Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Filsuf Muslim Tersohor Al-Farabi: Disebut juga sebagai Aristoteles pada masanya

Filsuf Muslim Tersohor Al-Farabi: Disebut juga sebagai Aristoteles pada masanya
Banyak orang saat ini tidak terlalu setuju bila seseorang memilih musik sebagai karier atau sebagai suatu bidang keahlian, apalagi kaum agamawan dengan pemahaman Islam transnasional atau radikal. Pakaian yang berkilau, gaya hidup yang glamor, dan belum lagi rumor kontroversial yang disebabkan oleh ketenaran, membuat kita sulit untuk membayangkan jika seorang musisi bisa menjadi orang yang cerdas di bidangnya (musik) sekaligus di bidang pengetahuan lain. Tapi tahukah anda bahwa sebenarnya ada orang yang cerdas bahkan genius di bidang musik dan juga jenius di beberapa bidang lain, seperti sains, matematika, dan astrologi. Tentu saja, kita tidak berbicara tentang orang yang jenius di bidang musik seperti grup-grup band atau musisi-musisi yang ada di Indonesia, atau di luar negeri, tetapi  kita sedang membicarakan tentang seseorang yang hidup pada abad ke-10.

Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzalah Al- Farabi, di dunia barat dia juga dikenal dengan nama latinnya Alpharabius. Al-Farabi lahir pada tahun 872 dan meninggal pada tahun 950. Dalam biografi hidupnya, para sejarahwan masi mendiskusikan atau mempermasalahkan asal usulnya. Sampai sekarang, mereka tidak dapat menentukan apakah dia berasal dari Turki atau Persia. Dalam filsafat Abad Pertengahan, Al-Farabi dikenal sebagai Guru Kedua. Julukan itu diberikan karena orisinalitasnya menafsirkan filsafat Aristoteles (yang merupakan Guru Pertama) dalam mempelajari ilmu-ilmu Islam. Dari itulah, dunia Islam kontemporer sangat dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles. Sebagai poliglot, Al-Farabi bisa berbicara dalam berbagai bahasa: Arab, Persia, Turki, Siria, dan Yunani. Kecerdasannya ini membantunya melakukan perjalanan dan beradaptasi dengan budaya baru. Dia melakukan perjalanan dari Persia ke Baghdad dan tinggal di sana selama dua dekade. Di Baghdad, dia bertemu dengan filsuf terkenal seperti Ibn-Kindi dan Ar-Razi.

Filosofi Al-Farabi


Al-Farabi sangat bersemangat dalam belajar, bereksperimen, dan beliau juga sangat menjunjung tinggi rasionalitas dan akal sehat saat belajar dan dalam kehidupan nyata. Al-Farabi selalu serius dalam hal mengklarifikasi, memahami, dan mengajar orang lain. Dia merekomendasikan dalam hal apapun untuk selalu mengutamakan objektifitas (yang benar-benar terjadi), yaitu yang dilihat dengan kasat mata, kemudian dikombinasikan dengan rasa spiritualitas dan rasionalitas. Selian itu Al-Farabi mengajarkan bahwa penting untuk bahagia bagi manusia biasa dan seorang ilmuan atau tokoh terkemuka, semuanya perlu untuk mencapai kebahagiaan bersama. Karena filsafat rasional dan Aristotelesnya, Al-Farabi terkenal dan tersohor baik itu di dunia Timur maupun Dunia Barat.

Sebagian besar pemahaman ilmiah dunia tentang musik berasal dari bahasa Yunani kuno: kata musik berasal dari kata Yunani yaitu mousiki, yang artinya ilmu menyusun melodi. Tetapi kata itu adalah merupakan judul buku Al-Farabi yang ditulisnya sendiri yairu Kitab al-Musiqa, yang secara signifikan memperluas teori-teori Yunani Kuno dengan mengeksplorasi teosofi musik dan memberikan informasi rinci tentang alat-alat musik. Ketika orang-orang Eropa mulai melakukan perjalanan ke daerah baru selama Abad Pertengahan, mereka menemukan alat musik Arab dan tulisan-tulisan Al-Farabi. Dilihat dari hal ini, maka sebenarnya, budaya Arab merupakan pelopor musik - khususnya instrumen perkusi - dalam musik Eropa.

Pengaruh Al-Farabi


Filsuf Muslim Tersohor Al-Farabi: Disebut juga sebagai Aristoteles pada masanya

Karya lain yang dapat dipelajari untuk mengetahui atau mengukur pengaruh Al-Farabi terhadap filsuf kontemporer dapat ditemukan dalam karya para filsuf seperti Ibn Rusyd atau Averroes, Ibn Khaldun, dan Maimonides yang merupakan seorang filsuf Yahudi terkenal. Maimonides menyebut Al-Farabi sebagai Guru Kedua dalam karyanya yang berjudul The Treaties on Logic atau dalam bahasa arab Maqala Fi Sinat Al-Mantiq. Dalam karya ini dia menggambarkan esensi logika Aristoteles yang ditemukan dalam ajaran Al-Farabi.

Beberapa karya Al-Farabi diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Ibrani. Bagian-bagian dasar filsafat Al-Farabi masih berlaku sampai sekarang: penekanannya pada pentingnya matematika dan sains, metode eksperimental, integrasi pengetahuan, dan pentingnya nilai dan rasa estetika. Orang bahkan bisa menambahkan bahwa budaya Arab telah menurun dalam hubungannya dengan filsafat pendidikannya, yang dirancang untuk membentuk kepribadian terpadu dalam tubuh, intelek, etika, estetika, dan teknologi.

Kenapa kita harus mengenal Al-Farabi


Di tangan Al-Farabi, sains dan seni menyatu dan dapat dilihat sifat sejati keduanya, yaitu untuk menyatukan umat manusia terlepas dari etnisitas, kepercayaan, dan bangsa. Ada sebuah kota bernama Harran di utara Syria saat ini, tempat yang digunakan untuk mengembangkan budaya Yunani Kuno. Di sana, dia bertemu dengan mentornya, Yuhana bin Jilad, seorang filsuf Kristen yang terkenal. Karyanya dipelajari dan telah mempengaruhi Maimonides yang telah disebutkan di atas. Al-Farabi juga memiliki hubungan dekat dengan Sayf al-Dawla Hamdanind, seorang tokoh Muslim Syiah di Aleppo, yang memiliki ikatan koeksistensi yang kuat antara Syiah dan Sunni di Suriah kuno. Al-Farabi menunjukkan kepada kita bahwa minat dan bakatnya dalam musik tidak membatasi pencapaiannya dalam masalah ilumu pengetahuan ilmiah dan matematika. Sebaliknya, ia menggabungkan pola matematika saat membangun melodi. Mungkin kalau dia hidup di zaman modern barangkali menjadi ilmuan sekaligus memiliki band musik, atau memiliki kelompok musik lainnya.

Dalam membaca riwayat hidupnya, Al-Farabi sangat fleksibel, dia bisa berjumpa dan menimba ilmu dengan siapa saja, tanpa membedakan perbedaan yang ada. Dia bisa dikatakan sebagai seorang yang berpaham multikultural klasik. Sehingga patut dicontohi dalam membangun bangsa Indonesia yang beragam ini.

Posting Komentar untuk "Filsuf Muslim Tersohor Al-Farabi: Disebut juga sebagai Aristoteles pada masanya"