Menilik jejak sejarah Islam di Sulawesi Selatan, akan tetap diidentikkan dengan kehadiran tiga mubalig dari Minangkabau yaitu Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro, serta Datuk ri Patimang. Kehadiran mereka pada abad ke-17 M. Islam masuk ke Sulawesi Selatan sebetulnya telah ada semenjak abad ke- 16 M, akan tetapi penyebarannya belumlah demikian massif.
Umumnya sejarawan mencatat jika ke-3 datuk itulah pembawa ajaran Islam pertama di tanah Sulawesi Selatan. Nama mereka tertulis menjadi tokoh utama dalam penyebaran agama Islam. Akan tetapi, beberapa catatan serta peniggalan arkeologis mengatakan ada penyebaran Islam jauh sebelum ke-3 Datuk itu. Yaitu Sayyid Jamaluddin al- Akbar al-Husaini yang datang serta menyebarkan Islam di Wajo pada tahun 1320 M, tiga abad sebelum kehadiran Datuk Tellue’.
Tiga ulama ini begitu sampai di Sulawesi tidak secara langsung berdakwah, namun terlebih dulu membuat taktik dakwah. Mereka mendapatkan info jika raja yang sangat dimuliakan serta dihormati merupakan Datuk Luwu karena kerajaannya dipandang sebagai kerajaan paling tua serta tempat asal nenek moyang raja-raja Sulawesi Selatan. Sedang yang sangat kuat serta punya pengaruh adalah Raja Gowa dan Raja Tallo.
Sesudah mendapatkan info serta keterangan yang cukup, barulah mereka pergi ke Luwu untuk menjumpai Datuk Luwu, La Patiware Daeng Parabu. Mereka pada akhirnya sukses mengislamkan elite-elite kerajaan Gowa-Tallo serta membuat Islam menjadi agama yang sah di kerajaan pada tahun 1605. Datuk Luwu selanjutnya diberi nama menjadi Sultan Muhammad Mahyuddin, sedang Raja Tallo Imalingkaan Daeng Mayonri Karaeng Katangka diberinama Sultan Abdullah Awalul Islam.
Sesudah sukses mengislamkan Datuk Luwu serta Raja Tallo, ke-3 ulama ini lalu menyebar serta membagi lokasi tujuan dakwah berdasar pada keadaan serta ketrampilan mereka. Abu Hamid menyampaikan dalam “Sistem Nilai Islam dalam Budaya Bugis-Makassar” seperti berikut :
Datuk ri Bandang atau Khatib Tunggal yang pakar dalam pengetahuan fikih bertugas di Kerajaan Gowa-Tallo. Penduduk yang dihadapi di kerajaan ini masih tetap memegang kuat kebiasaan lama seperti perjudian, minum ballo’, serta sabung ayam. Untuk mengislamkan mereka, cara dakwah yang dipakai yaitu dengan penegakan hukum syariat.
Datuk Patimang atau Khatib Sulung yang pakar tauhid bertugas di Kerajaan Luwu, karena keadaan masyarakatnya masih tetap berdasar teguh pada keyakinan nenek moyang mereka yang menyembah Dewata Seuwae. Datuk Patimang mengajari tauhid sederhana seperti sifat Tuhan. Penekanan tauhid ini untuk menggantikan Dewata Seuwae dengan konsep keimananan pada Allah Yang Maha Esa.
Datuk ri Tiro atau Khatib Bungsu yang pakar tasawuf bertugas di Bonto Tiro karena penduduk di daerah itu masih tetap memegang teguh ajaran – ajaran kebatinan serta sihir. Penduduk di Bonto Tiro populer seringkali memakai pengetahuan sihir atau kemampuan sakti (doti) untuk memusnahkan musuh. Mereka yakin dapat mengislamkan penduduk semacam itu dengan pengetahuan tasawuf.
Ke-3 Datuk ini sebarkan Islam sampai tutup usia serta dimakamkan di lokasi tugas mereka masing-masing. Datuk ri Bandang meninggal dunia serta dimakamkan di lokasi Tallo. Makam Datuk ri Bandang sekarang ada di Jl. Sinassara, Tallo, Makassar. Khatib Sulung lalu melanjutkan syiar Islam ke rakyat Luwu, Suppa, Soppeng, Wajo serta beberapa kerajaan yang belumlah memeluk Islam. Khatib Sulung meninggal dunia serta dimakamkan di Desa Patimang, Luwu, oleh karena itu ia bergelar Datu Patimang.
Sementara Datuk ri Tiro meninggal dunia serta dimakamkan di Tiro atau saat ini Bonto Tiro. Makam Datu ri Tiro bisa ditemui di Kelurahan Eka Tiro Kecamatan Bonto Tiro, Bulukumba. Untuk menghargai Datu ri Tiro, Pemerintah Kab. Bulukumba lalu menamai Islamic Center yang baru dibuat dengan nama Islamic Center Datu Tiro.
Umumnya sejarawan mencatat jika ke-3 datuk itulah pembawa ajaran Islam pertama di tanah Sulawesi Selatan. Nama mereka tertulis menjadi tokoh utama dalam penyebaran agama Islam. Akan tetapi, beberapa catatan serta peniggalan arkeologis mengatakan ada penyebaran Islam jauh sebelum ke-3 Datuk itu. Yaitu Sayyid Jamaluddin al- Akbar al-Husaini yang datang serta menyebarkan Islam di Wajo pada tahun 1320 M, tiga abad sebelum kehadiran Datuk Tellue’.
Tiga ulama ini begitu sampai di Sulawesi tidak secara langsung berdakwah, namun terlebih dulu membuat taktik dakwah. Mereka mendapatkan info jika raja yang sangat dimuliakan serta dihormati merupakan Datuk Luwu karena kerajaannya dipandang sebagai kerajaan paling tua serta tempat asal nenek moyang raja-raja Sulawesi Selatan. Sedang yang sangat kuat serta punya pengaruh adalah Raja Gowa dan Raja Tallo.
Sesudah mendapatkan info serta keterangan yang cukup, barulah mereka pergi ke Luwu untuk menjumpai Datuk Luwu, La Patiware Daeng Parabu. Mereka pada akhirnya sukses mengislamkan elite-elite kerajaan Gowa-Tallo serta membuat Islam menjadi agama yang sah di kerajaan pada tahun 1605. Datuk Luwu selanjutnya diberi nama menjadi Sultan Muhammad Mahyuddin, sedang Raja Tallo Imalingkaan Daeng Mayonri Karaeng Katangka diberinama Sultan Abdullah Awalul Islam.
Sesudah sukses mengislamkan Datuk Luwu serta Raja Tallo, ke-3 ulama ini lalu menyebar serta membagi lokasi tujuan dakwah berdasar pada keadaan serta ketrampilan mereka. Abu Hamid menyampaikan dalam “Sistem Nilai Islam dalam Budaya Bugis-Makassar” seperti berikut :
Datuk ri Bandang atau Khatib Tunggal yang pakar dalam pengetahuan fikih bertugas di Kerajaan Gowa-Tallo. Penduduk yang dihadapi di kerajaan ini masih tetap memegang kuat kebiasaan lama seperti perjudian, minum ballo’, serta sabung ayam. Untuk mengislamkan mereka, cara dakwah yang dipakai yaitu dengan penegakan hukum syariat.
Datuk Patimang atau Khatib Sulung yang pakar tauhid bertugas di Kerajaan Luwu, karena keadaan masyarakatnya masih tetap berdasar teguh pada keyakinan nenek moyang mereka yang menyembah Dewata Seuwae. Datuk Patimang mengajari tauhid sederhana seperti sifat Tuhan. Penekanan tauhid ini untuk menggantikan Dewata Seuwae dengan konsep keimananan pada Allah Yang Maha Esa.
Datuk ri Tiro atau Khatib Bungsu yang pakar tasawuf bertugas di Bonto Tiro karena penduduk di daerah itu masih tetap memegang teguh ajaran – ajaran kebatinan serta sihir. Penduduk di Bonto Tiro populer seringkali memakai pengetahuan sihir atau kemampuan sakti (doti) untuk memusnahkan musuh. Mereka yakin dapat mengislamkan penduduk semacam itu dengan pengetahuan tasawuf.
Ke-3 Datuk ini sebarkan Islam sampai tutup usia serta dimakamkan di lokasi tugas mereka masing-masing. Datuk ri Bandang meninggal dunia serta dimakamkan di lokasi Tallo. Makam Datuk ri Bandang sekarang ada di Jl. Sinassara, Tallo, Makassar. Khatib Sulung lalu melanjutkan syiar Islam ke rakyat Luwu, Suppa, Soppeng, Wajo serta beberapa kerajaan yang belumlah memeluk Islam. Khatib Sulung meninggal dunia serta dimakamkan di Desa Patimang, Luwu, oleh karena itu ia bergelar Datu Patimang.
Sementara Datuk ri Tiro meninggal dunia serta dimakamkan di Tiro atau saat ini Bonto Tiro. Makam Datu ri Tiro bisa ditemui di Kelurahan Eka Tiro Kecamatan Bonto Tiro, Bulukumba. Untuk menghargai Datu ri Tiro, Pemerintah Kab. Bulukumba lalu menamai Islamic Center yang baru dibuat dengan nama Islamic Center Datu Tiro.