lebih menarik maka, dibuat semeriah mungkin dengan balutan modern.
Hal ini sama juga dengan kegiatan Festival Pesona Meti Kei yang dilangsungkan setiap tahun di kepulauan kei. Pada dasarnya kegiatan-kegiatan utama di dalam event tersebut seperti tradisi tangkap ikan tradisional wer warat (tarik tali), karnaval budaya, pameran hasil alam dan kreatiftas, pertunjukan tarian, dan sebagainya merupakan tradisi lama masyarakat kei yang diangkat dalam event dengan style modern agar terlihat lebih kece.
Kegiatan Festival Pesona Meti Kei untuk pertama kalinya dilakukan pada tanggal 8-22 oktober 2016 di bumi Larvul Ngabal (Maluku Tenggara), setelah kepulauan kei mendapatkan anugrah sebagai Surga Tersembunyi Terpopuler (Most Popular Hidden Paradise) dalam kegiatan Anugrah Pesona Indonesia pada tahun yang sama.
Penganugrahan ini didapat dari upaya yang dilakukan oleh banyak kalangan dalam mempromosikan keindahan kepulauan kei. Yang termasuk dalam kelompok mempromosikan pesona kepulauan kei adalah komunitas-komunitas traveling baik itu yang berasal dari kepulauan kei, maupun yang berasal dari luar daerah. Selain itu ada juga upaya-upaya yang dilakukan pemerintah kabupaten Maluku Tenggara dalam mempromosikan pariwisata di kepulauan kei dengan berbagai event, baik itu event lokal, nasional dan internasional. Salah satu event yang saat ini dilakukan rutin setiap tahun oleh pemkab Maluku Tenggara sebagaimana sudah penulis sebutkan di atas yaitu Festival Pesona Meti Kei.
Selain sebagai event untuk mempromosikan pariwisata kepulauan kei, Festival Pesona Meti Kei menjadi ajang untuk memupuk kerukunan hidup masyarakat kepulauan kei. Karena dalam event tahunan tersebut terdapat berbagai kegiatan yang dilaksanakan. Seperti kegiatan budaya tarik tali, karnaval budaya, lomba dan pameran fotografi, pesta rakyat yang dimeriahkan oleh artis nasional, lari marathon, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang dilaksanakan di berbagai tempat di kepulauan kei.
Semua kegiatan di atas tidak saja dilaksanakan oleh satu golongan komunitas, tetapi dilaksanakan oleh seluruh komunitas suku, agama, dan golongan yang berada di kepulauan kei. Bahkan ada juga peserta kegiatan yang berasal dari luar daerah. Hal ini membuktikan bahwa kepulaun kei masih tetap memelihara budayanya yang kuat sehingga kehidupan kerukunan dalam bermasyarakat masih dipertahankan dari sejak zaman dahulu hingga saat ini.
Masyarakat kei memiliki tempat-tempat wisata yang sungguh mempesona, seperi goa hawang, pantai pasir panjang (ngur bloat), pulau bair, pasir timbul atau pulau (ngurtavur), air terjun hako, pantai madwaer, dan masih banyak lagi tempat-tempat wisata yang tidak dapat saya sebutkan di sini. Masyarakat kei juga masih memelihara tradisi lokal yang dapat kamu temukan di sana, salah satu diantaranya yaitu tradisi tangkap ikan tradisional wer warat.
Meti Kei dan Tradisi Wer Warat
Kepulauan kei merupakan wilayah yang sebagian besar adalah laut, sehingga menyimpan keindahan alam laut yang begitu mempesona. Setiap tahun di bulan-bulan tertentu yang dimulai dari bulan september sampai dengan bulan november (puncaknya pada bulan oktober) terjadi fenomena alam yang sangat langka, yang oleh masyarakat maluku secara umum menyebutnya sebagai meti kei. Meti artinya air surut sedangkan kei merupakan suatu wilayah kepulauan yang berada di tenggara provinsi Maluku. Penyebutan ini berlangsung sudah sejak lama, dan pertama kali dipopulerkan oleh masyarakat kei.
Fenomen alam meti kei, merupakan air surut laut terendah hingga mencapai 500-700 meter, bahkan di beberapa desa bisa mencapai satu kilometer. Fenomen alam ini biasanya terjadi saat musim kemarau sehingga dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk mencari bia (kerang laut), dan seafood lainnya, baik itu untuk dijual atau untuk konsumsi sendiri di rumah. Biasanya pada saat musim meti kei, sebagian besar masyarakat di kepulauan kei melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan cara tradisional bahkan terbilang unik. Karena hanya menggunakan janur kuning yang diertakan pada tali nilon besar yang panjangnya disesuiakan dengan panjang pantai.
Mula-mula alat penangkap ikan (janur kuning yang dieratkan ke tali nilon) ditarik berbentuk setengah melingkar hingga mencapai kei bibir pantai dan dibiarkan selama sehari-semalam berada di laut, keesokan harinya ketika air laut mulai surut laki-laki yang sudah memenuhi syarat tertentu turun untuk menarik tali tersebut ke darat sambil memukul-mukul air laut agar ikan terperangkap. Kemudian masyarakat secara beramai-ramai turun ke laut untuk menangkap ikan dengan cara menombak, memotong, atau menggunakan jaring. Ikan hasil tangkapan akan dimakan secara beramai-ramai oleh penduduk desa di pantai, dan juga dibagikan kepada seluruh penduduk desa yang tidak hadir. Dalam kegiatan tangkap ikan tradisional yang oleh masyarakat kei disebut sebagai tradisi "wer warat" atau dalam bahasa Indonesia artinya tradisi tarik tali, terdapat juga beberapa ritual-ritual khusus yang dilakukan sebelum turun ke laut.
Menurut adat istiadat, tidak semua pria yang boleh ikut memasang dan menarik tali, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh pria dewasa untuk ikut dalam tradisi tersebut. Persyaratan utamanya adalah tidak melakukan perbuatan dosa yang dilarang oleh agama yang diyakininya, bagi yang sudah menikah istrinya tidak boleh hamil dan juga tidak boleh melakukan perbuatan dosa. Pria dewasa yang ikut tradisi tersebut harus benar-benar bersih dari dosa. Setelah melewati persayaratan tersebut, mereka dimandikan dengan air khusus agar memiliki keberanian dan kekuatan dalam menangkap ikan, yaitu menggiring ikan sampai ke bagian darat hingga air mencapai lutut, barulah masyarakat lain yang berada di lokasi tersebut secara beramai-ramai turun menangkap ikan yang sudah terjebak di dalam tali yang dieratkan janur kuning. Menurut kepercayaan masyarakat ikan takut dengan janur kuning sehingga digunakan untuk menggiring ikan ke darat.
Tradisi tangkap ikan tradisional wer warat tidak saja diikuti oleh masyarakat desa setempat tetepi biasanya dimeriahkan oleh masyarakat yang berasal dari desa lain, seperti desa tetangga atau desa-desa yang mendengar adanya kegitan tersebut. Semua laki-laki yang hadir boleh ikut turun menarik tali asal sudah memenuhi persyaratan dan ritual yang saya sebutkan di atas.
Tradisi seperti ini merupakan tradisi yang baik dan merupakan suatu kewajiban bagi penduduk lokal yaitu masyarakat kei agar terus melestarikannya karena, memiliki manfaat yang baik bagi kelangsungan hidup masyarakat kei. Pertama, bahwa dengan kegiatan seperti ini akan menumbukan rasa persaudaraan antar sesama. Kedua, menjadi ajang silaturahmi bagi masyarakat dan juga dapat menigkatkan kerukunan hidup masyarakat. Ketiga, menjadi salah satu percontohan pemeliharaan lingkungan hidup, karena menangkap ikan hanya menggunakan alat tradisional yang ramah lingkungan dan tidak merusak alam.
Asal Usul Festival Pesona Meti Kei
Masyarakat kepulauan kei, merupakan masyarakat adat yang dengan arif dan bijakasana masih memelihara budaya, adat dan istiadat serta hukum lokal yang mereka sebut sebagai hukum adat Larvul Ngabal. Bagi masyarakat adat kei, hal yang paling diutamakan dalam kehidupan adalah kekeluargaan/kekerabatan dan adat, setelah itu barulah agama dan hukum negara.Masyarakat kei merupakan masyarakat yang tinggal di pesisir pantai sehingga mereka dengan mudah menerima budaya baru yang datang dari luar, tetapi tetap memelihara kearifan lokal. Sehingga penulis melihat bahwa masyarakat kei sudah sejak lama melampaui teori post-modernisme, yaitu sebuah teori yang menggabungkan kearifan lokal ke dalam kehidupan masyarakat modern.
Event-event modern yang biasanya kita temui dan bahkan kita terlibat di dalamnya kalau mau dilihat sebenarnya hanya merupakan pengembangan dari tradisi-tradisi lokal yang sudah dilakukan sejak lama. Misalnya saja kegiatan "Denpasar Festival" yang dilakukan di denpasar bali (baca: jurnal penelitian oleh Ni Putu Eka Juliawati), yang mengangkat tradisi-tradisi lokal bali yang sudah dipertunjukan kepada masyarakat umum sejak lama dalam kegiatan-kegiatan lokal, hanya saja agar terlihat lebih menarik maka, dibuat semeriah mungkin dengan balutan modern.
Hal ini sama juga dengan kegiatan Festival Pesona Meti Kei yang dilangsungkan setiap tahun di kepulauan kei. Pada dasarnya kegiatan-kegiatan utama di dalam event tersebut seperti tradisi tangkap ikan tradisional wer warat (tarik tali), karnaval budaya, pameran hasil alam dan kreatiftas, pertunjukan tarian, dan sebagainya merupakan tradisi lama masyarakat kei yang diangkat dalam event dengan style modern agar terlihat lebih kece.
Kegiatan Festival Pesona Meti Kei untuk pertama kalinya dilakukan pada tanggal 8-22 oktober 2016 di bumi Larvul Ngabal (Maluku Tenggara), setelah kepulauan kei mendapatkan anugrah sebagai Surga Tersembunyi Terpopuler (Most Popular Hidden Paradise) dalam kegiatan Anugrah Pesona Indonesia pada tahun yang sama.
Penganugrahan ini didapat dari upaya yang dilakukan oleh banyak kalangan dalam mempromosikan keindahan kepulauan kei. Yang termasuk dalam kelompok mempromosikan pesona kepulauan kei adalah komunitas-komunitas traveling baik itu yang berasal dari kepulauan kei, maupun yang berasal dari luar daerah. Selain itu ada juga upaya-upaya yang dilakukan pemerintah kabupaten Maluku Tenggara dalam mempromosikan pariwisata di kepulauan kei dengan berbagai event, baik itu event lokal, nasional dan internasional. Salah satu event yang saat ini dilakukan rutin setiap tahun oleh pemkab Maluku Tenggara sebagaimana sudah penulis sebutkan di atas yaitu Festival Pesona Meti Kei.
Selain sebagai event untuk mempromosikan pariwisata kepulauan kei, Festival Pesona Meti Kei menjadi ajang untuk memupuk kerukunan hidup masyarakat kepulauan kei. Karena dalam event tahunan tersebut terdapat berbagai kegiatan yang dilaksanakan. Seperti kegiatan budaya tarik tali, karnaval budaya, lomba dan pameran fotografi, pesta rakyat yang dimeriahkan oleh artis nasional, lari marathon, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang dilaksanakan di berbagai tempat di kepulauan kei.
Semua kegiatan di atas tidak saja dilaksanakan oleh satu golongan komunitas, tetapi dilaksanakan oleh seluruh komunitas suku, agama, dan golongan yang berada di kepulauan kei. Bahkan ada juga peserta kegiatan yang berasal dari luar daerah. Hal ini membuktikan bahwa kepulaun kei masih tetap memelihara budayanya yang kuat sehingga kehidupan kerukunan dalam bermasyarakat masih dipertahankan dari sejak zaman dahulu hingga saat ini.