Sejarah Kemunculan Paham Wahabi di Arab Saudi

Sejarah Kemunculan Paham Wahabi di Arab Saudi
Akhir-akhir ini Indonesia banyak disibukkan dengan berbagai macam aliran pemahaman trans-nasional yang masuk tanpa ada filter terlebih dahulu. Undang-undang tentang kebebasan beragama membuat paham-paham ini dengan bebas merambah ke dalam masyarakat, yang lebih parahnya lagi ada aliran pemahaman yang mengajarkan untuk menentang Pancasila sebagai Ideologi negara. Menurut mereka pacasila itu 'thogut' sehingga harus ditentang. Paham aliran trans-nasional dalam Islam ini kebanyakan melakukan pengkafiran terhadap sesama umat Islam.

Salah satu paham yang banyak menyalahkan dan mengkafirkan paham yang lain adalah aliran pemahaman wahabi yang akan kita kaji sejarah awal mula kemunclannya.

Gerakan aliran pemahaman Wahabi pertama muncul di Arab Saudi tepatnya di kota terpencil yang bernama Uyainah, suatu daerah di Najd.

Kota Uyainah dulunya merupakan wilayah yang dikuasai oleh kesultanan Ottoman atau yang lebih dikenal di Indonesia dengan sebutan kerajaan Turki Utsmani. Pelopor gerakan Wahabi ini adalah Muhammad bin Abdul Wahab yang lahir pada tahun 1115 hijriah (1702 M) dan wafat pada 1306 hijriah (1786 M). Pada mulanya gerakan ini tidak mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat. Penduduk lokal menolaknya, bahkan penguasa setempat menekan agar aliran pemikiran ini tidak berkembang.

Penekanan demi penekanan muncul dari masyarakat dan penguasa kota kelahiran Muhammad bin Abdul Wahab, sehingga pendiri Wahabiyah ini pindah ke desa Dari'yah yang berada di sebelah timur Riyadh. Desa ini dihuni oleh pendiri dinasti Saud yang saat ini berkuasa di Saudi Arabiyah, yaitu Muhammad Ibn Saud (w. 1179 H/1766 M).

Sejarah Kemunculan Paham Wahabi di Arab Saudi

Perpindahan pendiri wahabi ke desa yang berada di sebelah timur Riyadh ini mendapat sambutan yang baik. Muhammad Ibn Saud melihat gerakan yang baru ini sebagai peluang besar baginya untuk melancarkan amibisinya menguasai wilayah arabiyah, sehingga dia mendukung dan melindungi gerakan wahabi. Muhammda bin Abdul Wahab mengetahui ambisi pendiri dinasti Saud ini, sehingga menggunakan kesempatan tersebut untuk melancarkan gerakan pemahannya.

Dari bertemunya dua ambisi besar ini, maka pada tahun 1744 M keduanya membuat kesepakatan untuk saling menyokong demi tercapainya tujuan masing-masing. Dinasti awal Saud kemudian didirikan dan Muhammda bin Abdul Wahab menjadi pimpinan spritual atau mufti pertama. Dengan begitu maka dia dengan bebas dan leluasa mengembangkan ajarannya. Hingga saat ini paham wahabi menjadi mazhab resmi di Arab Saudi.

Antara wahabisme dan keluarga Saud saling terikat. Keluarga Saud mendapatkan legitimasi dari wahabi, sehingga kerajaan dengan kekuasaannya menyebarkan paham ini ke seluruh penjuru dunia, tidak terkecuali Indonesia.

Namun perlu diketahui bahwa tidak semua masyarakat Arab Saudi berpaham wahabi. Mereka sebagian besar adalah suni dengan berbagai aliran. Sedangkan kebanyakan yang berpaham wahabi ada pada wilayah Najd (bagian tengah Arab Saudi) - Al-Qasim, Hail, dan Riyadh, tempat lahirnya Muhammad bin Abdul Wahab dan leluhur Dinasti Saud.

Persoalan kaum wahabi yang selalu menyalahkan paham lain bahkan sampai mengkafirkan itu karena, dari segi aqidah mereka ingin memurnikan agama. Katanya kebanyakan aliran yang berkembang selama ini sudah dicampur dengan perlakuan bid'ah, syirik dan khurafat.

Mereka mengklaim bahwa sumber aqidah mereka berasal dari Al-Quran dan Hadis, tetapi tidak merujuk kepada ijtihad para ulama dari kalangan sahabat, tabi'in dan para ulama lainnya dalam memaknai isi kandungan kedua sumber Islam ini. Selain itu mereka juga mengklaim bahwa segala yang tidak ada sumbernya dari Al-Quran dan Hadis, mereka ambil dari pemahaman Imam Ahmad bin Hambal dan Ibnu Taimiyah. Tetapi kenyataannya sebagian besar persoalan agama yang mereka tetapkan keluar dari fatwa kedua imam besar tersebut.

Hal ini dapat dilihat dari sikap mereka yang selalu mengkafirkan orang yang berbeda paham dengan mereka, yang tidak pernah dilakukan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah. Mereka juga sangat tekstual, hanya berpaku pada makna yang tersurat tanpa memaknai teks dengan yang tersurat. Pada akhiranya mereka menyalahi ushul dan ijma' ulama. Wallahu a'lam.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama