Kisah Khalifah Umar Bin Khattab dan Seorang Yahudi Tua dari Mesir

Kisah Khalifah Umar Bin Khattab dan Seorang Yahudi tua yang berasal dari Mesir
Siapa yang tidak kenal dengan Umar bin Khattab seorang sahabat Nabi yang selalu terdepan membela Islam dan membela Rasulullah saw, bahkan ia juga menentang teman-teman lamanya yang dulu mereka sama-sama menentang Islam.

Umar bin Khattab merupakan khalifah kedua, menggantikan Khalifah pertama yaitu Abu Bakar as-Siddiq. Ia terkenal sebagai khalifah yang sangat adil, bijaksana, penyayang kepada Umatnya dan juga pelindung bagi kaum minoritas. Dalam kepemimpinannya ia melindungi seluruh warga negara termasuk yang tidak beragama Islam, mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagi warga negara. Di mata Umar bin Khattar, menjadi khalifah adalah menjadi pelayan bagi seluruh warga negara, sehingga ia sangat disegani dan disayangi oleh umatnya. Banyak kisah yang menceritakan tentang dirinya yang hidup dalam kesederhanaan, dan selalu adil dalam mengambil suatu kebijakan termasuk kisah Umar Bin Khattab dan Seorang Yahudi tua yang berasal dari Mesir.

Alkisah, ketika sahabat Abu Bakar As-Siddiq meninggal dunia, beliau digantikan oleh sahabat Umar bin Khattab. Sebagai seorang khalifah, Umar mempunyai kewajiban untuk mengatur negara yang berpusat di kota Madinah ini. Umar lalu menunjuk beberapa gubernur di beberapa wilayah baru, termasuk di wilayah mesir yang baru ditaklukkan oleh pasukan Islam dibawa pimpinan Amru bin Ash yang terkenal cerdik dalam berperang.

Untuk menghormati dan menghargai jasa Amru bin Ash, maka Khalifah Umar menunjukanya menjadi gubernur di wliayah mesir. Amru bin Ash menjadi gubernur yang taat kepada agama dan taat kepada khalifah, walaupun wilayah keduanya berjauhan. Namun suatu ketika pimpinan baru Mesir itu melakukan hal yang kurang adil.

gambar ilustrasi

Gubernur Mesir Amru bin Ash waktu itu tinggal di dalam Istana yang mewah, dan dia berniat untuk memperluas istananya dengan membangun sebuah masjid yang mewah dan indah, namun perluasan itu mengalami kendala karena seorang yahudi tua tidak ingin menjual tanah miliknya. Dia bersikeras untuk tidak menjual tanahnya yang di atas tanah itu hanya terdapat rumah reok miliknya, bahkan Amru bin Ash menawarkan tanahnya dengan harga berkali-kali lipat di atas harga pasar waktu itu.

Berbagai cara telah dilakukan untuk melunakkan hati kakek tua ini, namun dia tidak juga mau menjual tanah miliknya. Amru bin Ash merasa kesal, kemudian menggunakan kekuasaan untuk menggusur dan mengambil paksa tanah milik seorang yahudi tua itu. Orang tua yang tak berdaya itu tidak dapat berbuat apa-apa selain bersedih dan berniat untuk mengadukannya kepada khalifah. Ketika itu dia belum tau apa-apa tentang sang khalifah, namun dengan tekad yang bulat dan keyakinan yang kuat, dia mempersiapkan diri dan melakukan perjalanan ke kota Madinah.

Dalam perjalanan kakek tua itu berpikir tentang siapa sebenarnya yang akan ditemuinya di kota yang jauh dari dari tempat asalnya itu. Apakah khalifah sama dengan gubernur? Apakah ia hidup dalam kemewahan layaknya raja-raja waktu itu? Apakah ia memiliki istana yang indah dan kokoh? Semua jawaban itu ia dapatkan ketika berada di kota Madinah.

Ketika memasuki pintu kota Madinah, kakek tua itu kebingungan berjalanan kesana kemari dan tidak menemukan adanya istana yang megah layaknya kerajaan-kerajaan di waktu itu. Lalu dimana saya akan menmukan sang khalifah? Gumamnya dalam hati. Raut wajahnya yang bingung, capek dan sedih, bercampur menjadi satu. Dia terus mencari dimana tempat untuk mengadu hingga dia menemukan seorang pria yang sedang duduk di bawah pohon kurma. kemudian yahudi tua itu bertnya. "Wahai tuan apakah anda mengetahui keberadaan khalifah?"

Lelaki itu menjawab, "ada apa gerangan engkau mencarinya?"

"Aku ingin mengadukan suatu hal kepadanya," jawab kakek tua itu.
"Dimanakah istananya?"

Pria itu menjawab, "Istananya di atas tanah berlumpur"

"Lalu siapa saja pengawalnya?"

"Pengawalnya orang-orang miskin, anak-anak yatim dan janda-janda tua."

Kakek yahudi itu semakin bingung dengan jawab-jawaban yang dilontarkan oleh pria yang ditemuinya itu kemudian ia bertanya lagi.

"Apa pakaian kebesarannya?"

"Pakaian kebesarannya adalah malu dan taqwa."

Kemudian yahudi tua itu bertanya lagi, "dimana dia sekarang?"

Lelaki itupun menjawab, "sekarang dia ada di depanmu"

Seorang yahudi tua itu terperanjat kaget, ternyata pria yang dia temui dan sedang bertanya kepadanya ini adalah seorang khalifah yang hidup dalam kezuhudan. Kemudian dia menceritakan segala yang menimpa dirinya di mesir, diman harta satu-satunya diambil paksan oleh gubernur Mesir. Setelah mendengar cerita pengaduan itu, wajah khalifah berubah menjadi merah. Beliau marah dengan perlakukan Amru bin Ash yang sewenang-wenang terhadap rakyatnya.

Kisah Khalifah Umar Bin Khattab dan Seorang Yahudi tua yang berasal dari Mesir
gambar ilustrasi

Setelah kemarahan khalifah Umar bin Khattab mereda, beliau meminta kepada yahudi tua itu untuk mengambil sepotong tulang unta dari tempat sampah. Yahudi tua itupun menuruti perintah dan menyerahkan tulang unta itu kepada khalifah. Khalifah Umar bin Khattab kemudian menggores tulang tersebut dari atas ke bawah dengan huruf alif, dan ditengahnya diberi goresan melintang menggunakan pedang. Kemudian tulang yang telah digores itu diserahkan kembali kepada yahudi tua, seraya berpesan, "Jaga dan bawalah tulang ini baik-baik ke mesir, sesampainya di sana serahkan tulang ini kepada gubernur Amru bin Ash."

Si yahudi itu bingung dengan apa yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Khattab, lagi-lagi dalam hati dia membatin, "ada hubungan apa tulang unta yang digores dengan keluhannya terkait perlakuan Amru bin Ash?". Namun dia tak juga menemukan jawaban karena tidak berani lagi bertanya kepada khalifah. Orang tua yahudi itu pulang ke Mesir bersama tulang unta bergores itu dan menyerahkannya kepada Gubernur Mesir. Ketika melihat tulang itu Amru bin Ash badannya gemetar ketakukan, mukanya pucat pasi dan seketika itu juga memerintahkan rakyatnya untuk membongkar masjid mewah dan membangun kembali rumah milik yahudi tua itu.

Orang tua yahudi itu merasa heran dengan perlakukan Amru bin Ash yang langsung memerintahkan rakyatnya untuk membongkar masjid setelah mendapat kiriman tulang dari khalifah Umar bin Khattab. "Tunggu," teriak orang tua yahudi itu. "Maafkan tuan jangan dibongkar dulu masjid itu, tuan tolong jelaskan, berasal dari manakah tulang itu dan ada keistimewaan apa dengan tulang itu?, sehingga tuan langsung memutuskan untuk membongkar begitu saja bangunan masjid mewah yang dibangun dengan biaya yang sangat mahal itu.

Amru bin Ash kemudian mendekati orang tua itu dan memgang pundaknya seraya berkata "Wahai kakek, tulang ini hanyanyalah tulang biasa yang berbau."

"Mengapa demikian. Aku yang tua ini hanya pergi ke madinah untuk mencari keadilan, dari sana aku hanya mendapatkan sepotong tulang yang berbau busuk, kenapa benda busuk itu membuat gubernur ketakutan?" Orang tua yahudi itu bertanya lagi.

Amru bin Ash menjelaskan kepadanya bahwa "Tulang yang kau serahkan kepadaku ini merupakan peringatan keras sekaligus merupakan ancaman dari khalifah Umar bin Khattab kepadaku. Artinya bahwa apapun pangkat dan kekuasaannku saat ini, suatu saat akan bernasib sama dengan tulang ini. Sehingga khalifah memerintahkan agar saya bertindak adil seperti huruf alif yang lurus, adil di atas dan juga adil di bawah. Karena jika saya tidak bertindak adil maka khalifah tidak segan-segan untuk memenggl kepala saya."

Mendengar penjelasan dari gubernur Mesir itu, orang tua yahudi itu tertunduk haru dan terkesan dengan ajaran Islam yang penuh dengan keadilan. Dia kemudian merelakan tanah tanpa meminta bayaran sepeserpun, dan meminta kepada gubernur untuk membimbingnnya dalam mengenal agama Islam. Orang tua yahudi itu kemudian bersyahadat dan memeluk islam.

Bagaimana seorang pemimpin memahami nasib rakyatnya jika pemimpin itu belum merasakannya sendiri. (Umar bin Khattab)

Dari kisah ini, kita bisa mengambil begitu banyak hikmah, diantaranya yaitu selalu berbuat baik kepada siapa saja tanpa memandang latar belakang sosial dan latar belakang agama orang tersebut. Mau dia beragama apapun itu atau dari kalangan sosial manapun itu, selama dia masih makhluk Allah maka wajib kita hargai, wajib kita beri hak hidup kepadanya, dan jangan semena-mena terhadap dirinya.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama