Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kesabaran Imam Ahmad Ibn Hambal Pada Masa-masa Sulit

Kesabaran Imam Ahmad Ibn Hambal Pada Masa-masa Sulit

Belakangan ini kita telah menyaksikan penganiayaan terhadap orang-orang yang tidak berdosa di seluruh dunia. Dari konflik di Suria, sampai gelombang serangan Islamofobia terhadap umat Islam di Barat. Sejarah Islam yang kaya dan penuh makna telah memberikan banyak contoh yang tak terhitung jumlahnya tentang kebenaran dan melatih kesabaran kita. Salah satu contoh yang dapat kita lihat yaitu tentang kisah Imam Ahmad ibn Hanbal r.a.

Imam Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal (164-241 H / 780-855 M) adalah tokoh teladan dari tiga generasi pertama setelah Nabi Muhammad saw. Beliau merupakan seorang ulama yang terkenal karena kezuhudannya, dan keilmuannya dan juga Musnad-nya, dia juga pendiri salah satu dari empat aliran pemikiran dalam fiqih Islam. Prestasi dan pemikirannya telah menyebar di seantero dunia.

Salah satu hal yang paling terkenal dari kisah Imam Ahmad adalah ketabahan dan keteguhannya pada kebenaran saat dianiaya oleh pendirian Mu'tazilah. Pada abad kedua, pemikiran Helenistik mulai merambah ke tanah Muslim melalui ketersediaan karya-karya Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Rasionalitas yang menjadi salah satu daya tarik bagi sekelompok kalangan umat Islam, diamana mereka ingin menggabungkan antara ajaran Islam dengan filsafat Yunani. Yang paling getol dalam hal ini adalah kalangan Mu'tazilah, kemudian mereka berkeyakinan bahwa Alquran yang merupakan firman Allah ini adalah makhluk yang diciptakan.

Dengan dukungan dari dinasti Abbasiyah, paham Mu'tazilah dipaksakan kepada umat Islam sebagai doktrin negara. Banyak ilmuwan pada saat itu tunduk pada kepercayaan ini baik karena kenyamanan atau ketakutan akan penganiayaan dan penyiksaan dari penguasa yang tirani.

Pada saat itu banyak ulama yang menolak aliran pemikiran ini, namun mereka ditekan dan bahkan disiksa, yang kemudian menjadi momok bagi umat Islam saat itu. Imam Ahmad ibn Hambal tidak dieksekusi layaknya ilmuan lainnya, namun beliau dipenjara dan mengalami penyiksaan yang amat pedih.

Imam Ahmad terus dibelenggu dan dicambuk tanpa henti, agar beliau mengakui pemahaman Mu'tazilah dan melepaskan pandangan lamanya tentang kebenaran Al-Quran dan menganjurkan kepada umat Islam untuk meyakini doktrin Mu'tazilah yang lebih mengandalkan logika. Dengan demikian maka, beliau akan dibebaskan dari semua penyiksaan dan situasi yang tidak baik seperti itu.

Namun Imam Ahmad tetap teguh dengan pendiriannya, karena dia memiliki kepedulian yang lebih besar terhadap ummat Islam dan tidak ingin pemikiran yang menyimpang dari Islam itu dapat tersebar.

Imam Ahmad mengakui tanggung jawab yang bertumpu pada dirinya karena statusnya sebagai Ulama dengan keimanan yang tinggi kepada Allah. Dengan demikian, beliau tanpa kompromi dan tetap sabar menghadapi cobaan, meski para penangkapnya memperingatkannya bahwa dia bisa mati dalam keadaan seperti ini.

Imam Ahmad hanya menjawab, "al-farqu baynanaa wa baynakum al-jana'iz" (perbedaan antara kami dan kalian adalah ketika menjadi jenazah) "(yaitu bahwa mereka harus berhati-hati terhadap apa yang terjadi pada kematian mereka dan untuk menjadi pembelajaran). Mereka tahu bahwa Imam Ahmad akan tahan dengan semua penyikasaan, untuk menegakkan kebenaran.

Pada akhirnya beliau dibebaskan setelah menghabiskan lebih dari dua tahun penjara. Ia akhirnya meninggal dunia pada usia 77 tahun. Salah seorang anaknya menyebutkan bahwa ayahnya masih memiliki bekas luka pada bagian bulu mata saat ia meninggal dunia. Meskipun demikian, lebih dari 800.000 orang menghadiri pemakamannya di Baghdad untuk memberikan penghormatan kepada cendekiawan agung tersebut. Juga tercatat bahwa dua puluh ribu orang menerima Islam pada hari itu.

Kata-kata Imam Ahmad yang digunakan untuk memperingati para penganiayanya dimanifestasikan. Kesabaran dan ketekunannya benar-benar diterima oleh Allah, sehingga sampai saat ini ia menjadi salah satu imam besar fiqih yang terkenal yang tak kenal takut dan tak tergoyahkan dalam posisinya.

Ibn Qutaybah menyatakan bahwa "bila Anda menemukan seseorang yang mencintai Ahmad ibn Hanbal, Anda harus tahu bahwa dia adalah pengikut Sunnah."

Imam Ahmad tidak hanya meninggalkan warisan dalam ilmu-ilmu keislaman dari hadis, fiqih dan teologi, namun ia juga melambangkan teladan baik yang diceritakan oleh Nabi kita tercinta dan para sahabatnya dalam perjuangannya untuk membela kebenaran dan tetap teguh di masa yang penuh dengan gejolak. Karena alasan inilah Imam Ahmad dikenal sebagai mujaddid (reviver of the deen) pada masanya.

Semoga Allah memungkinkan kita untuk mengikuti jejak tokoh besar tersebut. Amin.

Posting Komentar untuk "Kesabaran Imam Ahmad Ibn Hambal Pada Masa-masa Sulit"