Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kurnia

Kurnia

SEORANG gadis berdiri di trotoar depan pertokoan. Dia mengenakan rok mini dan kaus dengan garis leher yang menurun sehingga memperlihatkan belahan dadanya.  Jalanan kota yang disesaki kendaraan tak mengaburkan keanggunannya. Selalu saja ekor mata lelaki menangkap tubuhnya, kemudian membawanya dalam ruang fantasi mereka.


Gadis itu masih saja berdiri dengan tas cantik hitam di tangannya, sepertinya merk Hermes KW Super. Wajahnya teduh di tengah lalu lalang orang – orang kota, orang – orang yang penuh perhitungan. Tapi, tak ada yang tahu, tak seorang pun di jalanan itu, di kota besar padat penduduk itu, bahwa gadis itu bertopeng. Parasnya yang cantik menutupi kesedihan. Di balik bedak yang terpoles di wajahnya, ada sungai air mata. Ia adalah orang – orang yang terusir dari rumah.


Matanya menatap ke depan, tapi apapun yang terlihat di depannya sama sekali tak berarti. Karena pikirannya sedang melayang, melanglang buana ke suatu dimensi waktu: masa lalu yang kelam; penolakan-penolakan; ejekan; pem-bully-an dan trauma-trauma.


“Jangan main boneka, kamu lelaki, Wan!” Dan satu rim kulit milik ayahnya yang berkumis tebal melayang di belakang badannya. Sakit. Badannya memerah tanda bekas rim kulit. Memar itu hilang dalam beberapa hari, tapi sakit ingatan akibat kejadian itu belum hilang walaupun sudah dua dekade lebih lamanya. Ingatan itu menjadi kenangan pahit.


Kenangan itu seperti bayangan, mengikutinya diam-diam kemanapun dia pergi, dan terus mencari cela agar dapat muncul dan memeluknya. Membawanya melintasi waktu ke belakang. Dan dia benci itu. Sangat benci untuk mengingat hal-hal kelam dalam hidupnya.


“Wan.. Wan.. Wan.. Kamu itu saya beri nama Kurniawan!” Ia mengingat suara itu. Suara ayahnya. Dia benci. Tangannya meremas kuat tali tas.


Kurniawan. 30 tahun. Terlahir sebagai lelaki, dan kemudian dia merasa bahwa rohnya, jiwanya, adalah perempuan. Dia kemudian berperilaku dan berpakaian seperti perempuan. Masyarakat, budaya, agama, Negara dan masih banyak lagi - silakan tambahkan sendiri, menolaknya. 


Ya, menolaknya, walaupun ia sudah memangkas namanya menjadi: Kurnia. Dan dipanggil Nia, bukan Wan!

Penulis

Qhadafi Leisubun
Seorang aktivis sosial dan aktif dalam berbagai kegiatan kemanusiaan (fb.com/qhadafi.leisubun)

Posting Komentar untuk "Kurnia"