Sesungguhnya budaya Bugis-Makassar mengandung esensi nilai luhur yang universal, namun kurang teraktualisasi secara sadar dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Kalau, ditelusuri secara mendalam dapat ditemukan bahwa hakekat inti kebudayaan Bugis-Makassar itu sebenarnya adalah bertitik sentral pada konsepsi mengenai tau (Manusia), yang manusia dalam konteks ini, dalam pergaulan sosial, amat dijunjung tinggi keberadaannya. (Mattulada. 1989: 4).
Dalam menggunakan konsep tentang budaya Bugis-Makassar yang lebih menekankan pada wujud kebudayaan dan isi kebudayaan, maka konsep tau inilah sebagai esensi yang mendasari hidup orang Bugis-Makassar, yang melahirkan penghargaan atas sesama manusia. Bentuk penghargaan itu dimanifestasikan dalam budaya sipakatau yang artinya saling memahami dan menghargai secara manusiawi. Oleh karena itu menurut (Mattulada. 1989: 4) sikap budaya Bugis-Makassar disebut sipakatau. Pendidik, pemimpin dan pembimbing bagi orang Bugis –Makassar dahulu selalu mendasarkan pandangannya pada asas sipakatau dalam mengayomi warganya.
Selanjutnya Punagi (1986: 6) menyatakan bahwa: "Sipakatau adalah saling memanusiakan, maksudnya memperlakukan sesamanya manusia sebagaimana harkat kemanusiaan yang ada, tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lainnya. Selanjutnya dikatakan pula bahwa wujud penyerahan diri orang banyak kepada pemimpinnya sehingga antara mereka terjalin suasana saling pengertian yang diwujudkan dalam pandangan sipakatau, saling memanusiakan satu sama lain"
Sesuai dengan hakekat dan martabat manusia yang dijabarkan dalam konsep sirik (Mattulada. 1989: 5), maka pengertian sipakatau dapat dilihat dari berbagai latar kehidupan diantaranya: sipakatau dalam hidup kekerabatan, sipakatau dalam melakukan kegiatan mata pencaharian hidup (ekonomi), sipakatau dalam penyelenggaraan pemerintahan/kekuasaan atau politik,dan sipakatau dalam pertarungan, serta sipakatau dalam budaya sosial. Salah satu pembina struktur dan lapisan sosial orang Bugis-Makassar dan tatakrama hubungan kemasyarakatan hanya orang-orang yang menghayati dan mengamalkan konsepsi sipakatau dapat secara terbuka saling menerima hubungan kekerabatan . masyarakat Bugis-Makassar akan menerima dengan senang hati siapa saja yang ingin menjalin kekerabatan dengannya dalam berhubungan dengan orang lain perlu dijaga harga diri, karena harga diri merupakan nilai tertinggi oarang Bugis-Makassar sehingga hanya orang yang dapat menjaga dan membela harga dirinya dipandang sebagai manusia.Setiap orang Bugis-Makassar harus bersikap Nipakatauwi padanna tau yang artinya memperlakukan sesamanya sesuai dengan kodrat sesamanya (Punagi, 1988: 74)
Dengan adanya budaya siapakatau pada masyarakat Bugis-Makassar , maka kehidupan sesama warga masyarakat dapat mencapai keharmonisan, dan memungkinkan segala kegiatan kemasyarakatan berjalan dengan sewajarnya sesuai hakekat martabat manusia. Seluruh perbedaan sosial tercairkan, tak ada perbedaan antara kaya dan miskin, pimpinan dan bawahan, turunan bangsawan dan rakyat biasa, dan sebagainya, yang dinilai atas diri seseorang adalah kepribadiannya yang dilandasi sikap budaya sipakatau. Hal ini tak bisa dipisahkan dari ungkapan bugis yang berbunyi: “Ajeppuiwi alemu nammajeppuitowi padammu tau, rekko siajeppuiko sipakatauko asennu”. Artinya kenalilah dirimu dan kenali pulalah sesamamu manusia, jika sudah saling mengenal maka saling memanusiakan namanya (Punagi, 1988; 75)
Makna Sipakatau
Sipakatau adalah inti dari atau pangkalan sikap, keterbukaan yang berarti saling membuka diri dalam peran-peran hidup kemanusiaan (Mattulada. 1989: 4). Dari sikap sipakatau inilah akan menjalin interaksi sosial dalam masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai ideal budaya Bugis-Makassar. Sipakatau merupakan bentuk saling menghargai, saling menghormati, saling mempercayai dan saling memanusiakan juga mengandung makna rasa solidaritas atau kebersamaan yang kuat dan dapat menerima orang lain apa adanya dalam kehidupan bermasyarakat Nilai sipakatau merupakan unsur yang dijabarkan dari nilai sirik na pacce juga mengandung rasa kebersamaan dan solidaritas antar sesama manusia,. Nilai-nilai tersebut dimuat dalam pappaseng (petuah-petuah) dalam budaya Bugis-Makassar yang menerapkan. Budaya Bugis-Makassar menerapkan norma-norma hidup yang dipelihara dan dilestarikan serta diwariskan secara turun temurun dari orang tua kepada keturunannya (generasi). Ada pappaseng (petuah) yang berkaitan dengan sipakatau dinyatakan oleh Parujung Anang (Mattulada. 1985; 386), antara lain sebagai berikut:
Artinya kita orang Bugis-Makassar, telah kita jadikan toddopuli (pasak tak goyah) saling menghargai (sirik) dan saling setia kawan.
Ungkapan di atas memiliki makna bahwa nilai sipakatau menunjukkan rasa kebersamaan atau solidaritas yang sangat mendalam yang mempersatukan seleruh manusia Bugis-Makassar. hal ini pula yang menunjukkan kestiakawanan dan kebersamaan saling memberi dan menerima nasehat orang lain dalam bimbingan atau arahan kearah yang lebih baik dari orang tersebut. Peran sipakatau dalam hidup kekerabatan, menjadi salah satu faktor pembina struktur dan tatakrama pergaulan kemasyarkatan. Hanya dalam lingkungan orang-orang yang menghayati dan mampu mengamalkan sikap hidup sipakatu yang dapat secara terbuka saling menerima hubungan kekerabatan dan kekeluargaan. Karena hal ini dilandasi rasa kebersamaan yang mendalam untuk mencapai tujuan. Ada ungkapan yang erat kaitannya dengan peran sipakatau yang diungkapkan Muin, Mg (1994: 48) yaitu: Narekko mueloriwi atinnu padammu rupatau abbereang toi atimmu (jika ada ingi kamu merebut sampai hati orang lain sesamamu, berikanlah simpatimu kepada orang lain tersebut) Akka’i padammu rupatau natanrekko (hargai sesamamu manusia agar ia dapat mendukungmu pula)
Sipakatau dalam kegiatan ekonomi juga memegang peranan penting, sangat mencela adanya kegiatan yang selalu hendak ”annunggalengi” (egois), atau menopoli lapangan hidup yang terbuka secara kodrati bagi setiap manusia. Azas sipakatu akan menciptakan iklim yang terbuka untuk saling ”sikatallassi’ (saling menghidupi), tolong menolong dan bekerja sama membangun kehidupan ekonomi masyarakat secara adil dan merata (Ibid: 5). Budaya sipakatau sebagai konsekuensi logis dari nilai-nilai lainnya, maka setiap anak yang lahir selalu diamanatkan oleh orang tuanya atau keluarga agar dapat memahami dirinya dan orang lain dalam hal melestarikan dan memegang teguh pesan orang terdahulu yang disebut pappaseng (petuah). Dengan memegang pesan tersebut orang dapat memahami kelebihan dan kelemahan dirinya dimana orang itu menempatkan diri dan dalam keadaan bagaimanapun.
Dalam budaya orang Bugis-Makassar sipakatau menjadi nilai etika pergaulan orang yang patut diaktualisasikan dan dilestarikan keberadaannya disegala sektor kehidupan. Di tengah budaya asing yang cenderung menenggelamkan penghargaan atas sesama manusia, maka sikap sipakatau merupakan suatu kendali moral yang harus senantiasa menjadi landasan dalam menapaki era globalisasi dan postmodernisme. Oleh karena itu sebagai orang Bugis-makassar meningkatkan nilai budaya sipakatau merupakan suatu keharusan dan juga merupakan tuntutan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan azas Pancasila, terutama sila ketiga yaitu Kemanusian Yang Adil dan Beradab.
Dalam menggunakan konsep tentang budaya Bugis-Makassar yang lebih menekankan pada wujud kebudayaan dan isi kebudayaan, maka konsep tau inilah sebagai esensi yang mendasari hidup orang Bugis-Makassar, yang melahirkan penghargaan atas sesama manusia. Bentuk penghargaan itu dimanifestasikan dalam budaya sipakatau yang artinya saling memahami dan menghargai secara manusiawi. Oleh karena itu menurut (Mattulada. 1989: 4) sikap budaya Bugis-Makassar disebut sipakatau. Pendidik, pemimpin dan pembimbing bagi orang Bugis –Makassar dahulu selalu mendasarkan pandangannya pada asas sipakatau dalam mengayomi warganya.
Selanjutnya Punagi (1986: 6) menyatakan bahwa: "Sipakatau adalah saling memanusiakan, maksudnya memperlakukan sesamanya manusia sebagaimana harkat kemanusiaan yang ada, tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lainnya. Selanjutnya dikatakan pula bahwa wujud penyerahan diri orang banyak kepada pemimpinnya sehingga antara mereka terjalin suasana saling pengertian yang diwujudkan dalam pandangan sipakatau, saling memanusiakan satu sama lain"
Sesuai dengan hakekat dan martabat manusia yang dijabarkan dalam konsep sirik (Mattulada. 1989: 5), maka pengertian sipakatau dapat dilihat dari berbagai latar kehidupan diantaranya: sipakatau dalam hidup kekerabatan, sipakatau dalam melakukan kegiatan mata pencaharian hidup (ekonomi), sipakatau dalam penyelenggaraan pemerintahan/kekuasaan atau politik,dan sipakatau dalam pertarungan, serta sipakatau dalam budaya sosial. Salah satu pembina struktur dan lapisan sosial orang Bugis-Makassar dan tatakrama hubungan kemasyarakatan hanya orang-orang yang menghayati dan mengamalkan konsepsi sipakatau dapat secara terbuka saling menerima hubungan kekerabatan . masyarakat Bugis-Makassar akan menerima dengan senang hati siapa saja yang ingin menjalin kekerabatan dengannya dalam berhubungan dengan orang lain perlu dijaga harga diri, karena harga diri merupakan nilai tertinggi oarang Bugis-Makassar sehingga hanya orang yang dapat menjaga dan membela harga dirinya dipandang sebagai manusia.Setiap orang Bugis-Makassar harus bersikap Nipakatauwi padanna tau yang artinya memperlakukan sesamanya sesuai dengan kodrat sesamanya (Punagi, 1988: 74)
Dengan adanya budaya siapakatau pada masyarakat Bugis-Makassar , maka kehidupan sesama warga masyarakat dapat mencapai keharmonisan, dan memungkinkan segala kegiatan kemasyarakatan berjalan dengan sewajarnya sesuai hakekat martabat manusia. Seluruh perbedaan sosial tercairkan, tak ada perbedaan antara kaya dan miskin, pimpinan dan bawahan, turunan bangsawan dan rakyat biasa, dan sebagainya, yang dinilai atas diri seseorang adalah kepribadiannya yang dilandasi sikap budaya sipakatau. Hal ini tak bisa dipisahkan dari ungkapan bugis yang berbunyi: “Ajeppuiwi alemu nammajeppuitowi padammu tau, rekko siajeppuiko sipakatauko asennu”. Artinya kenalilah dirimu dan kenali pulalah sesamamu manusia, jika sudah saling mengenal maka saling memanusiakan namanya (Punagi, 1988; 75)
Makna Sipakatau
Sipakatau adalah inti dari atau pangkalan sikap, keterbukaan yang berarti saling membuka diri dalam peran-peran hidup kemanusiaan (Mattulada. 1989: 4). Dari sikap sipakatau inilah akan menjalin interaksi sosial dalam masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai ideal budaya Bugis-Makassar. Sipakatau merupakan bentuk saling menghargai, saling menghormati, saling mempercayai dan saling memanusiakan juga mengandung makna rasa solidaritas atau kebersamaan yang kuat dan dapat menerima orang lain apa adanya dalam kehidupan bermasyarakat Nilai sipakatau merupakan unsur yang dijabarkan dari nilai sirik na pacce juga mengandung rasa kebersamaan dan solidaritas antar sesama manusia,. Nilai-nilai tersebut dimuat dalam pappaseng (petuah-petuah) dalam budaya Bugis-Makassar yang menerapkan. Budaya Bugis-Makassar menerapkan norma-norma hidup yang dipelihara dan dilestarikan serta diwariskan secara turun temurun dari orang tua kepada keturunannya (generasi). Ada pappaseng (petuah) yang berkaitan dengan sipakatau dinyatakan oleh Parujung Anang (Mattulada. 1985; 386), antara lain sebagai berikut:
Bugis - Ikkeng Ugi’ Mangkasae’, rialai toddo’ puli sipo siri’e nannia Siappaseie
Makassar - Ikambe Bugisi-Mangkasaraka nialle toddo’puli sipassirikia siagang sipacceiea.
Artinya kita orang Bugis-Makassar, telah kita jadikan toddopuli (pasak tak goyah) saling menghargai (sirik) dan saling setia kawan.
Ungkapan di atas memiliki makna bahwa nilai sipakatau menunjukkan rasa kebersamaan atau solidaritas yang sangat mendalam yang mempersatukan seleruh manusia Bugis-Makassar. hal ini pula yang menunjukkan kestiakawanan dan kebersamaan saling memberi dan menerima nasehat orang lain dalam bimbingan atau arahan kearah yang lebih baik dari orang tersebut. Peran sipakatau dalam hidup kekerabatan, menjadi salah satu faktor pembina struktur dan tatakrama pergaulan kemasyarkatan. Hanya dalam lingkungan orang-orang yang menghayati dan mampu mengamalkan sikap hidup sipakatu yang dapat secara terbuka saling menerima hubungan kekerabatan dan kekeluargaan. Karena hal ini dilandasi rasa kebersamaan yang mendalam untuk mencapai tujuan. Ada ungkapan yang erat kaitannya dengan peran sipakatau yang diungkapkan Muin, Mg (1994: 48) yaitu: Narekko mueloriwi atinnu padammu rupatau abbereang toi atimmu (jika ada ingi kamu merebut sampai hati orang lain sesamamu, berikanlah simpatimu kepada orang lain tersebut) Akka’i padammu rupatau natanrekko (hargai sesamamu manusia agar ia dapat mendukungmu pula)
Sipakatau dalam kegiatan ekonomi juga memegang peranan penting, sangat mencela adanya kegiatan yang selalu hendak ”annunggalengi” (egois), atau menopoli lapangan hidup yang terbuka secara kodrati bagi setiap manusia. Azas sipakatu akan menciptakan iklim yang terbuka untuk saling ”sikatallassi’ (saling menghidupi), tolong menolong dan bekerja sama membangun kehidupan ekonomi masyarakat secara adil dan merata (Ibid: 5). Budaya sipakatau sebagai konsekuensi logis dari nilai-nilai lainnya, maka setiap anak yang lahir selalu diamanatkan oleh orang tuanya atau keluarga agar dapat memahami dirinya dan orang lain dalam hal melestarikan dan memegang teguh pesan orang terdahulu yang disebut pappaseng (petuah). Dengan memegang pesan tersebut orang dapat memahami kelebihan dan kelemahan dirinya dimana orang itu menempatkan diri dan dalam keadaan bagaimanapun.
Dalam budaya orang Bugis-Makassar sipakatau menjadi nilai etika pergaulan orang yang patut diaktualisasikan dan dilestarikan keberadaannya disegala sektor kehidupan. Di tengah budaya asing yang cenderung menenggelamkan penghargaan atas sesama manusia, maka sikap sipakatau merupakan suatu kendali moral yang harus senantiasa menjadi landasan dalam menapaki era globalisasi dan postmodernisme. Oleh karena itu sebagai orang Bugis-makassar meningkatkan nilai budaya sipakatau merupakan suatu keharusan dan juga merupakan tuntutan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan azas Pancasila, terutama sila ketiga yaitu Kemanusian Yang Adil dan Beradab.