Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerita Santri Gaul dari Pondok Pesantren Al-Ikhlas

Cerita Santri Gaul dari Pondok Pesantren Al-Ikhlas
Dikejauhan sana, di ujung Pulau Dullah terdapat salah satu lembaga pendidikan Islam Terpadu. Itulah pondok pesantren al-Ikhlas yang sudah aktif mendidik santrinya sejak tahun 2002 silam. Saya sendiri merupakan salah satu diantara ribuan santri yang pernah sekolah di sana.

Di sanalah kisah saya dimulai, kisah tentang seorang Santri Gaul dari Pondok Pesantren. Istilah santri ini paling populer di Indonesia sejak sebelum kemerdekaan Indonesia. Sebutan santri ini digunakan untuk menyebut peserta didik yang sedang menimba ilmu di pondok pesantren. Sedangkan istilah santri gaul ini untuk santri yang bukan saja belajar agama Islam secara klasikal tetapi santri yang juga belajar secara modern dan selalu update informasi terbaru dari luar dan juga aktif dalam berbagai kegiatan organisasi dan kegiatan sosial kemasyarakatan. Itulah beberapa pengertian yang saya buat sendiri tentang santri.

Untuk pengertian saya cukupkan dulu sampai disini pembahasannya, saya akan ceritakan tentang kisah santri gaul yang berawal dari santri culun.

Santri Culun di SMP Terpadu Al-Ikhlas


Setelah tamat sekolah dasar, saya terinspirasi dengan sebuah tayangan televisi yang sempat saya nonton di rumah tetangga, kebetulan waktu itu di rumah kami tidak ada televisi, keluarga kami hidup dalam kesederhanaan saja, sehingga kami tak begitu banyak memiliki alat eletronik, salah satunya televisi yang di saat itu cukuplah mahal untuk ukuran tingkat ekonomi keluarga kami.

Kehidupan santri yang saya nonton itu membuat saya menjadi seperti ingin berada dalam tayangan tersebut, hidup di dalam asrama bersama banyak teman, dan segala aturan-aturan ketat yang ada di dalam acara reality show tersebut. Waktu itu saya termasuk anak yang super aktif, sehingga saya ingin banyak disibukkan dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Nah dalam tayangan tersebut terdapat berbagai macam kegiatan santri membuat saya terkagum-kagum. Sebenarnya yang membuat saya paling tertarik dengan kehidupan pesantren dalam tayangan itu karena ada seorang anak yang hampir sebaya dengan saya waktu itu, dia duduk terdiam di samping asrama dengan menggunakan celana kain, baju kaos, peci dan sarungnya yang hanya dia gantung di lehernya.

Sebenarnya yang saya lihat bukan anak itu saja, tetapi kesederhanaan anak itu beserta santri lainnya yang membuat saya berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan di sekolah Islam pondok pesantren.

Saya hampir dikirim ke pulau jawa dengan program beasiswa pendidikan di pondok pesantren. Kebetulan waktu itu (hingga sekarang) ayah saya adalah seorang NU kultur garis keras, sehingga beliau sangat mendorong untuk saya mengikuti program beasiswa tersebut. Namun sang ibu rasanya berat untuk melepaskan anaknya yang masih culun ini merantau ke tanah jawa yang jauh dari jangkauannya.

Bersamaan dengan tawaran beasiswa itu, ada satu lembaga pendidikan Islam pondok pesantren modern yang baru dibuka di daerah saya ini. Kebetulah ketua yayasan-nya masih kerabat dekat dengan sang ayah, sehingga saya disuruh untuk sekolah di sana saja. Semua keluarga sepakat itu termasuk saya yang mengenal dunia pesantren hanya lewat tayangan televisi.

Kesepakatan sudah dibuat bahwa saya harus sekolah di pesantren dari tingkat SMP/MTs hingga SMA/MA. Dalam diam saya membatin "semoga pesantren al-Ikhlas kehidupannya sama dengan yang saya lihat di tayangan televisi". Dan tanpa keraguan lagi, pada hari dan tanggal yang ditentukan saya diantar oleh keluarga ke pondok pesantren Al-Ikhlas yang terletak di desa Tamedan.

Hari minggu tanggal 22 juni 2002 adalah hari pertama saya dan teman-teman angkatan pertama menginjakkan kaki di pesantren yang terletak di ujung kecamatan Pulau Dullah Utara itu. Waktu itu daerah kami ini belum dimekarkan, sehingga kami semua masih berasal dari kabupaten yang satu yaitu Maluku Tenggara. Namun saat ini daerah kami ini sudah dimekarkan menjadi empat kabupaten dan satu kota. Pondok pesntaren Al-Ikhlas sendiri berada di daerah kota Tual.

Kami waktu itu anak-anak kecil yang masih culun semua, kami hanyalah anak tamatan SD yang belum mengenal komputer, leptop, hp, smartphone, dan gandget lainnya. Permainan kami masih tradisional sekali. Berbeda dengan anak zaman sekarang yang sudah dewasa sebelum menjadi anak-anak. Selain kami ada pula kakak kelas yang melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah atas, mereka adalah tamatan SMP/MTs yang kelihatan sudah agak dewasa melebihi kami yang masih kecil-kecil ini.

Hari-haripun berlalu, apa yang saya idamkan ternyata ada, walaupun waktu itu kami masih kekurangan ustadz dan ustadzah yang kesemuanya didatangkan dari pondok pesantren Darurrohman jakarta. Nanti pada angkatan berikutnya barulah ada ustadz dan ustadzah yang didatangkan dari pondok-pesntren lain di pulau jawa seperti pesantren gontor dan pondok pesantren lainnya.

Ciri khas NU yang sangat kental dengan ajaran aswaja (ahlussunnah wal jamaah) diterapkan di pondok pesantren Al-Ikhlas. Apa yang saya inginkan tentang kehidupan itu saya dapatkan disini, tentang anak sarungan, tentang kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler dan tentang pendidikan agama, semuanya lengkap di sini. Saya begitu berbahagia menjalani hari-hari bersama teman-teman, kakak kelas SMA, para ustadz dan ustadzah, para guru SMP dan SMA dan semua yang ada di sana.

Waktu berjalan begitu cepat tak terasa pada tahun 2004, saya sudah berada di kelas 3 SMP (sebutan saat ini kelas IX), saya mulai berkeinginan yang berbeda, saya merencanakan jika setelah menamatkan pendidikan menengah pertama saya melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah kejuruan. Keinginan saya ini karena ada dorongan dari teman-teman yang melihat saya yang mempunyai hobi mengotak atik barang-barang yang berhubungan dengan listrik (alat eletronik). Namun ketika keinginan itu saya utarakan kepada orang tua saya, mereka dengan tegas menolak itu, terlebih sang ibu, yang waktu itu mengatakan bahwa; Pesanten itukan pilihan kamu sejak dulu, maka selesaikan apa yang sudah kamu mulai, demi kebaikan dunia dan akhirat. Kalau fatwa begini sudah keluar, saya sebagai seorang anak hanya bisa mengambil sikap "sami'tu wa atho'tu" (saya dengar dan saya taat). Tidak ada sanggahan, usulan, saran atau kritikan lagi. Sayapun sadar bahwa itu adalah jalan yang saya pilih maka, harus saya selesaikan pendidikan dari jenjang smp hingga sma, sehingga pendidikan agama tidak terpotong di tengah jalan.

Santri Gaul di SMA Terpadu Al-Ikhlas


Ujian nasional SMP dan ujian Diniyah telah selsesai, kami diperbolehkan pulang sambil menunggu hasil ujian. Berselang beberapa minggu, kami diminta kembali ke sekolah untuk mendengar kelulusan. Dengan hati berdebar-debar kami menanti pengumuman itu diperdengarkan, dan ternyata semua peserta didik lulus dengan nilai yang baik.

Setelah mendengar kelulusan, ada beberapa teman yang tidak ingin lagi melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA di pondok pesantren ini, mereka lebih memilih untuk melanjutkannya di luar. Saya dengan beberapa orang teman, dengan pendirian yang kuat dan dorongan dari keluarga, serta nasihat dari para dewan guru, kami bertekad untuk melanjutkan pendidikan menengah atas di pondok pesantren.

Berawal dari kegiatan masa orientasi siswa baru saya mulai menunjukkan kemampuan dalam hal beretorika, di sinilah saya mulai diperhatikan oleh dewan guru, kalau waktu di SMP saya pernah menjadi juara kelas baik pelajaran diniyah maupun pelajaran umum, tetapi waktu itu saya belum begitu agresif.

Setelah kegiatan MOS kami menggunakan pakaian putih abu-abu dan mulai belajar di kelas yang berbeda. Ada teman lama yang keluar melanjutkan pendidikan di sma lain, mereka digantikan dengan teman baru yang baru masuk pesantren pada tingkat SMA. Kegiatan kepesantrenan berjalan mulai lancar setelah libur panjang dan penerimaan siswa baru. Berselang satu bulan proses pembelajaran, mulai ada wacana pembentukan ulang pengurus OSIS dan pengurus organisasi asrama.

Wacana itu menyebar luas dan sudah mulai diidekan  kemudian dianggedakan dan dilaksanakan pemilihan ketua osis secara demokrasi oleh seluruh siswa. Sedangkan pemilihan ketua pengurus asrama juga dilaksanakan di asrama. Semua berjalan dengan lancar, aman dan damai. saya dan beberapa orang teman ditunjuk menjadi pengurus organisasi asrama bidang ta'lim / Tarbiyah (pendidikan). Sedangkan di kepengurusan osis saya ditunjuk sebagai koordinator bidang organisasi.

Selain kedua organisasi extrakulikuler ini saya juga aktif sebagai anggota pramuka gugus depan Al-Ikhlas. Berbagai macam kegiatan kami laksanakan bersama mulai dari kegiatan asrama berupa pembinaan santri baru, sampai kegiatan-kegiatan organisasi osis di luar sekolah. Kami bersama teman-teman dari sma luar pernah mempelopori berdirinya organisasi keluarga OSIS se-kabupaten Maluku Tenggara.

Dari berbagai kegiatan-kegiatan ini saya belajar tentang organisasi dan berbagai hal yang mengembangkan pengetahuan saya, baik itu pengetahuan akademik, pengetahuan sosial kemasyarakatan.

Ketika berada di kelas 2 SMA saya terpilih menjadi ketua OSIS setelah bersaing dengan dua calon lainnya. Kegiatan pemilihan kami lakukan secara demokratis, mulai dari pendaftaran calon, kampanye, debat, penyampaian visi dan misi, sampai pada kegiatan pemilihan. Saya terpilih dengan suara terbanyak mengalahkan dua teman tersebut. Selain itu saya juga terpilih menjadi ketua ambalan penegak untuk gugus depan Al-Ikhlas, sekaligus terpilih sebagai ketua pengurus organisasi asrama.

Dalam satu tahun saya memegang tiga organisasi, untuk organisasi asrama saya mengkoordinir semua kegiatan asrama putra, baik smp maupun sma. Sedangkan pada organisasi pramuka saya bersama beberapa teman menangani semua kegiatan-kegiatan penegak dan penggalang.

Banyak kegiatan-kegiatan yang kami lakukan, sejak saya terpilih sebagai ketua di tiga organisasi tersebut. Karena saya memgang kendala penuh ditiga organisasi maka, tidak ada kegiatan yang bertabrakan. Semua berjalan sesuai dengan rencana yang telah kami buat saat rapat kerja.

Selama setahun saya menahkodai organisasi-organisasi di sekolah, kemudian di tahun berikut saya digantikan oleh adik kelas, karena masa jabatan telah selesai dan saya juga merupakan kelas persiapan ujian nasional. Namun di asrama saya masih dipercayakan sebagai ketua pengurus organisasi asrama. Semua kegiatan-kegiatan asrama masih saya dan teman-teman kelas tiga yang mengontrol. Kami juga selalu bermusyawarah dengan adik-adik kelas kami dalam penyesuaian kegiatan. Kami juga membimbing mereka dalam berorganisasi sehingga jika ada kekurangan dari mereka selalu kami berikan masukan yang baik.

Penutup


Di pondok pesantren Al-Ikhlas ada tiga lembaga pendidikan yaitu SMP, SMA, dan Diniyyah. Pendidikan diniyah dilakukan pada pagi hari setelah itu barulah kelas SMP dan SMA di mulai, sedangkan pada sore hari (ba'da ashar) ada lagi kelas diniyah. Dengan demikian maka, kelas diniyah dilaksanakan pada waktu pagi, sore, dan di asrama.

Di pesantren terdapat banyak kesan yang tersimpan hingga saat ini, yang paling berkesan dari kehidupan pesantren adalah kebersamaan kami yang hingga sekarang masih terpelihara dengan baik.

Begitulah kehidupan saya di pesantren bersama dengan teman-teman lainnya, terdapat begitu banyak suka dan duka yang kami lewat. Banyak cerita yang tidak saya tulis di sini, karena keterbatasan waktu. Insya Allah nanti saya ceritakan pada sesi selanjutnya.

Posting Komentar untuk "Cerita Santri Gaul dari Pondok Pesantren Al-Ikhlas"