Indonesia merupakan negara yang sangat multi kultural, terdapat beradam suku, agama, budaya dan etnis yang tinggal di Negara ini. Negara kepulauan yang plural ini sudah seharusnya memiliki semacam kurikulum pendidikan yang multikultural agar menjaga keutuhan bangsa.
Untuk menjadikan masyarakat bangsa Indonesia yang berwawasan multikultural maka, jalan yang paling ampuh adalah melalui dunia pendidikan, baik itu pendidikan pesantren, madrasah dan sekolah. Hal ini dikarenakan dunia pendidikanlah yang dapat merubah mindset berpikiri manusia, seperti merubah mindset berpikir monokultural menuju kepada multi-kultural.
1. Pesantren
Istilah pesantren bisa disebut pondok saja atau kata ini digabungkan menjadi pondok pesantren, secara esensial, semua istilah ini menggabungkan makna yang sama. Sesuai dengan namanya, pondok berarti tempat tinggal/menginap (asrama), dan pesantren berarti tempat para santri mengkaji agama islam dan sekaligus di asramakan.
Menurut M.Arifin (1991) dikutip oleh Mujamil Qomar. Pondok pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) dimana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada dibawah kedaulatan dari leader ship seorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal. Penggunaan gabungan kedua istilah antara pondok dengan pesantren menjadi pondok pesantren, sebenarnya lebih mengakomodasikan karakter keduanya. Namun penyebutan pondok pesantren kurang jami’ ma’ni (singkat padat). Selagi perhatiannya dapat diwakili istilah yang lebih singkat, karena orang lebih cenderung mempergunakan yang pendek. Maka pesantren dapat digunakan untuk menggantikan pondok atau pondok pesantren.
Menurut Abdul Mujib (2006), pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan islam yang didalamnya terdapat seorang kiai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (peserta didik) dengan sarana masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan terebut, serta didukung adanya pemondokan atau asrama sebagai tempat tinggal para santri.
2. Madrasah
Istilah madrasah berasal dari dunia Islam Timur Tengah yang berkembang sekitar ke-10 M, yang diklaim sebagai simbol kebangkitan kaum Sunni. Istilah ini kemudian diadopsi oleh umat Islam di Indonesia. Bahkan, telah menjadi salah satu wujud dari etnis budaya Indonesia, yang dengan sendirinya mengalami proses sosialisasi yang relatif insentif. Indikasinya adalah wujud intentitas budaya ini telah diakui dan diterima kehadirannya di Indonesia.
Secara etimologis, kata madsarah merupakan isim makna dari kata darasa yang berarti “tempat duduk untuk belajar”. Di Indonesia, istilah madrasah telah menyatu dengan istilah sekolah atau perguruan, khususnya yang bernuansa Islam. Dengan demikian, secara harfiah, kata madrasah memiliki kesamaan arti dengan sekolah agama. Setelah mengarungi perjalanan peradaban bangsa, diakui telah mengalami perubahan-perubahan, walaupun tidak melepaskan diri dari makna asal sesuai dengan ikatan budayanya, yakni budaya Islam.
3. Sekolah
Kata sekolah berasal dari bahasa latin, yakni skhole, scolae, skhoe atau scolae yang memiliki arti waktu luang atau waktu senggang, dimana ketika itu sekolah adalah kegiatan diwaktu luang bagi anak-anak ditengah kegiatan mereka, yakni bermain dan menghabiskan waktu menikmati masa anak-anak dan remaja. Kegiatan dalam waktu luang adalah mempelajari cara berhitung, secara membaca huruf dan mengenal tentang moral (budi pekerti) dan estetika (seni). Utuk mendampingi dalam kegiatan scola anak-anak didampingi oleh orang ahli dan mengerti tentang psikologi anak, sehingga memeberikan kesempatan-kesempatan yang sebebsar-besarnya kepada anak – anak untuk menciptakan sendiri dunianya melalui berbagai pelajaran diatas.
Kini, kata sekolah dikatakan sunarto (1993), telah berubah berupa bangunan atau lembaga untuk belajar dan serta tempat memberi dan menerima pelajaran,. Sekolah dipimpin oleh seorang kepala sekolah, dan kepala sekolah dibantu oleh wakil kepala sekolah, jumlah kepala sekolah bisa berbeda pada tiap sekolahanya, tergantung dengan kebutuhan. Bangunan sekolah disusun meninggi untuk memenfaatkan tanah yang tersedia dan dapat diisi dengna fasilitas yang lain. Ketersidiaan sarana pada suatu sekolah memiliki peranan penting dalam terlaksanakan proses pendidikan.
Sekolah adalah sebuah lembaga yang dirancang untuk pengajaran siswa atau murid di bawah pengawasan pendidik (guru). sebagian besar negara memiliki sistem pendidikan formal, yang umumnya wajib, dalam upaya menciptakan anak didik agar mengalami kemajuan setelah melalui proses pembelajaran. Nama- nama sekolah ini berfariasi menurut negara, tetapi umumnya termasuk sekolah dasar untuk anak – anak muda dan sekolah menengah untuk remaja yang telah menyelesaikan sekolah dasar.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, Islam memandang posisi umat agama lain sebagai sesama bagian warga bangsa yang terikat oleh komitmen kebangsaan sehingga harus hidup berdampingan secara damai, bukan posisi sebagai kelompok lain yang harus diperangi. Sehingga dalam perspektif Islam, kelompok umat agama lain adalah merupakan sama-sama warga bangsa yang tidak boleh diperangi atau dimusuhi. Bahkan ada sebuah hadis Nabi yang menyatakan bahwa "barangsiapa yang membunh non muslim yang hidup berdampingan secara damai, maka tidak akan memperoleh bau surga". Dalam merajut kebersamaan berbangsa dan bernegara ini, landasan teologis ini juga diajarkan oleh agama-agama lainnya. Sehingga landasan teologis ini seharusnya menjadi acuan dalam hubungan antar umat beragama dan antar warga negara di negeri ini.
Paradigma pendidikan multikultural (multicultural educational paradigm) merupakan tindak lanjut dari strategi pendidikan multukultural dan pengembangan dari studi interkultural dan multikulturalisme yang sejak lama sudah berkembang di Amerika, Eropa, dan negara-negara maju lainnya. Pendidikan multikultural merupakan strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada peserta didik, seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, jender, kelas sosial, ras, kemampuan dan umur agar proses belajar menjadi efektif dan mudah.
Jackson menyatakan bahwa pendidikan agama membutuhkan keterampilan penafsiran, kritik dan dialog untuk mengakses sumber informasi. partisipasi dalam perdebatan yang relevan menghubungkan dunia sosial dengan dunia individu dan merupakan bentuk komunikasi antar agama dan antar budaya yang dibutuhkan untuk demokrasi yang plural. Sekolah negeri merupakan tempat yang cocok untuk eksplorasi semacam ini untuk mengembangkan pluralitas dan pluralism secara epistemologis.
Sementara itu, Nieto dan Bode menegaskan bahwa dalam kerangka reformasi sekolah, pendidikan multikultural berpengaruh besar dalam proses dan tujuan belajar seorang siswa. Untuk menerapkan reformasi sekolah dengan perspektif multikultural, kita harus memulai dengan pemahaman tentang pendidikan multicultural dalam konteks sosiopolitik. Konteks ini menempatkan pendidikan sebagai bagian dari ranah sosial dan kekuatan politik yang lebih besar. Dalam perspektif ini, kebijakan yang terkait dengan reformasi kurikulum dan pendidikan dipengaruhi oleh kebijakan sosial yang lebih luas.
Pendidikan agama memiliki kontribusi yang penting dalam pendidikan antarbudaya, pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan nilai, terutama dalam memahami berbagai aspek pluralitas sosial dalam hubungannya dengan pengalaman individual seorang siswa. Kemajemukan sosial ini mengkombinasian antara dimensi tradisional dengan modern atau postmodern, juga menghubungkan elemen lokal, nasional dan global. Dengan ikut serta dalam berbagai diskusi tentang isu terkait, seorang siswa dapat terbantu untuk menguji asumsi dirinya sendiri maupun teman-temannya dan merefleksikan identitas mereka sendiri.
Dalam perspektif pendidikan Islam, pendidikan multikultural tidak dapat dilepaskan dengan konsep pluralisme. Pola pendidikan semacam ini berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis secara agama, sekaligus berwawasan multikultural. Dalam kerangka yang lebih jauh, konstruksi pendidikan Islam multikultural dapat diposisikan sebagai bagian dari upaya secara komprehensif dan sistematis untuk mencegah dan menanggulangi konflik etnis agama, radikalisme agama, separatisme, dan integrasi bangsa. Nilai dasar dari konsep pendidikan ini adalah toleransi.
Implementasi pendidikan berbasis multikultural di pesantren, madrasah dan sekolah dapat dimulai dengan pengembangan kurikulum yang mengadopsi nilai-nilai multikultural seperti perdamaian, toleransi dan hak asasi manusia. Kurikulum pendidikan berbasis multikultural juga merupakan sebuah kurikulum yang mengacu pada keragaman budaya. Kurikulum tersebut senantiasa mengeksplorasi perbedaan sebagai sebuah keniscayaan.
Meski demikian, mengimplementasikan pendidikan multikultural di pesantren atau madrasah mungkin saja akan mengalami hambatan atau kendala dalam pelaksanaannya. Zuriyani mengemukakan beberapa hal yang harus mendapat perhatian dan sejak awal perlu diantisipasi antara lain sebagai berikut:
1. Perbedaan Persepsi terhadap Pendidikan Multikultural
Perbedaan pemaknaan akan menyebabkan perbedaan dalam mengimplementasikannya. Multikultural sering dimaknai orang hanya sebagai multi etnis sehingga bila di sekolah mereka ternyata siswanya homogen etnisnya, maka dirasa tidak perlu memberikan pendidikan multikultural pada mereka. Padahal pengertian pendidikan multikultural lebih luas dari itu mencakup arti dan tujuan untuk mencapai sikap toleransi, menghargai keragaman, dan perbedaan, menghargai HAM, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menyukai hidup damai, dan demokratis.
2. Fenomena Diskontinuitas Nilai Budaya
Dalam pendidikan multikultural yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan sering terjadi diskontinuitas nilai budaya. Peserta didik memiliki latar belakang sosiokultural di masyarakatnya sangat berbeda dengan yang terdapat di sekolah sehingga mereka mendapat kesulitan dalam beradaptasi di lingkungan sekolah. Dalam hal inilah tugas pendidikan, khususnya sekolah dan madrasah menjadi cukup berat. Oleh karena itu, berbagai unsur pelaku pendidikan di sekolah, baik itu guru, kepala sekolah, staf, bahkan orangtua dan tokoh masyarakat perlu memahami secara saksama tentang latar belakang sosiokultural peserta didik sampai pada tipe kemampuan berpikir dan kemampuan menghayati sesuatu dari lingkungan yang ada pada peserta didik.
3. Rendahnya Komitmen dari Berbagai Pihak
Keberhasilan implementasi pendidikan multikultural sangat tergantung dari pada seberapa besar keinginan dan kepedulian masyarakat sekolah untuk melaksanakannya, khususnya adalah guru-guru. Hal ini dikarenakan pendidikan multikultural merupakan proses yang komprehensif sehingga menuntut komitmen yang kuat dari berbagai komponen pendidikan di sekolah atau madrasah.
Bila berbagai elemen yang terlibat dalam pendidikan menyadari akan hal ini, maka sebenarnya komitmen tinggi untuk pelaksanaan pendidikan multikultural akan mudah dicapai sebab dalam pendidikan multikultural, nilai-nilai masyarakat madani ingin ditanamkan pada siswa sejak dini. Hal ini terkait dengan arah kebijakan pendidikan di Indonesia di masa mendatang yang menghendaki terwujudnya masyarakat madani, yaitu masyarakat yang lebih demokratis, egaliter, menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan persamaan, serta menghormati perbedaan.
4. Kebijakan-kebijakan yang Lebih Menyukai Keseragaman
Sudah sejak lama kebijakan pendidikan atau yang terkait dengan kepentingan pendidikan selalu diseragamkan, baik yang berwujud benda maupun konsep-konsep. Dengan adanya kondisi ini, maka para pelaku di sekolah cenderung suka pada keseragaman dan sulit menghargai perbedaan. Sistem pendidikan yang sudah sejak lama bersifat sentralistis, berpengaruh pula pada sistem perilaku dan tindakan orang-orang yang ada di dunia pendidikan tersebut sehingga sulit menghargai dan mengakui keragaman dan perbedaan.
Dengan berbagai tantangan yang dihadapi, madrasah memiliki potensi untuk bisa mengembangkan pendidikan multikultural yang didasarkan pada landasan teologis dan realitas sosioetnis yang ada di negeri ini. Kelebihan madrasah dalam mengintensifkan pendidikan multikultural adalah surplusnya muatan keagamaan dalam kurikulum yang diterapkan. Diharapkan bonus konten kurikulum ini dapat dijadikan upaya intensifikasi pemahaman keagamaan yang lebih inklusif dan toleran. Hal ini dapat diimplementasikan dengan cara mengintegrasikan berbagai materi pelajaran dengan konsep multikulturalisme yang dilandasi keyakinan teologis yang lebih terbuka.
Menurut Tilaar (2004) dan Benni (2006) pendidikan multikultural memiliki dimensi sebagai berikut:
1. Right to culture dan identitas budaya lokal
Multikulturalisme didorong oleh pengakuan terhadap hak asasi manusia. Akan tetapi, akibat globalisasi pengakuan tersebut diarahkan juga pada hak-hak lain, yaitu hak akan kebudayaan (right to culture). Lahirnya identitas kesukuan sebagai perkembangan budaya mikro di Indonesia memerlukan masa transisi, yaitu seakan-akan menurunnya rasa kebangsaan dan persatuan Indonesia. Hal ini dapat dimengerti karena yang disebut budaya Indonesia sebagai budaya mainstream belum jelas bagi kita. Identitasi budaya makro, yaitu budaya Indonesia yang sedang menjadi harus terus-menerus dibangun atau merupakan proses yang tanpa ujung.
2. Kebudayaan indonesia yang menjadi
Maksud kebudayaan Indonesia yang menjadi adalah suatu pegangan dari setiap insan dan setiap identitas budaya mikro Indonesia. Hal tersebut merupakan sistem nilai baru yang kemudian memerlukan proses yang perwujudannya melalui proses dalam pendidikan nasional. Oleh sebab itu, di tengah-tengah maraknya identitas kesukuan, sekaligus ditekankan sistem nilai baru yang akan diwujudkan, yaitu sistem nilai keindonesiaan. Hal tersebut tidak mudah karena memerlukan paradigm shift dalam proses pendidikan bangsa Indonesia.
3. Pendidikan multikultural yang normatif
Konsep pendidikan multikultural normatif adalah konsep yang dapat dibunakan untuk mewujudkan cita-cita. Konsep pendidikan multikultural normatif diharapkan mampu memperkuat identitas suatu suku yang kemudian dapat menyumbangkan bagi terwujudnya kebudayaan Indonesia yang dimiliki oleh seluruh bangsa Indonesia.
4. Pendidikan multikultural rekonstruksi sosial
Suatu rekonstruksi sosial, artinya upaya untuk melihat kembali kehidupan sosial yang ada saat ini. Salah satu masalah yang timbul akibat berkembangnya rasa kedaerahan, identitas kesukuan, dari perseorangan ataupun suatu suku bangsa Indonesia telah menimbulkan rasa kelompok yang berlebihan. Semua ini akan menyebabkan pergeseran-pergeseran horizontal yang tidak dikenal sebelumnya.
5. Pendidikan multikultural di indonesia memerlukan pedagogik baru
Pedagogik tradisional membatasi proses pendidikan dalam ruangan sekolah yang sarat dengan pendidikan intelektualistik. Adapun kehidupan sosial-budaya di Indonesia menuntut pendidikan hati (pedagogy of heart), yaitu diarahkan pada rasa persatuan dari bangsa Indonesia yang pluralistis.
6. Pendidikan multikultural bertujuan untuk mewujudkan visi indonesia masa depan serta etika berbangsa.
TAP/MPR RI Tahun 2001 No. VI dan VII mengenai visi Indonesia masa depan serta etika kehidupan berbangsa perlu dijadikan pedoman yang sangat berharga dalam pengembangan konsep Pendidikan Multikultural. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan menghidupkan kembali pendidikan budi pekerti terutama ditingkat pendidikan dasar, melengkapi pendidikan agama yang sudah ditangani dengan UU No. 20 Tahun 2003 (UUSPN 2003).
1. Unsur kebudayaan
Pembelajaran tidak terlepas dari usur kebudayaan karena, kebudayaan merupakan suatu keseluruhan yang kompleks, kebudayaan merupakan prestasi manusia yang material, kebudayaan dapat berbentuk fisik, kebudayaan dapat berbentuk perilaku, kebudayaan merupakan realitas yang objektif, dan kebudayaan tidak terwujud dalam kehidupan manusia yang terasing.
Berdasarkan nilai-nilai kebudayaan yang beragam, kompleks dan terintegrasi, proses pembelajaran harus menggunakan multidisipliner, seperti filsafat, sosiologi, antropologi, biologi, psikologi, dan komunikasi.
2. Keanekaragaman budaya yang ada di masyarakat
Keanekaragaman budaya yang ada di masyarakat harus dijadikan dasar pengayaan dalam pembelajaran sehingga guru harus menciptakan “belajar untuk hidup bersama dalam damai dan harmoni” sesuai dengan salah satu pilar belajar dan UNESCO, yaitu learning to live together.
3. Peran guru dalam menerapkan nilai-nilai sebagai inti kebudayaan
Peran guru dalam menerapkan nilai-nilai sebagai inti kebudayaan adalah menjadi model, menciptakan masyarakat bermoral, mempraktikkan disiplin moral, menciptakan situasi demokrasi, mewujudkan nilai-nilai melalui kurikulum, menciptakan budaya kerjasama, menumbuhkan kesadaran karya, mengembangkan refleksi moral, dan mengajarkan revolusi konflik.
Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan berfungsi menanamkan kesadaran di kalangan generasi muda akan identitas dirinya, identitas kolektifnya, serta menumbuhkan calon warga negara yang baik dan terpelajar dalam masyarakat yang homogen atau mejemuk. Sementara itu, guru berfungsi untuk melatih dan mendisiplinkan pikiran peserta didik, memberikan pendidikan moral dan agama, menanamkan kesadaran nasionalisme dan patriotisme, menjadi warga negara yang baik. Untuk itu, peran guru dan pihak sekolah diperlukan memenuhi berbagai kebutuhan peserta didik, antara lain sebagai berikut:
1. Membangun Paradigma Keberagaman
Guru memiliki paradigma pemahaman keberagaman yang moderat akan mampu mengajarkan dan mengimplementasikan nilai-nilai keberagaman kepada peserta didik di sekolah. Peran guru dalam hal ini, yaitu; (a) Guru harus mampu bersikap demokratis. Artinya, dalam segala tingkah lakunya, baik sikap maupun perkataannya tidak diskriminatif (bersikap tidak adil atau menyinggung) peserta didik yang menganut agama yang berbeda dengannya. (b) Guru seharusnya memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kejadiankejadian tertentu yang berhubungan dengan agama.
2. Menghargai Keragaman Bahasa
Guru harus memiliki sikap menghargai “keragaman bahasa” dan mempraktikkan nilai-nilai tersebut di sekolah sehingga dapat membangun sikap peserta didik agar mereka selalu menghargai orang lain yang memiliki bahasa, aksen, dan dialek yang berbeda. Oleh karena itu, guru harus menunjukkan sikap dan tingkah laku yang selalu menghargai perbedaan bahasa yang ada.
3. Membangun Sensitivitas Gender
Guru dituntut untuk memiliki peran dalam membangun kesadaran peserta didik terhadap nilai-nilai kesadaran gender dan sikap anti diskriminasi terhadap kaum perempuan di sekolah dengan cara; (a) Guru harus memiliki wawasan yang cukup tentang kesetaraan gender. (b) Guru harus mampu mempraktikkan nilai-nilai keadilan gender secara langsung di kelas atau di sekolah. (c)Sensitif terhadap permasalahan gender di dalam ataupun di luar kelas.
4. Membangun Sikap Kepedulian Sosial
Guru dan sekolah berperan mengembangkan sikap peduli dan kritis siswa terhadap segala bentuk ketidakadilan sosial, ekonomi dan politik yang ada di dalam maupun di luar lingkungan sekolah. Olehnya itu gutu harus memiliki wawasan yang cukup tentang berbagai macam fenomena sosial yang ada di lingkungan para peserta didiknya, terutama yang berkaitan dengan masalah kemiskinan, pengangguran, para siswa yang tidak dapat melanjutkan sekolah, korupsi, penggusuran, dan lain-lain. Selain itu guru juga harus dapat menerapkan sikap tersebut di sekolah atau di kelas, dengan cara bersikap adil kepada seluruh siswa tanpa harus mengistimewakan salah satu dari mereka meskipun latar belakang status sosial berbeda.
5. Membangun Sikap Anti Diskriminasi Etnis
Guru berperan dalam menumbuhkan sensitivitas anti diskriminasi terhadap etnis lain di sekolah. Oleh sebab itu guru dituntut untuk; (a) Memiliki pemahaman dan wawasan yang cukup tentang sikap anti diskriminasi etnis sehingga dapat memberikan contoh secara langsung melalui sikap dan perilakunya. (b) Memberikan perlakuan adil terhadap seluruh peserta didik yang ada.
6. Membangun Sikap Anti Diskriminasi terhadap Perbedaan Kemampuan
Pada aspek ini guru sebagai penggerak utama kesadaran peserta didik agar selalu menghindari sikap yang diskriminatif terhadap perbedaan kemampuan peserta didik, baik di dalam maupun di luar kelas dengan memberikan contoh langsung kepada peserta didik.
Demikian pula, sekolah harus mampu menjadi institusi yang membangun sikap peserta didik yang selalu menghargai orang lain yang memiliki kemampuan berbeda dengan cara; (a) Membuat dan menerapkan peraturan sekolah yang menekankan bahwa sekolah menerima para peserta didik yang “normal” dan memiliki kemampuan berbeda. (b) Menyediakan pelayanan khusus, seperti guru dengan keterampilan khusus untuk menangani peserta didik yang memiliki perbedaan kemampuan dan menyediakan fasilitas khusus, seperti ruangan khusus, tempat duduk khusus atau fasilitas khusus lainnya. (c) Memberikan pelatihan bagi guru-guru dan staf tentang cara bersikap dan cara menghadapi peserta didik yang memiliki perbedaan kemampuan di sekolah tersebut.
7. Membangun Sikap Anti Diskriminasi Umur
Sekolah seharusnya menerapkan peraturan yang intinya menyatakan bahwa segala bentuk diskriminasi terhadap umur tentu dilarang keras di sekolah dan mewajibkan kepada peserta didik untuk selalu saling memahami dan menghormati perbedaan umur yang ada di sekitar mereka. Sekolah sebaiknya tidak memberikan batasan umur tertentu bagi seseorang yang akan masuk dan belajar di sekolah tersebut apabila yang bersangkutan memiliki kemampuan dan kemauan seperti yang telah diatur dalam undang-undang sekolah atau negara.
Daftar Pustaka
Azyumardi Azra, Merawat Kemajemukan, Merawat Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. 2007
Erlan Muliadi, “Urgensi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di Sekolah,” Jurnal Pendidikan Islam Volume I, Nomor 1, (2012)
Abdul,Mujib.Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Penada Media. 2006
Harun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam. Cet. II; Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2001.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Cet. III; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999.
Abdullah Idi, Sosiologi Pendidikan. Jakarta : Rajagarafindo Persada, 2011.
H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan. Jakarta: Grasindo, 2004.
M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, Pendidikan Multikultural: Suatu Upaya Penguatan Jati Diri Bangsa, Konsep, Prinsip, dan Implementasi. Bandung: Pustaka Setia, 2015.
Elsy Zuriyani, Website BDK Palembang “Implementasi Pendidikan Multikultural pada Mata Pelajaran IPA MI,” http://bdkpalembang.kemenag.go.id/elsy1/. (1 Agustus 2017)
Untuk menjadikan masyarakat bangsa Indonesia yang berwawasan multikultural maka, jalan yang paling ampuh adalah melalui dunia pendidikan, baik itu pendidikan pesantren, madrasah dan sekolah. Hal ini dikarenakan dunia pendidikanlah yang dapat merubah mindset berpikiri manusia, seperti merubah mindset berpikir monokultural menuju kepada multi-kultural.
A. Pengertain Pesantren, Madrasah dan Sekolah
1. Pesantren
Istilah pesantren bisa disebut pondok saja atau kata ini digabungkan menjadi pondok pesantren, secara esensial, semua istilah ini menggabungkan makna yang sama. Sesuai dengan namanya, pondok berarti tempat tinggal/menginap (asrama), dan pesantren berarti tempat para santri mengkaji agama islam dan sekaligus di asramakan.
Menurut M.Arifin (1991) dikutip oleh Mujamil Qomar. Pondok pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) dimana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada dibawah kedaulatan dari leader ship seorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal. Penggunaan gabungan kedua istilah antara pondok dengan pesantren menjadi pondok pesantren, sebenarnya lebih mengakomodasikan karakter keduanya. Namun penyebutan pondok pesantren kurang jami’ ma’ni (singkat padat). Selagi perhatiannya dapat diwakili istilah yang lebih singkat, karena orang lebih cenderung mempergunakan yang pendek. Maka pesantren dapat digunakan untuk menggantikan pondok atau pondok pesantren.
Menurut Abdul Mujib (2006), pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan islam yang didalamnya terdapat seorang kiai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (peserta didik) dengan sarana masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan terebut, serta didukung adanya pemondokan atau asrama sebagai tempat tinggal para santri.
2. Madrasah
Istilah madrasah berasal dari dunia Islam Timur Tengah yang berkembang sekitar ke-10 M, yang diklaim sebagai simbol kebangkitan kaum Sunni. Istilah ini kemudian diadopsi oleh umat Islam di Indonesia. Bahkan, telah menjadi salah satu wujud dari etnis budaya Indonesia, yang dengan sendirinya mengalami proses sosialisasi yang relatif insentif. Indikasinya adalah wujud intentitas budaya ini telah diakui dan diterima kehadirannya di Indonesia.
Secara etimologis, kata madsarah merupakan isim makna dari kata darasa yang berarti “tempat duduk untuk belajar”. Di Indonesia, istilah madrasah telah menyatu dengan istilah sekolah atau perguruan, khususnya yang bernuansa Islam. Dengan demikian, secara harfiah, kata madrasah memiliki kesamaan arti dengan sekolah agama. Setelah mengarungi perjalanan peradaban bangsa, diakui telah mengalami perubahan-perubahan, walaupun tidak melepaskan diri dari makna asal sesuai dengan ikatan budayanya, yakni budaya Islam.
3. Sekolah
Kata sekolah berasal dari bahasa latin, yakni skhole, scolae, skhoe atau scolae yang memiliki arti waktu luang atau waktu senggang, dimana ketika itu sekolah adalah kegiatan diwaktu luang bagi anak-anak ditengah kegiatan mereka, yakni bermain dan menghabiskan waktu menikmati masa anak-anak dan remaja. Kegiatan dalam waktu luang adalah mempelajari cara berhitung, secara membaca huruf dan mengenal tentang moral (budi pekerti) dan estetika (seni). Utuk mendampingi dalam kegiatan scola anak-anak didampingi oleh orang ahli dan mengerti tentang psikologi anak, sehingga memeberikan kesempatan-kesempatan yang sebebsar-besarnya kepada anak – anak untuk menciptakan sendiri dunianya melalui berbagai pelajaran diatas.
Kini, kata sekolah dikatakan sunarto (1993), telah berubah berupa bangunan atau lembaga untuk belajar dan serta tempat memberi dan menerima pelajaran,. Sekolah dipimpin oleh seorang kepala sekolah, dan kepala sekolah dibantu oleh wakil kepala sekolah, jumlah kepala sekolah bisa berbeda pada tiap sekolahanya, tergantung dengan kebutuhan. Bangunan sekolah disusun meninggi untuk memenfaatkan tanah yang tersedia dan dapat diisi dengna fasilitas yang lain. Ketersidiaan sarana pada suatu sekolah memiliki peranan penting dalam terlaksanakan proses pendidikan.
Sekolah adalah sebuah lembaga yang dirancang untuk pengajaran siswa atau murid di bawah pengawasan pendidik (guru). sebagian besar negara memiliki sistem pendidikan formal, yang umumnya wajib, dalam upaya menciptakan anak didik agar mengalami kemajuan setelah melalui proses pembelajaran. Nama- nama sekolah ini berfariasi menurut negara, tetapi umumnya termasuk sekolah dasar untuk anak – anak muda dan sekolah menengah untuk remaja yang telah menyelesaikan sekolah dasar.
B. Implementasi Pendidikan Berbasis Multikultural di Pesantren, Madrasah, dan Sekolah
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, Islam memandang posisi umat agama lain sebagai sesama bagian warga bangsa yang terikat oleh komitmen kebangsaan sehingga harus hidup berdampingan secara damai, bukan posisi sebagai kelompok lain yang harus diperangi. Sehingga dalam perspektif Islam, kelompok umat agama lain adalah merupakan sama-sama warga bangsa yang tidak boleh diperangi atau dimusuhi. Bahkan ada sebuah hadis Nabi yang menyatakan bahwa "barangsiapa yang membunh non muslim yang hidup berdampingan secara damai, maka tidak akan memperoleh bau surga". Dalam merajut kebersamaan berbangsa dan bernegara ini, landasan teologis ini juga diajarkan oleh agama-agama lainnya. Sehingga landasan teologis ini seharusnya menjadi acuan dalam hubungan antar umat beragama dan antar warga negara di negeri ini.
Paradigma pendidikan multikultural (multicultural educational paradigm) merupakan tindak lanjut dari strategi pendidikan multukultural dan pengembangan dari studi interkultural dan multikulturalisme yang sejak lama sudah berkembang di Amerika, Eropa, dan negara-negara maju lainnya. Pendidikan multikultural merupakan strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada peserta didik, seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, jender, kelas sosial, ras, kemampuan dan umur agar proses belajar menjadi efektif dan mudah.
Jackson menyatakan bahwa pendidikan agama membutuhkan keterampilan penafsiran, kritik dan dialog untuk mengakses sumber informasi. partisipasi dalam perdebatan yang relevan menghubungkan dunia sosial dengan dunia individu dan merupakan bentuk komunikasi antar agama dan antar budaya yang dibutuhkan untuk demokrasi yang plural. Sekolah negeri merupakan tempat yang cocok untuk eksplorasi semacam ini untuk mengembangkan pluralitas dan pluralism secara epistemologis.
Sementara itu, Nieto dan Bode menegaskan bahwa dalam kerangka reformasi sekolah, pendidikan multikultural berpengaruh besar dalam proses dan tujuan belajar seorang siswa. Untuk menerapkan reformasi sekolah dengan perspektif multikultural, kita harus memulai dengan pemahaman tentang pendidikan multicultural dalam konteks sosiopolitik. Konteks ini menempatkan pendidikan sebagai bagian dari ranah sosial dan kekuatan politik yang lebih besar. Dalam perspektif ini, kebijakan yang terkait dengan reformasi kurikulum dan pendidikan dipengaruhi oleh kebijakan sosial yang lebih luas.
Pendidikan agama memiliki kontribusi yang penting dalam pendidikan antarbudaya, pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan nilai, terutama dalam memahami berbagai aspek pluralitas sosial dalam hubungannya dengan pengalaman individual seorang siswa. Kemajemukan sosial ini mengkombinasian antara dimensi tradisional dengan modern atau postmodern, juga menghubungkan elemen lokal, nasional dan global. Dengan ikut serta dalam berbagai diskusi tentang isu terkait, seorang siswa dapat terbantu untuk menguji asumsi dirinya sendiri maupun teman-temannya dan merefleksikan identitas mereka sendiri.
Dalam perspektif pendidikan Islam, pendidikan multikultural tidak dapat dilepaskan dengan konsep pluralisme. Pola pendidikan semacam ini berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis secara agama, sekaligus berwawasan multikultural. Dalam kerangka yang lebih jauh, konstruksi pendidikan Islam multikultural dapat diposisikan sebagai bagian dari upaya secara komprehensif dan sistematis untuk mencegah dan menanggulangi konflik etnis agama, radikalisme agama, separatisme, dan integrasi bangsa. Nilai dasar dari konsep pendidikan ini adalah toleransi.
Implementasi pendidikan berbasis multikultural di pesantren, madrasah dan sekolah dapat dimulai dengan pengembangan kurikulum yang mengadopsi nilai-nilai multikultural seperti perdamaian, toleransi dan hak asasi manusia. Kurikulum pendidikan berbasis multikultural juga merupakan sebuah kurikulum yang mengacu pada keragaman budaya. Kurikulum tersebut senantiasa mengeksplorasi perbedaan sebagai sebuah keniscayaan.
Meski demikian, mengimplementasikan pendidikan multikultural di pesantren atau madrasah mungkin saja akan mengalami hambatan atau kendala dalam pelaksanaannya. Zuriyani mengemukakan beberapa hal yang harus mendapat perhatian dan sejak awal perlu diantisipasi antara lain sebagai berikut:
1. Perbedaan Persepsi terhadap Pendidikan Multikultural
Perbedaan pemaknaan akan menyebabkan perbedaan dalam mengimplementasikannya. Multikultural sering dimaknai orang hanya sebagai multi etnis sehingga bila di sekolah mereka ternyata siswanya homogen etnisnya, maka dirasa tidak perlu memberikan pendidikan multikultural pada mereka. Padahal pengertian pendidikan multikultural lebih luas dari itu mencakup arti dan tujuan untuk mencapai sikap toleransi, menghargai keragaman, dan perbedaan, menghargai HAM, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menyukai hidup damai, dan demokratis.
2. Fenomena Diskontinuitas Nilai Budaya
Dalam pendidikan multikultural yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan sering terjadi diskontinuitas nilai budaya. Peserta didik memiliki latar belakang sosiokultural di masyarakatnya sangat berbeda dengan yang terdapat di sekolah sehingga mereka mendapat kesulitan dalam beradaptasi di lingkungan sekolah. Dalam hal inilah tugas pendidikan, khususnya sekolah dan madrasah menjadi cukup berat. Oleh karena itu, berbagai unsur pelaku pendidikan di sekolah, baik itu guru, kepala sekolah, staf, bahkan orangtua dan tokoh masyarakat perlu memahami secara saksama tentang latar belakang sosiokultural peserta didik sampai pada tipe kemampuan berpikir dan kemampuan menghayati sesuatu dari lingkungan yang ada pada peserta didik.
3. Rendahnya Komitmen dari Berbagai Pihak
Keberhasilan implementasi pendidikan multikultural sangat tergantung dari pada seberapa besar keinginan dan kepedulian masyarakat sekolah untuk melaksanakannya, khususnya adalah guru-guru. Hal ini dikarenakan pendidikan multikultural merupakan proses yang komprehensif sehingga menuntut komitmen yang kuat dari berbagai komponen pendidikan di sekolah atau madrasah.
Bila berbagai elemen yang terlibat dalam pendidikan menyadari akan hal ini, maka sebenarnya komitmen tinggi untuk pelaksanaan pendidikan multikultural akan mudah dicapai sebab dalam pendidikan multikultural, nilai-nilai masyarakat madani ingin ditanamkan pada siswa sejak dini. Hal ini terkait dengan arah kebijakan pendidikan di Indonesia di masa mendatang yang menghendaki terwujudnya masyarakat madani, yaitu masyarakat yang lebih demokratis, egaliter, menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan persamaan, serta menghormati perbedaan.
4. Kebijakan-kebijakan yang Lebih Menyukai Keseragaman
Sudah sejak lama kebijakan pendidikan atau yang terkait dengan kepentingan pendidikan selalu diseragamkan, baik yang berwujud benda maupun konsep-konsep. Dengan adanya kondisi ini, maka para pelaku di sekolah cenderung suka pada keseragaman dan sulit menghargai perbedaan. Sistem pendidikan yang sudah sejak lama bersifat sentralistis, berpengaruh pula pada sistem perilaku dan tindakan orang-orang yang ada di dunia pendidikan tersebut sehingga sulit menghargai dan mengakui keragaman dan perbedaan.
Dengan berbagai tantangan yang dihadapi, madrasah memiliki potensi untuk bisa mengembangkan pendidikan multikultural yang didasarkan pada landasan teologis dan realitas sosioetnis yang ada di negeri ini. Kelebihan madrasah dalam mengintensifkan pendidikan multikultural adalah surplusnya muatan keagamaan dalam kurikulum yang diterapkan. Diharapkan bonus konten kurikulum ini dapat dijadikan upaya intensifikasi pemahaman keagamaan yang lebih inklusif dan toleran. Hal ini dapat diimplementasikan dengan cara mengintegrasikan berbagai materi pelajaran dengan konsep multikulturalisme yang dilandasi keyakinan teologis yang lebih terbuka.
C. Pendidikan Multikultural dalam Dimensi Pendidikan Nasional
Menurut Tilaar (2004) dan Benni (2006) pendidikan multikultural memiliki dimensi sebagai berikut:
1. Right to culture dan identitas budaya lokal
Multikulturalisme didorong oleh pengakuan terhadap hak asasi manusia. Akan tetapi, akibat globalisasi pengakuan tersebut diarahkan juga pada hak-hak lain, yaitu hak akan kebudayaan (right to culture). Lahirnya identitas kesukuan sebagai perkembangan budaya mikro di Indonesia memerlukan masa transisi, yaitu seakan-akan menurunnya rasa kebangsaan dan persatuan Indonesia. Hal ini dapat dimengerti karena yang disebut budaya Indonesia sebagai budaya mainstream belum jelas bagi kita. Identitasi budaya makro, yaitu budaya Indonesia yang sedang menjadi harus terus-menerus dibangun atau merupakan proses yang tanpa ujung.
2. Kebudayaan indonesia yang menjadi
Maksud kebudayaan Indonesia yang menjadi adalah suatu pegangan dari setiap insan dan setiap identitas budaya mikro Indonesia. Hal tersebut merupakan sistem nilai baru yang kemudian memerlukan proses yang perwujudannya melalui proses dalam pendidikan nasional. Oleh sebab itu, di tengah-tengah maraknya identitas kesukuan, sekaligus ditekankan sistem nilai baru yang akan diwujudkan, yaitu sistem nilai keindonesiaan. Hal tersebut tidak mudah karena memerlukan paradigm shift dalam proses pendidikan bangsa Indonesia.
3. Pendidikan multikultural yang normatif
Konsep pendidikan multikultural normatif adalah konsep yang dapat dibunakan untuk mewujudkan cita-cita. Konsep pendidikan multikultural normatif diharapkan mampu memperkuat identitas suatu suku yang kemudian dapat menyumbangkan bagi terwujudnya kebudayaan Indonesia yang dimiliki oleh seluruh bangsa Indonesia.
4. Pendidikan multikultural rekonstruksi sosial
Suatu rekonstruksi sosial, artinya upaya untuk melihat kembali kehidupan sosial yang ada saat ini. Salah satu masalah yang timbul akibat berkembangnya rasa kedaerahan, identitas kesukuan, dari perseorangan ataupun suatu suku bangsa Indonesia telah menimbulkan rasa kelompok yang berlebihan. Semua ini akan menyebabkan pergeseran-pergeseran horizontal yang tidak dikenal sebelumnya.
5. Pendidikan multikultural di indonesia memerlukan pedagogik baru
Pedagogik tradisional membatasi proses pendidikan dalam ruangan sekolah yang sarat dengan pendidikan intelektualistik. Adapun kehidupan sosial-budaya di Indonesia menuntut pendidikan hati (pedagogy of heart), yaitu diarahkan pada rasa persatuan dari bangsa Indonesia yang pluralistis.
6. Pendidikan multikultural bertujuan untuk mewujudkan visi indonesia masa depan serta etika berbangsa.
TAP/MPR RI Tahun 2001 No. VI dan VII mengenai visi Indonesia masa depan serta etika kehidupan berbangsa perlu dijadikan pedoman yang sangat berharga dalam pengembangan konsep Pendidikan Multikultural. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan menghidupkan kembali pendidikan budi pekerti terutama ditingkat pendidikan dasar, melengkapi pendidikan agama yang sudah ditangani dengan UU No. 20 Tahun 2003 (UUSPN 2003).
D. Dasar-dasar Pendidikan Multikultural di Pesantren, Madrasah dan Sekolah
1. Unsur kebudayaan
Pembelajaran tidak terlepas dari usur kebudayaan karena, kebudayaan merupakan suatu keseluruhan yang kompleks, kebudayaan merupakan prestasi manusia yang material, kebudayaan dapat berbentuk fisik, kebudayaan dapat berbentuk perilaku, kebudayaan merupakan realitas yang objektif, dan kebudayaan tidak terwujud dalam kehidupan manusia yang terasing.
Berdasarkan nilai-nilai kebudayaan yang beragam, kompleks dan terintegrasi, proses pembelajaran harus menggunakan multidisipliner, seperti filsafat, sosiologi, antropologi, biologi, psikologi, dan komunikasi.
2. Keanekaragaman budaya yang ada di masyarakat
Keanekaragaman budaya yang ada di masyarakat harus dijadikan dasar pengayaan dalam pembelajaran sehingga guru harus menciptakan “belajar untuk hidup bersama dalam damai dan harmoni” sesuai dengan salah satu pilar belajar dan UNESCO, yaitu learning to live together.
3. Peran guru dalam menerapkan nilai-nilai sebagai inti kebudayaan
Peran guru dalam menerapkan nilai-nilai sebagai inti kebudayaan adalah menjadi model, menciptakan masyarakat bermoral, mempraktikkan disiplin moral, menciptakan situasi demokrasi, mewujudkan nilai-nilai melalui kurikulum, menciptakan budaya kerjasama, menumbuhkan kesadaran karya, mengembangkan refleksi moral, dan mengajarkan revolusi konflik.
E. Peranan Guru dan Sekolah dalam Penerapan Pendidikan Multikultural
Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan berfungsi menanamkan kesadaran di kalangan generasi muda akan identitas dirinya, identitas kolektifnya, serta menumbuhkan calon warga negara yang baik dan terpelajar dalam masyarakat yang homogen atau mejemuk. Sementara itu, guru berfungsi untuk melatih dan mendisiplinkan pikiran peserta didik, memberikan pendidikan moral dan agama, menanamkan kesadaran nasionalisme dan patriotisme, menjadi warga negara yang baik. Untuk itu, peran guru dan pihak sekolah diperlukan memenuhi berbagai kebutuhan peserta didik, antara lain sebagai berikut:
1. Membangun Paradigma Keberagaman
Guru memiliki paradigma pemahaman keberagaman yang moderat akan mampu mengajarkan dan mengimplementasikan nilai-nilai keberagaman kepada peserta didik di sekolah. Peran guru dalam hal ini, yaitu; (a) Guru harus mampu bersikap demokratis. Artinya, dalam segala tingkah lakunya, baik sikap maupun perkataannya tidak diskriminatif (bersikap tidak adil atau menyinggung) peserta didik yang menganut agama yang berbeda dengannya. (b) Guru seharusnya memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kejadiankejadian tertentu yang berhubungan dengan agama.
2. Menghargai Keragaman Bahasa
Guru harus memiliki sikap menghargai “keragaman bahasa” dan mempraktikkan nilai-nilai tersebut di sekolah sehingga dapat membangun sikap peserta didik agar mereka selalu menghargai orang lain yang memiliki bahasa, aksen, dan dialek yang berbeda. Oleh karena itu, guru harus menunjukkan sikap dan tingkah laku yang selalu menghargai perbedaan bahasa yang ada.
3. Membangun Sensitivitas Gender
Guru dituntut untuk memiliki peran dalam membangun kesadaran peserta didik terhadap nilai-nilai kesadaran gender dan sikap anti diskriminasi terhadap kaum perempuan di sekolah dengan cara; (a) Guru harus memiliki wawasan yang cukup tentang kesetaraan gender. (b) Guru harus mampu mempraktikkan nilai-nilai keadilan gender secara langsung di kelas atau di sekolah. (c)Sensitif terhadap permasalahan gender di dalam ataupun di luar kelas.
4. Membangun Sikap Kepedulian Sosial
Guru dan sekolah berperan mengembangkan sikap peduli dan kritis siswa terhadap segala bentuk ketidakadilan sosial, ekonomi dan politik yang ada di dalam maupun di luar lingkungan sekolah. Olehnya itu gutu harus memiliki wawasan yang cukup tentang berbagai macam fenomena sosial yang ada di lingkungan para peserta didiknya, terutama yang berkaitan dengan masalah kemiskinan, pengangguran, para siswa yang tidak dapat melanjutkan sekolah, korupsi, penggusuran, dan lain-lain. Selain itu guru juga harus dapat menerapkan sikap tersebut di sekolah atau di kelas, dengan cara bersikap adil kepada seluruh siswa tanpa harus mengistimewakan salah satu dari mereka meskipun latar belakang status sosial berbeda.
5. Membangun Sikap Anti Diskriminasi Etnis
Guru berperan dalam menumbuhkan sensitivitas anti diskriminasi terhadap etnis lain di sekolah. Oleh sebab itu guru dituntut untuk; (a) Memiliki pemahaman dan wawasan yang cukup tentang sikap anti diskriminasi etnis sehingga dapat memberikan contoh secara langsung melalui sikap dan perilakunya. (b) Memberikan perlakuan adil terhadap seluruh peserta didik yang ada.
6. Membangun Sikap Anti Diskriminasi terhadap Perbedaan Kemampuan
Pada aspek ini guru sebagai penggerak utama kesadaran peserta didik agar selalu menghindari sikap yang diskriminatif terhadap perbedaan kemampuan peserta didik, baik di dalam maupun di luar kelas dengan memberikan contoh langsung kepada peserta didik.
Demikian pula, sekolah harus mampu menjadi institusi yang membangun sikap peserta didik yang selalu menghargai orang lain yang memiliki kemampuan berbeda dengan cara; (a) Membuat dan menerapkan peraturan sekolah yang menekankan bahwa sekolah menerima para peserta didik yang “normal” dan memiliki kemampuan berbeda. (b) Menyediakan pelayanan khusus, seperti guru dengan keterampilan khusus untuk menangani peserta didik yang memiliki perbedaan kemampuan dan menyediakan fasilitas khusus, seperti ruangan khusus, tempat duduk khusus atau fasilitas khusus lainnya. (c) Memberikan pelatihan bagi guru-guru dan staf tentang cara bersikap dan cara menghadapi peserta didik yang memiliki perbedaan kemampuan di sekolah tersebut.
7. Membangun Sikap Anti Diskriminasi Umur
Sekolah seharusnya menerapkan peraturan yang intinya menyatakan bahwa segala bentuk diskriminasi terhadap umur tentu dilarang keras di sekolah dan mewajibkan kepada peserta didik untuk selalu saling memahami dan menghormati perbedaan umur yang ada di sekitar mereka. Sekolah sebaiknya tidak memberikan batasan umur tertentu bagi seseorang yang akan masuk dan belajar di sekolah tersebut apabila yang bersangkutan memiliki kemampuan dan kemauan seperti yang telah diatur dalam undang-undang sekolah atau negara.
Daftar Pustaka
Azyumardi Azra, Merawat Kemajemukan, Merawat Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. 2007
Erlan Muliadi, “Urgensi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di Sekolah,” Jurnal Pendidikan Islam Volume I, Nomor 1, (2012)
Abdul,Mujib.Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Penada Media. 2006
Harun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam. Cet. II; Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2001.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Cet. III; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999.
Abdullah Idi, Sosiologi Pendidikan. Jakarta : Rajagarafindo Persada, 2011.
H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan. Jakarta: Grasindo, 2004.
M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, Pendidikan Multikultural: Suatu Upaya Penguatan Jati Diri Bangsa, Konsep, Prinsip, dan Implementasi. Bandung: Pustaka Setia, 2015.
Elsy Zuriyani, Website BDK Palembang “Implementasi Pendidikan Multikultural pada Mata Pelajaran IPA MI,” http://bdkpalembang.kemenag.go.id/elsy1/. (1 Agustus 2017)