A. Pendahuluan
Ketika kata perempuan didengar, maka presepsi yang pertama muncul dalam benak adalah perempuan itu makhluh feminis yang lemah, lembut, dan selalu menggunkan perasaan dalam mengambil sikap atau suatu keputusan.
Sebelum lahir teori-teori dan gerakan perjuangan emansipasi wanita atau kesetaraan gender, perempuan dinggap sebagai pelengkap hidup bagi laki-laki. Tugas pokok perempuan adalah melayani laki-laki yaitu di sumur, di dapur dan di kasur. Segitiga 'D' ini menyebabkan kebanyakan perempuan terpojok, dan tidak bisa tampil dalam kancah pertarungan dunia.
Polemik perempuan seperti ini membuat mata dunia memandang perempuan sebelah mata. Prempuan tidak dipandang sepenuhnya oleh dunia, hingga terjadi kekerasan, perbudakan dan penjualan manusia yang kebanyakan berasal dari kaum hawa ini. Kemunculan gerakan emansipasi wanita yang dimulai sejak akhir abad ke 18 dan secara resmi dikumandangkan pada tahun 1950-1960an membuat perempuan merasa sedikit lega karena diberikan ruang untuk terjun dalam pergolakan dunia.
Di indonesia sendiri, perempuan belum sepenuhnya dihargai oleh kaum laki-laki, dengan berbagai macam polemik yang terjadi seperti, pelecehan, kekerasan dalam rumah tangga, dan polemik lainnya yang mempertontonkan betapa perempuan hanya dianggap manusia 'ke dua' di dunia. Padahal ketika mau dilihat lebih jauh lagi maka, perempuan adalah sumber kehidupan manusia.
Ada suatu ungkapan yang bagus didengar, tetapi kalau mau dimaknai, ungkapan ini sebenarnya untuk memarginalkan kaum perempuan secara halus. "Dibalik kehebatan dan kesuksesan seorang laki-laki terdapat perempuan yang kuat di belakangnya". Ungkapan ini menggambarkan bahwa laki-laki manusia yang hebat dan selalu sukses, perempuan tidak bisa menandinginya. Perempuan hanya berperan sebagai penikmat dari hasil jeri payah seorang laki-laki, dan hanya sebagai penyemangat di belakang laki-laki. Perempuan tidak saja dieksploitasi dari fisik tetapi secara psikis mereka juga dieksploitasi. Kata orang Jepang "Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, satu ide atau gagasan dapat menembus banyak kepala" (Kata orang Jepang).
B. Perempuan dalam Filosofi Vat (Batu)
Filsafat diartikan sebagai pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan. Sedangkan filosofi menurut alfarabi adalah ilmu yang menjadi penuntun untuk pelaksanaan atas pemahaman yang menjadi keyakinan tiap-tiap individu maupun kelompok, selain itu filosofi merupakan kebenaran yang diperoleh melalui berpikir logis, sistematis dan metodis.
Kata vat berasal dari bahasa kei yang secara etimologis berarti batu. Sedangkan perempuan dalam bahasa kei adalah vat-vat. Secara bahasa kata batu dan perempuan dalam bahasa kei mempunyai nama yang hampir sama, yang membedakan hanya pada pengulangan kata vat untuk menyebut perempuan. Adanya persamaan kata antara vat dengan vat-vat memungkinkan penamaan perempuan dalam masyarakat kei diambil dari falsafah batu.
Batu merupakan benda padat yang keras, tercipta dari kumpulan berbagai mineral, diproses dan diseleksi oleh alam dengan baik. Batu terdiri dari berbagai jenis, bentuk, ciri dan ukuran. Batu bukanlah benda mati yang tak bermakna, batu memilki filosofi yang sangat banyak diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Kehidupan ini keras bagaikan batu, namun jika batu itu dikenai air secara rutin dan terus menerus maka, akan berlubang. Hidup jika diperjuangkan dengan sepenuh hati, maka kerasnya hidup akan dilalui dengan mudah.
2. Batu merupakan benda mati yang tidak bisa bergerak, selalu sabar dan diam saja jika dipukuli oleh benda padat lainnya. Kekerasan tidak harus dibalas dengan kekerasan, tetapi kesabaran dan keikhlasan yang menjadi senjata untuk membalas kekerasan yang dilakukan oleh orang lain.
Batu selalu tegar dan kuat dalam menghadapi segala macam badai yang datang menghantamnya. Hidup tak semulus apa yang dibayangkan, cobaan dan rintangan dalam hidup selalu datang menghampiri, di saat seperti inilah ketegaran dan kekuatan batin diperlukan untuk menghadapi segala macam cobaan dan rintangan itu.
3. Batu mempunyai manfaat yang begitu banyak bagi manusia, tanpa batu manusia tidak dapat membangun rumah, membangun gedung yang megah. Manusia itu harus bermanfaat bagi manusia lainnya, jangan sampai kelahiran seorang anak manusia hanya menjadi beban.
4. Ada beberapa jenis batu yang dijadikan sebagai perhiasan, dimuliakan oleh manusia (batu mulia), dan secara ekonomis bernilai tinggi, batu permata misalnya. Manusia adalah sesempurna ciptaan tuhan, dimuliakan oleh makhluk lainnya, kedudukannya lebih tinggi dari malaikat, dan hadir di muka bumi sebagai pemimpin.
Jika dilihat dari filosofi batu di atas, maka penamaan terhadap perempuan suku kei tidak terlepas dari makna-makna yang terkandung dari batu. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan sosiologi kemasyarakatan. Perempuan suku kei merupakan perempuan-perempuan yang kuat dan tegar. Mereka dapat berdikari sendiri dengan mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan hidup. Perempuan yang sudah menikah tidak menunggu penghasilan dari suaminya semata, mereka juga turut andil dalam menyelesaikan kebutuhan ekonomi yang ada di dalam rumah tangga. Watak perempuan kei sekeras dan setajam batu karang yang banyak bertebaran di kepulauan kei, namun keras dan tajamnya watak mereka bukan dalam hal keburukan tetapi dalam hal mengangkat derajat dan martabat perempuan. Mereka tidak mau kalah dengan laki-laki dalam banyak banyak hal, selama itu tidak bertentangan dengan kodrat penciptaannya.
Bagaikan batu mulia, perempuan di tanah adat kei dimuliakan dan dilindungi oleh hukum adat. Lelaki suku kei melindungi kehormatan perempuan, sedikit saja kehormatan perempuan dinodai maka harga yang akan dibayar sangat mahal, bahkan nyawa yang menjadi tebusan dari noda yang ditorehkan. Hal ini memang terlihat ekstrim, tetapi untuk melindungi dan menghormati sumber kehidupan maka, sudah sepantasnyalah hukum dan norma-norma kesusilaan ditegakkan.
C. Perempuan dan Kesetaraan Gender di Tanah Kei
Sebelum Betty Friedan di Amerika menulis buku feminismenya dengan judul “The Feminime Mystique” untuk memperjuangkan kesetaraan gender, atau Raden Ajeng Kartini yang lahir di jepara pada tanggal 21 April 1879 yang dikenal sebagai tokoh feminisme Indonesia, maka masyarakat kei sudah mengenal dan mempraktekkan kesetaraan gender sebelumnya. Kesetaraan gender yang diterapkan di kei tidak bersifat liberal yaitu kesetaraan gender yang menempatkan perempuan untuk memiliki kebebasan secara penuh dan individual tanpa memandang kodratnya lagi sebagai perempuan.
Sejarah panjang feminisme di tanah kei tidak terlepas dari sejarah dibentuknya hukum adat Larvul Ngabal. Diceritakan dalam bentuk tom dan tad, bahwa kisah seorang perempuan kei yang melakukan perjalanan dari Ohoivuur (sekarang Ohoi Letvuan) menuju ke Ohoi Raat Danar (ohoi raat sebuatn untuk kampung / desa raja), dengan maksud mencari tunangannya yang bernama Famur Danar. Perjalanan Nen Ditsakmas bukan semata-mata untuk mencari sang buah hati, tetapi ada misi mulia yang juga ia emban, yaitu misi untuk menyebarkan dan melegitimasi hukum Larvul. Singkat cerita hukum larvul kemudian disahkan di desa Elaar yang ditandai dengan pemotongan seekor kerbau kemudian dibagikan kepada beberapa Hilaay (penguasa daerah tertentu). Sedangkan untuk hukum Ngabal disahkan di Desa Lerohoilim. Kedua hukum yang diputuskan dan disahkan di Pulau Kei Kecil dan Pulau Kei Besar kemudian disatukan menjadi Hukum Larvul Ngabal yang sampai saat ini masih dipegang teguh.
Nen Ditsakmas tidak saja memperjuangkan hak-hak perempuan melalui hukum adat, tetapi beliau juga membuktikan perjuangannya dengan menjadi Raat (ratu/raja) di Ohoi Raat Wain. Tokoh sentral adat dan feminisme di tanah kei ini telah menjadi inspirasi untuk perempuan-perempuan kei. Beliau telah menorehkan sejarah panjang peradaban di tanah kei, menjadi kisah yang terus dikenang dalam setiap generasi dan menjadi contoh kepada masyarakat kei bahkan masyarakat dunia.
D. Penutup
Sejarah umat manusia selalu memojokkan perempuan, padahal perempuan merupakan sumber kehidupan. Perjuangan demi perjuangan yang dilakukan oleh tokoh feminisme telah menuai hasil, kini tinggal bagaimana kita menghargai perjuangan itu. Perempuan kalau diibaratkan seperti batu, maka mereka itu keras dalam menjalani hidup, sabar, dan mempunyai kemuliaan melebihi laki-laki.
Dalam tatanan masyarakat kei nama perempuan diidentikkan dengan nama batu (vat dan vat-vat). Penemaan terhadap perempuan dalam bahasa kei tidak terlepas dari filosofi batu yang memberi makna kehidupan.
Menjadi perempuan itu bukan berarti menjadi makhluk yang lemah. Tuhan memberikan kekuatan kepada perempuan melebihi kekuatan laki-laki. Buktinya perempuan bisa melahirkan dengan menahan sakitnya yang amat dalam, sedangkan laki-laki tidak mungkin mereka bisa melahirkan.