Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Nahdlatul Ulama (NU) dalam Kancah Perpolitikan Indonesia

Nahdlatul Ulama (NU) dalam Kancah Perpolitikan di Indonesia
Nahdlatul Ulama (NU) dalam Kancah Perpolitikan Indonesia. Dalam periodesasi perjalanan organisasi, Nahdlatul Ulama pernah menjadi partai politik setelah menyatakan diri berpisah dengan partai masyumi pada tahun 1952, namun pada muktamar di situbondo NU menyatakan diri untuk kembali ke khittah 1926 yaitu sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan. Menjadi organisasi keagamaan dan kemasyarakatan bukan berarti bahwa NU tidak lagi berpolitik, tetapi model dan corak berpolitik NU sudah berbeda. Pada masa orde baru NU kembali berpolitik malalui partai PPP. NU tidak membawa label organisasi untuk berpolitik, tetapi politik yang dimainkan secara kultur yang membolehkan kadernya untuk berpolitik melalui berbagai partai politik selama partai tersebut mempunyai ideologi dan tujuan yang sama dengan NU. Hal ini dapat dilihat dengan aturan organisasi yang melarang pengurus merangkap jabatan dalam organisasi keNUan atau dengan organisasi lain, seperti partai politik dan sebagainya. Kader-kader NU tersebar di hampir seluruh partai politik, dengan tujuan membangun wacana politik kebangsaan.

Di masa reformasi, setelah tumbang rezim orde baru pada tahun 1998, Abdurrahman Wahid (Gusdur) mendeklerasikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai organisasi politik NU. “Wajah baru tapi orang lama” itulah istilah yang penulis berikan kepada partai politik NU. Walaupun PKB baru didirakan pada tahun 1998 tapi orang yang berkecimpun dalam partai politik ini hampir keseluruhan para politisi yang memperjuangkan kebebasan mendirikan organisasi kepartaian yang dikungkung oleh rezim orde lama.

Ali Masykur Musa dalam bukunya NU dan moralitas politik bangsa mengungkapkan bahwa corak politik NU adalalah politik kebangsaan yang rahmatan lilalamin. Ia tidak sedang berambisi secara sporadis berkonsetrasi meraih kekuasaan, namun secara arif bersenyawa dengan masyarakat bawah (grassroot) dan memberi pelajaran politik moral kebangsaan. Itulah pesan politik NU “ kembali ke khitah 1926”. Dalam hal ini, NU senantiasa memosisikan diri sebagai pembela kaum lemah hingga melampau demakrasi agama.

Kaum lemah, kaun marginal, orang pinggiran, dan semua yang ada di dalam pembelaan NU menamakan diri sebagai kaum sarungan. NU memang tidak melihat kultur seseorang untuk dibelanya, bahkan NU hadir untuk mengembalikan harkat dan martabat manusia yang ditindas. Pesantren sebagai pusat gerakan NU, bukan berarti bahwa orang yang hanya dalam lingkup pesantren atau orang Islam saja yang dibelanya, tetapi NU hadir dalam semua kalangan manusia, baik itu Islam maupun non-Islam, selama dia ditindas maka NU sebagai garda terdepan untuk membelanya.

Masykur Musa melanjutkan dalam bukunya, ada beberapa hal mengapa NU konsisten di garis gerakan politik kebangsaan yang rahmatan lil alamin. Pertama, NU meyakini adanya persaudaraan (al ukhwah) universal. Sebagai mana sunnah rosul, ada tiga kategori persaudaraan yang hingga kini menjadi nadi perjalanan NU, yaitu ukhwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia), ukhwah wathaniyah (persaudaraan antar bangsa), dan ukhwah islamiyah (persaudaraan sesama Islam).

Kedua, adanya semangat tasamuh (toleransi). Sistem sosial dan kultur bangsa indoensia sebenarnya masih sangat rapuh disintegrasi bangsa menjadi pemandangan yang kontraproduktif dengan sibol bhineka tunggal ika. Pertikaian antar suku, perselisihan antar pusat dan daerah juga menjadi warna yang dominan ditengah jargon persatuan. Pada kondisi seperti itu, NU menjadi pelopor kembalinya bangsa ini kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Ketiga, tawasuth (jalan tengah). Nilai ini merupakan semangat dari toleransi. Ia berperan sebagai fungsi mediasi. Bahwa serangkaian rekonsiliasi yang dilakukan di daerah konflik senantiasa diputuskan dengan jalan tengah. NU menagakomodir beragam kepantingan yang berselisih, selanjutnya berikhtiyar mencapai reolusi paling sesuai dengan proporsinya. Aspek proporsionalitas menjadi bagian tak terpisahkan dari semangat ini. Hal itu bagi NU sesuai dengan perintah rosul bahwa islam harus menjadi ummatan wasathan.

Keempat, tawazun (seimbang). Dalam mengambil beragam keputusan NU selalu mendasarkan pada syura (musyawarah). Konsep-konsep ini mempertimbangkan aspek-aspek keseimbangan dan kemaslahatan bersama (al mashalih al mursalah). Jika memang ada perselisihan pendapat, maka yang harus dikedepankan adalah almujadalah bi allati hiya ahsan (perdebatan rasional yang diorientasikan untuk kebaikan). Maka itu, meski sering diguncang fitnah dan beragam masalah, nyatanya keutuhan dan solidaritas kultur maupun struktural NU masih sangat terjaga.

NU sejak berdirinya hingga sekarang selalu mempopulerkan ajaran yang lebih mengedapankan kesatuan NKRI, dibandingkan dengan organisasi islam lain yang fundamendal dalam ajarannya, hingga berujung pada perpecahan kebangsaan Indonesia. Ajaran keIslaman yang dibawanya bukan Islam Arab (arabisasi Islam), tetapi Islam Indonesia. Integrasi antara Islam dengan masyarakat Nusantara yang sejak lama terbangun menjadi penyokong persatuan. Islam masuk di Indonesia melalui dialog panjang dan terjadi “perkawinan” antara budaya dengan Islam. Ini karena sebelumnya nusantara sudah memiliki budaya dan agamanya sendiri. Sehingga Islam datang hanya menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru dia kenal.

Keempat pilar yaitu al ukhwah, tasamuh, tawasuth, dan tawazun, merupakan “reinkarnasi” dari ajaran rosul yang dipraktekkan dalam tubuh NU. Pendekatan Islam moderat yang dipakai dalam berpolitik menjadikan NU diterima disemua kalangan. Walaupun dalam kancah pertarungan politik praktis melalui Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), NU tidak mendapatkan posisi teratas, hanya mendapatkan posisi sebagai partai tengah tidak membuat pendidikan politik kebangsaan terputus sampai di situ. Perjuangan masih terus berlanjut hingga indonesia menjadi bangsa yang adil dan makmur. Setelah keadilan dan kemakmuran dapat diraih sebagaimana yang disinyalir oleh Pancasila, NU tetap ada ditengah masyarakat dan terus memberikan yang terbaik.  

Inti dari semua itu adalah Nahdlatul Ulama memperjuangkan masyarakat Indonesia yang sadar akan negaranya yang beragam dan hidup dalam persatuan demi terwujudnya bangsa yang beradab..

Referensi

DR. Ali Masykur Musa, NU dan Moralitas Politik Bangsa : Telaga Bijak, 2010

Posting Komentar untuk "Nahdlatul Ulama (NU) dalam Kancah Perpolitikan Indonesia"